
Nostalgia; Renaissance
Ia mengingatkanku akan penulis-penulis jenius di masa lalu.
Ia memang terdengar dan terlihat seperti mereka,
setidaknya dari apa yang kubaca: Seseorang yang frontal,
sekaligus memikat dan mempesona secara intelektual.
Ia nampaknya adalah sebuah perwujudan—
Nilai-nilai di masa lalu yang begitu kukenang.
Meskipun, itu hanyalah ‘sebuah nostalgia untuk tempat yang belum pernah ku datangi.’
Namun di dalam dirinya—
aku melihat mimpi
dan gelora yang sama untuk meraih dunia yang lain—
dunia yang penuh dengan hasrat kebebasan—
dunia yang dimana sejauh ini
hanya bisa kutemukan di dalam buku-buku tua di perpustakaan,
atau di dalam lukisan-lukisan Renaissance.
(2021)
Omong Kosong itu Bernama Sapioseksual
dengan berapi-api kau berkata:
semakin penuh rak buku
maka semakin gampang
menaklukkan perempuan.
aku hanya tertawa.
terbahak-bahak. ha ha ha.
lalu melontarkan bahasa:
hey bung, kau ini dari
kota bodoh mana?
maksudku,
omong kosong apalagi ini?
apakah kau tak tahu
kalau perempuan zaman
kontemporer ini lebih suka
lelaki yang berdompet tebal
ketimbang yang berbuku tebal—
mampus kau dicabik-cabik
lampu-lampu diskotik,
dan kerat-kerat bir,
dan bondon-bondon lendir,
dan mertua-mertua
matre, dan pertanyaan-
pertanyaan matrimoni.
pungkasku kepadanya
dan kepadaku dalam hati.
(2021)
Hikayat Budak Korporat
sayang, kapitalisme
memang selalu
menampar muka lalu
menggurita. merantai kita.
dan kini, revolusi
tak lebih dari sekadar lulabi
namun ketika mayday
kembali bergema—
percayalah, kita akan
menelanjangi mentari
dengan gelak tawa:
beberapa gelas kopi v sixty;
rokok skm yang menguras
kantong di hari tua;
buku-buku kiri yang selalu
dibenci negara;
juga lagu kontra muerta
yang kuputar di sela-sela
liburku bekerja.
maaf bila senin
aku izin pamit lagi,
seperti biasa—
selama delapan jam sehari,
mengoyak-ngoyak waktuku
pada alat produksi
demi menyambung nasi.
(2021)
Negara Hangover
otak mereka
ternyata moron:
korsleting di sekitar neuron—
memerintah dengan jahanam
o bui dan godam
di lengan kanannya
seperti lintah darat
yang mendendam
tangan kiri-ku terluka
akal sehat-ku, trauma,
amigdala-ku terganggu—
negara ini
membuatku skizofrenia:
sedikit mania
setiap lima tahun sekali,
sisanya larut depresi
haloperidol!
halo tembaga
yang gelisah sampai
ia menjadi merkuri—
aku tak tahu
apa yang terjadi
pada nyanyian pohon
yang tumbang
di belantara sepi
ditebang tambang
diintai investasi
o di matanya, aku
memang bukan
seorang intelektual—
namun di mataku
negara ini
begitu komikal—
sepertinya,
terlalu komedi
untuk diseriusi.
(2021)
Hidup Hanya Melawan Kematian
Takdir melempar dirinya sendiri seperti dadu dalam permainan papan,
Lalu bersembunyi ditempat yang takkan pernah bisa ditemukan.
Waktu menggampar semua yang bernyawa dengan usia,
Sesekali hingga tak lagi bersuara dan bercahaya, bahkan di waktu yang tak terduga.
Hidup terlampau absurd untuk menampakkan mukanya.
Manusia, mengautopsi realitas semasa hidup dengan cahaya:
Mengharap cinta, di bawah ngarai yang nirmakna, di antara tebing keberadaan dan tebing kehilangan;
Semasih kematian mengasah mata pisaunya di atas matahari yang memancarkan angkara, bersama ingatan yang memudarkan.
O apakah kematian selalu mengharu birukan pesta kelahiran utopia?
O apakah kelahiran adalah karpet paling merah untuk menyambut kematian?
Dan kematian pun tiba-tiba menertawai jarum jam beserta waktunya yang fana.
Sewaktu kelahiran, menelanjangi gairah kematian akan puncak keputusasaan.
Mungkin, hidup hanya melawan kematian.
Namun, nyatanya, kematian memang harus dilawan.
Sebab hidup, hanya berujung pada satu titik yang bernama nanti sebanyak satu kali.
Dan bukankah hasrat untuk menghidupi hidup yang telah mati, tak pernah datang sebanyak dua kali?
(2021)
Penulis, Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Bukunya: Timbul Tenggelam Philo-Sophia Kehidupan (2020); Timbul Tenggelam Spirit-Us Kehidupan (2020); Trias Puitika (2021). Pembaca yang suka menulis ini adalah penerjemah, kreator sekaligus kurator puisi, prosa dan cerpen. Dirinya, antara lain: [email protected]; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma
— Marewai.com
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post