Hujan di Sinuruik
_Kepada Dasril_
Tak ada kabut di seberang pasar Talu
Tak ada murung yang turun rendah
Lelangkah kukuh
Berjalan lambat
Tiba di pertigaan hujan turun mengambil ruang dengan deras yang acuh
Ada lelaki dewasa dengan tubuh kuyup memegang tadah dan gelas, “seduhkanlah untukku kopi. Ini Sinuruik, bukan?” pintanya kepada angin buruk yang berputar tiga kali sebelum melemparkan diri ke kerumunan pepohonan di bukit – bukit
Ada banyak kabut di Sinuruik
Mereka menuruni bukit – bukit di ujung – ujung persawahan
Mereka meniti pematang dan meloncati kolam – kolam
Mereka memeluk rindu yang dinyanyikan serombongan pemain akustik di sebuah cafe
Seorang lelaki dewasa dengan tubuh kuyup melalui pintu dan menyodorkan gelas dan tadah
“Seduhkanlah untukku hujan yang paling deras yang belum pernah dilihat oleh para Nabi,” pintanya kepada seorang pelayan yang baru saja menghalau seekor kucing pasar yang lari melewati rombongan akustik band tepat ketika sebuah lagu Minang kontemporer memasuki bagian refrain
Hujan, hujan yang apakah kelak bermetamorfosis menjadi kabut – kabut pekat kemudian memeluk tumpukan buku cerita yang terpajang bisu di sebuah cafe lain yang ketika sedang riang memutar lagu pop Indonesia terbaru, serombongan musafir dengan tubuh basah meminta segera diseduhkan kopi
Setiap orang membawa gelas kosong dan tadah bening
“Apakah benar katanya, jika belum meminum kopi, tidaklah dapat disebut telah singgah di Sinuruik?” tanya seorang lelaki paling dewasa di antara mereka kepada malam yang merambat turun dengan pelan dan lambat
“Siapa gerangan nama Perempuan masa silam yang lahir di Koto Panjang dan menulis roman “Kalau Tak Untung” itu, Das?”
“Apakah ia minum kopi Sinuruik sepanjang hidupnya, Das?”
Sinuruik, 10 Juni 2024
Aku Membuka Pintu dan Sesuatu Menjadikan Malamku Abadi
_(Didedikasikan untuk Penyintas Bencana Banjir Bandang di Tanah Datar dan Agam)_
Tak ada malam kecuali
Selimut bau tubuh
Ibu yang menutupi siang
Dan mata abadi yang terpejam
Dibalutnya segala
Rahasia yang hidup
_Berkelumun_ dalam peluk
Membangun labirin yang meniadakan
Keingintahuan kita belaka tentang perkara tema dan lema
Api pertarungan hidup yang membakar kampung halaman
Angin senyap musim hujan yang menggulung para tersayang
Gemuruh dari detak bandul jam megah di dinding rumah kediaman
Dan suara asing dari kedalaman angan – angan yang membuhul langkah kanak – kanak untuk tetap manja kepada Ibu
Tetaplah kepada Ibu
Walaupun sesuatu datang menderu
Dan menjadikan malam begitu panjang
Hingga rintihan paling sakit terkurung Reruntuhan masa lalu Terlepas murka tak menoleh sekejap pun.
Simpang Empat, 27 Mei 2024
Siapa yang ditepuk tangani itu
Kapan kau hentikan aku menanak airmata ini
Aku menanti di tiap garis waktu
Drama yang terus menerus kita mainkan
Dialog buta yang saling kita lemparkan
Lalu di tiap pertukaran babak aku tetap harus menguras air mata
Menanaknya dengan luka berlebih
Dan kau masuk ke bilik ganti tinggalkan aku di atas panggung
Yang tak mengenal layar ditutup dan
Pergantian jeda iklan promosi jualan obat minyak gosok dan krim pemutih wajah
Kapan kau hentikan aku menanak airmata ini
Aku tak sempat berganti kostum, bedak, parfum dan peran
Karakterku telah tetap dalam skenario
Drama yang kita mainkan sepanjang pertunjukan
Siapakah yang ditepuk tangani penonton itu, sayang?
Babak ke babak berganti
Adegan demi adegan kita jalani
Untungnya dirimu aku telah hapal dialog kita yang entah berguna atau tidak
Sungguh aku tidak akan lupa mengembalikan kata kepada hakikatnya
Bagaimana ucapan terimakasih harus kulafalkan dengan seksama
Penuh cinta walau
Perih luka telah berdarah
Bernanah begitu pilu.
Kapan kau hentikan airmataku yang ditanak dengan api yang berkobar ini?
Ujunggading, 2 Desember 2023
Pemenang Kasih Sayang
Di ruang paling relung
Pertarungan dengan waktu yang angkuh
Dan raung yang menakuti
Ragu dan diam menghunus pedang
Cemburu hingga tak bertukar sayang
Bertahan sama – sama
Sepakat merasa paling benar
Sampai tiba rindu mendamaikan
Saling menebas silang sepanjang ruang
Sejauh rindu masih utuh
Maka kita pemenang kasih sayang
Menjuarai segala halang
Dan tiap rintangan yang menghadang
Begitulah air telah memadamkan
Hujan turun basuh segala debu
Dan kemarau pergi sebagai cemburu paling buta
==============
DENNI MEILIZON, lahir di Silaping Pasaman Barat, 6 Mei 1983. Bergiat di Forum Pegiat Literasi (FPL) Pasaman Barat, Forum TBM Pasaman Barat, Ketua Forum Penggerak Literasi Sumatra Barat.
Buku puisi “HIDANGAN PEMBUKA” (Rumah Kayu Pustaka Utama)
Buku cerita pendek terbarunya “LELAKI RAMBUT BAWANG” (Denta Publisher). Buku kumpulan esai dan laporan jurnalistik “KETIKA KELEDAI MEMBAWA BUKU” (Azka Pustaka). Satu naskah buku sedang proses terbit, buku Puisi “PERCAKAPAN SEBELUM PAGI”.
Salah seorang pendiri Lembaga Pasaman Boekoe Indonesia, sebuah gerakan di bidang pengumpulan buku, apresiasi buku dan diskusi buku Penulis yang berasal dari Pasaman dan Pasaman Barat. Mengelola Taman Bacaan Masyarakat “Roemah Boekoe Pasaman” di Nagari Lingkuang Aua Kecamatan Pasaman Simpang Ampek. Salah seorang pendiri Lembaga Diklat “Metaforma Course” dibawah naungan Yayasan Tuah Talamau Berdaya. Tinggal di kota Simpang Empat Pasaman Barat.
Discussion about this post