
Pagi itu di sebuah kota di ujung barat, pondok kecil berdiri kokoh di tengah hamparan sawah nun luas, kebun-kebun menghiasi seluruh halaman, seperti yang diinginkan oleh Kakek ketika ia hendak pergi berkelana meninggalkan kekasihnya dalam kurun waktu yang cukup lama, mencari tempat persinggahan yang akan ia nikmati dihari tuanya nanti, bersama kekasih yang akan menjadi istrinya, seorang wanita cantik jelita, putih memukau, memeluluhkan hati semua pria hingga ke dasar jiwa, mengikat mereka dalam satu hubungan pernikahan.
Kakek terbangun dari tidurnya, menatap kearah jendela, tampak bercahaya, “sudah pagi ternyata” gumam Kakek dengan nada bicaranya yang lembut, bergegas ia bangun, mengambil baju koko yang mengambang di lemari pakaian, peci bergantungan, dan sebuah tongkat tersandar pada dinding di balik pintu, setelahnya ia perlahan mulai berjalan menuju halaman depan rumah dengan tongkat ditangannya, “Pagi ini terasa sedikit berbeda, aromanya begitu segar, jarang sekali aku dapat menikmati pagi yang seperti ini”, Kakek terus menyusuri setiap bidang dalam rumahnya.
Sesampainya di luar Kakek disuguhkan pemandangan pagi nun indah, ia menghela nafas, menikamati setiap persen dari oksigen yang terhirup menuju paru-parunya, lalu di keluarkan cerutu dari saku baju, baju koko berwarna putih dan sarung terikat rapi di pinggulnya, Kakek menyodorkan sebatang rokok di mulutnya, membakar dan menghisapnya dengan cerutu. Tak lupa pula ia membawa Saluang beserta Bansi, alat tiup yang digemarinya dari dulu.
Di sana terdapat kursi goyang yang biasa ia duduki kala pagi menyapa hinga senja menghilang, di sebelahnya juga terdapat lipan seukuran badannya, tempat biasa untuk beristirahat dengan tumpukan buku-buku, seperti perpustakaan kecil, mulai dari novel hingga kumpulan puisi, dari karyanya sendiri sampai karya para sastrawan terkemuka, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, lengkap terususun rapi di meja itu. Kicauan burung dan berkokoknya ayam menjadi teman bagi Alek untuk bermain musik, layaknya seorang komposer ulung yang tengah konser di halaman luas, penuh dengan sorak sorai para penonton, mulai dari kalangan muda hingga kalangan tua, namun, kali ini berbeda, kakek bukan bermain di tengah konser megah yang di tonton khalayak banyak. Kakek hanya bermain pada halaman rumah yang ia ciptakan sendiri, sebagai penyejuk disaat hujan bersama ayam dan sepasang merpati yang senantiasa menemaninya.
Dari dalam rumah istrinya sedikit heran melihat tempat tidur yang sudah rapi disebelahya, tidak seperti biasanya, di hari-hari kemarin harus ia yang membangunkan suaminya, tapi sekarang… Nenek bergegas merapikan tempat tidurnya, menyisir rambut dan dipakainya selendang penutup kepala.Ia segera beranjak ke luar, perlahan menyusuri ruangan rumah dengan amat senang.
“Suamiku ternyata sudah mandiri, coba dari dulu begini.” Pernyataan yang mengambang di fikirannya dengan sunyum lebar, membayangkan suaminya, laki-laki yang telah menemaninya selama ini.
Sesampainya di pintu ia membuka tirai, sejenak berdiri pada dinding kayu yang begitu kuat, ia nampaki suaminya tengah bersantai di kursi goyangn, dengan tersenyum ia lekas menghampirinya, sedikit kecuriagaan menghampiri, terlihat suaminya tersenyum dan tertawa sendiri.
“Kenapa dengan suamiku, dalam keadaan mata tertutup ia terawa dan tersenyum, apa yang di fikirkannya?” pertanyaan yang muncul di benaknya.
“Wah , tumben kamu sudah bangun sepagi ini, biasanya harus aku yang membangunkan kamu dulu, tapi sekarang kamu sudah mandiri, ya, sayang.”
Senyuman manis dari wanitanya, Kakek terkejut dan terpana hingga terdiam, tak mampu ia melihat senyuman nan menawan, sorot mata nan menenangkan, gesture tubuh yang memukau.
“Kamu sudah bangun juga ternyata , maaf aku tidak membangunkan mu tadi”, Kakek sedikit gugup, kehilangan arah, nada tak beraturan, tutur kata yang kurang jelas.
“Tidak apa-apa, oy, kenapa kau tersenyum sendiri tadi? apa yang kamu fiirkan?” Ia mendekati suaminya, meraih pundaknya yang bidang.
“Aku memikirkan kamu, sewaktu muda dulu, kamu terlihat sangat cantik, dan begitu anggun, Kakek mulai merayu guna menghilangkan kegugupan atas lembutnya istri yang ia cintai.
“Ah, kamu ini bisa saja, ingat kita sudah tua dan mungkin umur kita sudah berada di ujung jalan sana, tapi kamu juga gagah sewaktu muda dulu, apalagi saat kamu memainkan alat musikmu itu.” Ia tersipu malu, tangan yang menggenggam bidang bahu suaminya mengeras hingga suaminya sedikit menggeram.
“Aduh aduh, jangan terlalu keras..hmmm, sudah sudah itu kan masa muda kita, sekarang tolong buatkan aku secangkir kopi pahit.” Permintaan dari Kakek guna menikmati pagi yang indah dengan secangkir kopi, dan ubi bakar buatan istrinya. Istrinya mulai beranjak menuju dapur guna memenuhi permintaan dari suaminya.
- Puisi-puisi Kiki Nofrijum | Magrib Macet - 30 September 2023
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
Discussion about this post