
Sudah seribu langkah kaki yang kutapakkan menyusuri rel kereta api. Batu-batu yang melengkapi rel kereta api itu sedang berkumpul untuk menunggu kedatangan kereta api dari kota sebelah. Bulan setengah tampak tersenyum padaku kala aku memandangnya. Aku duduk di sebuah tepian rel kereta yang ada di pinggir kota beralaskan daun pisang. Menggoreskan tinta dalam kertas yang warnanya sudah mulai muram. Menulis tentang…
Kata-kata yang terjun di dalam kertas yang sudah muram tersebut membuatku penasaran. Dari mana aku mendapat ilham dan mereka bisa masuk dalam kertas yang begitu usang. Sungguh aku tak mengira kedatangan tamu kata-kata yang jarang aku temukan. Kata-kata tersebut menyusun sebuah bait demi bait dan menempatkan pada posisinya masing-masing. Sungguh hal yang aneh, aku tak pernah berpikir ada kata-kata tersebut dalam benakku.
Sajak selesai terangkum dalam kertas yang berwarna coklat agak luntur tersebut. Hanya saja tinta yang terlihat begitu mencolok dalam sajak tersebut. Seakan tinta tersebut ingin membuat tamu kata-kataku menjadi lebih hidup dan terbaca. Sajak selesai kutulis dan aku melanjutkan menyeret kakiku ke perjalanan selanjutnya. PULANG.
Di rumah aku sudah ditunggu oleh dua bocah kecil, yang satu perempuan dan yang satu laki-laki serta seorang perempuan dengan lesung pipt di kanan. Bocah yang pertama sekiranya berumur 12 tahun, sedangkan bocah yang kedua berumur 7 tahun. Perempuan dengan lesung pipt di kanan tersebut kurang lebih umurnya terpaut 2 tahun dariku.
Pintu tak pernah terkunci sebelum aku pulang. Dia perempuan berlesung pipit di kanan selalu saja tertidur di ruang tamu. Dia adalah Marni, istriku yang paling setia menunggu kepulanganku. Aku langsung mendekat ke arah Marni dan membopongnya untuk pindah ke dalam kamar. Dia tak terbangun karena aku dengan perlahan mencoba memindah tubuhnya tersebut.
Setelah selesai memindahkan Marni ke dalam kamar, aku tak langsung menyusul tidur bersamanya. Aku menuju ruang kerjaku. Ruang kerjaku tak sama dengan milik para penyair lain yang sudah kaya karena karya-karyanya laris manis terjual di mana-mana. Ruang kerjaku menyatu di ruang tamu. Ada sebuah meja dan kursi yang terletak di pojok ruang tamu. Di sana ada sebuah mesin tik lawas yang biasa aku gunakan untuk memindah sajak yang kutulis tangan menjadi hasil ketikan.
Aku duduk memandangi mesin ketik ku yang sangat bersih. Hampir setiap hari aku memakainya dan selalu membersihkannya. Itu berarti aku bisa dibilang sebagai seorang penyair yang sangat produktif dalam berkarya. Akan tetapi, ada suatu permasalahan yang menghambatku tetapi tak bisa menghentikan cita-citaku untuk menjadi penyair besar. Hal yang sering membuatku menjadi kehilangan gairah hidup adalah karena karya-karyaku tak ada yang diterima oleh media.
Meskipun belum ada karya-karyaku yang diterima oleh media, aku mencoba terus menulis agar suatu saat ada salah satu media yang khilaf atau memang menghargai karya-karyaku. Karya yang datang karena ilham, kata-kata yang datang karena ingin bertamu, dan sajak yang dikirim dari langit untuk dibaca banyak orang. Tak apa aku menyebut diriku ini sebagai seorang penyair meskipun belum ada satu pun karyaku yang diterima. Aku tak ingin putus asa terlalu dini.
“Pulang kapan, Mas Penyair?” istriku melontarkan pertanyaan tersebut.
“Tadi malam,” aku menjawab singkat dan masih berkutat di depan mesin ketik lawas itu.
Istriku jarang memanggilku dengan sebutan ayah, sayang, atau apapun itu, dia lebih sering memanggilku dengan sebutan Mas Penyair. Istriku mengetahui betul diriku ini sangat suka dipanggil dengan sebutan itu. Ketika ada seorang yang memanggilku dengan sebutan Mas Penyair aku merasa sangat bangga sekali. Kedua anakku juga memanggilku dengan sebutan Bapak Penyair. Jadi aku di dalam rumah kecil ini selalu mendapat panggilan dengan akhiran PENYAIR.
Mata yang memerah, kantung mata semakin mengembang, dan badan yang mulai lemas kini aku beranjak dari depan mesin ketik lawas itu. Aku sudah selesai menyelesaikan sajak-sajak yang kutemukan semalam di rel kereta api pinggir kota. Kertas yang usang itu kumasukkan dalam sebuah map, sedangkan kertas yang baru saja selesai kurampungkan sudah kusiapkan dalam sebuah map yang berbeda. Aku akan mengirimkannya ke sebuah media. Semoga tamu kata-kata yang semalam menghampirku di rel kereta mempunyai banyak pembaca.
Aku mandi meninggalkan sejenak meja kerjaku tersebut. Tak perlu lama aku selesai, belum sempat membuka meja makan yang letaknya juga di dalam ruang tamu tersebut langsung mengambil map yang berisi sajak yang sudah kurampungkan pagi ini. Aku memakai pakaian yang rapi dan bergegas menuju kantor media yang akan kuberi sajak ini.
Setelah melewati perjalanan yang lumayan jauh. Akhirnya aku sampai di tempat media tersebut. Satpam yang berjaga di depan sudah mengenali diriku karena aku sangay sering datang ke kantor media ini untuk mengirim sajak. Dia tersenyum ke arahku. Aku pun membalas senyumnya.
Aku langsung berjalan ke sebuah jendela yang merupakan ruang redaktur kantor media tersebut. Terlihat jendela tersebut masih tertutup rapat. Aku langsung meletakkan map yang kubawa di balik jendela tersebut. Di balik jendela tersebut ada sebuah meja kecil yang biasanya digunakan untuk memanjat saat membenahi AC kantor. Aku meninggalkan map yang kubawa di meja tersebut dengan menindih map itu dengan batu kecil agar tidak terbang terbawa angin.
Aku pulang dan segera bergegas menuju rumah. Di depan kantor media tersebut aku bertemu dengan seorang penyair yang karya sering dimuat oleh media tersebut. Penyair tersebut masuk ke dalam kantor. “Ya, tidak salah lagi, dia adalah seorang penyair yang karya-karyanya sering dimuat oleh media ini,” ucapku dalam hati kala melihat penyair itu masuk ke dalam kantor media tersebut.
Aku meninggalkan kantor media tersebut dan segera menuju ke rumah. Di rumah tentunya istriku sedang menunggu, sedangkan anak-anak pasti sudah berangkat ke sekolah. Aku sudah lapar sejak semalam belum makan dan belum minum karena merampungkan sajak-sajak tersebut. Aku sampai di rumah dan langsung menuju ruang makan. Aku makan dengan lahap dengan lauk pauk seadanya dan yang membuat enak dan nikmat sarapanku adalah ditemani seorang istri yang mempunyai lesung pipit di kanan.
Sebenarnya aku sudah sangat frustasi dan hampir gila karena tak satupun sajakku yang lolos kurasi oleh media. Aku pun sangat mengutuki diriku ini. Aku sebagai seorang lelaki harus mampu membuktikkan kelebihanku di depan istri dan anak-anakku. Untung saja aku punya warisan peninggalan almarhum orangtuaku sebuah toko kelontong yang kini dijaga istriku. Aku jarang sekali membelanjakan istriku, malah dia yang menjadi tulang punggung rumah tangga ini karena mendapat hasil dari jualan.
Sungguh aku memang suami sialan.
Untungnya istriku adalah seorang perempuan yang baik hati. Dia tak pernah mengomeliku tentang, “Memangnya kalo lapar disuruh makan puisi apa,” untung saja tak pernah kudengar suara itu. Mungkin istriku juga sering berkeluh kesah karena aku tak mau cari kerja, tetapi dia mungkin tak sampai hati untuk menyampaikan padaku.
Memang untuk menjadi seorag penyair harus mempunyai jiwa yang kuat, imajinasi yang tinggi, dan mengakrabi kata-kata. Tanpa itu semua dibilang mustahil akan menjadi seorang penyair. Joko Pinurbo saja yang kini sudah menjadi seorang penyair kondang pernah membakar karya-karya agar dia bisa terbebas dari karya yang kurang diterima publik. Hingga sekarang Joko Pinurbo mampu menghasilkan banyak sekali sajak dan buku-bukunya juga sangat banyak. Bahkan dia Joko Pinurbo sudah menjadi penyair paling produktif yang pernah ada.
Aku tak ingin menyerah untuk terus memperjuangkan hal yang telah kupilih. Meskipun akhir nanti tak satu pun sajakku yang terbit. Aku akan tetap menulis sajak dan menjadi seorang PENYAIR. Aku tidak gila hormat dengan menyebut diriku ini penyair, tetapi dengan sebutan itu aku merasa diriku ini hidup dan terus memancarkan semangat untuk menulis.
Aku pernah mencoba hal yang begitu gila waktu itu. Aku terinspirasi dari kisah seorang pelukis bernama Van Gogh. Van Gogh juga karya-karyanya semasa hidup tidak dihargai sama seperti diriku. Bahkan tak satupun karyanya yang terjual semasa hidupnya. Meskipun karya lukisannya yang tak pernah terjual semasa hidupnya, tetapi Van Gogh tetap produktif dengan menciptakan karya lukisan. Van Gogh terus mencoba beberapa aliran lukisan dalam karyanya, tetapi tak ada satu pun yang membeli karyanya semasa hidup. Baru saat Van Gogh meninggal karyanya laris manis terjual dan dikenal hampir seluruh dunia.
Aku pun pernah suatu kali mencoba pura-pura mati agar ada media yang iba dan menerbitkan sajak-sajakku di rubrik mereka. Aku hanya ingin sajak-sajakku dibaca oleh orang. Tentu saja untuk mencari nama juga akan namaku dikenal oleh orang banyak, sedangkan untuk masalah honor aku tak terlalu mementingkannya. Namun, yang menimpa diriku saat pura-pura mati tersebut malah orang-orang menganggapku orang gila. Mereka menyumpahi diriku saat bertemu dengan diriku kembali. “Itu orang gila yang ingin jadi PENYAIR kan, lihat dia rela pura-pura mati hanya untuk sajaknya agar dimuat di media,” ucap seorang yang bertemu denganku setelah mengetahui aku pura-pura mati. Sampai sekarang pun tak pernah ada sajak-sajakku yang dimuat oleh media. Sungguh aku tak ingin pura-pura mati lagi, nyatanya aku pura-pura mati saja tak ada media yang peduli sama sekali dengan sajakku.
Suatu pagi aku bangun kesiangan karena semalam suntuk aku merampungkan sajakku yang akan kukirim di media itu. Aku biasanya tak pernah tidur setelah selesai menulis sajak di mesin ketik lawas itu, tetapi entah mengapa kali ini aku tertidur. Aku langsung bergegas menuju kamar mandi dan siap-siap untuk menuju kantor media tersebut. Aku cepat-cepat menuju ke kantor media tersebut. Takut telat dan tidak diterima untuk mengirim sajak di sana.
Tak selang beberapa lama aku sudah sampai di kantor media tersebut. Tak ada satpam yang menunggui di depan kantor media tersebut. Aku langsung masuk dan menuju sebuah jendela milik kantor editor tersebut. Sebelum aku sampai ternyata jendela kantor media tersebut sudah terbuka. Berarti aku terlambat datang.
Ada pemandangan yang tak mengenakkan juga kali itu. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri redaktur itu membuang map ke dalam bak sampah. Sepertinya ada map yanbg kukenali juga dibuangnya ke dalam bak sampah tersebut. Aku mencoba mendekat setelah redaktur tersebut masuk ke dalam kantor. Aku mencoba mendekati bak sampah tempat redaktur tersebut membuang sampah.
Aku mencoba membuka bak sampah tersebut. Mataku terkaget-kaget saat melihat ada beberapa tumpukan map yang ada di sana. Aku juga banyak mengenali map yang terdapat dalam bak sampah itu. Aku mengambil beberapa map yang ada di bak sampah itu. Empat map terambil dari dalam bak sampah itu. Dan aku membuka map tersebut.
Mataku tercengan, tiga diantara map tersebut adalah map yang kubuat mengirim sajak-sajakku dan yang satu map yang juga berisi sajak milik seorang bernama Yogi. Sungguh tega sekali redaktur tersebut membuang sajak yang kudapat dari kata-kata yang bertamu. Kini kata-kataku yang bertamu hanya sampai di sebuah bak sampah bersama sajak-sajak yang tak layak muat.
Sungguh hatiku tercabik-cabik melihat kumpulan sajak yang ada dalam bak sampah tersebut. Aku mengambil semua map yang ada dalam bak sampah tersebut. Kubawa pulang dan akan kusimpan dalam meja kerjaku. Aku akan membuat kumpulan sajak yang usang dan terbuang di bak sampah tersebut menjadi sebuah karya yang megah. Karya tersebut nantinya akan kuberi judul “Karya yang Usang dari Penyair Pinggir Kota”.
Bantul, 24 Maret 2021.
Yogi Dwi Pradana, Mahasiswa Sastra Indonesia UNY. Berdomisili di Bantul, Yogyakarta. Aktif di organisasi Susastra KMSI UNY. Beberapa karyanya pernah dimuat di media. Dapat disapa melalui akun Instagram @yogidwipradana.
- Puisi-puisi Kiki Nofrijum | Magrib Macet - 30 September 2023
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
Discussion about this post