Inilah sajakku
Pamplet masa darurat
Apakah artinya kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir
Bila terpisah dari masalah kehidupan
Sajak Sebatang Lisong, WS. Rendra (1977)
Bagi Rendra, kesenian hendaklah bicara soal keadilan dan keberpihakan. Soal seni yang tidak bisa dipisahkan dari gelisah dan penderitaan rakyat. Ihwal sajak yang ditujukan untuk mengetuk kesadaran setiap orang agar saling bersolidaritas.
Semangat serupa saya temukan saat menonton pertunjukan teater ‘Nata Sukma’ karya Tatang Rusmana pada malam terakhir Pekan Apresiasi Teater (PAT) ke-7 Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, 12 Oktober 2024, di Teater Arena Mursal Esten.
Selama kurang lebih 46 menit, drama ini bercerita tentang sikap serta kebijakan Belanda dan penguasa lokal saat masa penjajahan yang menimbulkan perlawanan rakyat. Kebijakan yang lahir masa itu hanya menguntungkan Belanda dan elit lokal. Tanah petani dirampas dan dipaksa untuk menanam komoditi ekspor yang akan dibeli dengan harga murah. Petani juga dicekik karena dibebani berbagai pajak yang tinggi.
Tokoh utamanya adalah Nata Sukma, seorang petani miskin yang memiliki semangat tinggi melawan penjajah dan penguasa lokal. Lelaki itu tidak berlawan sendiri, tetapi bersama 2 saksi zaman, yakni Multatuli dan 3 orang Marhaen.
Tatang Rusmana, penulis naskah sekaligus sutradara dan pemeran tokoh Multatuli di ‘Nata Sukma’, menyebutkan gagasan ini berangkat dari riset panjangnya terkait cerita rakyat di masyarakat Sunda dan kolonialisme di Indonesia.
“Saya melakukan alih wahana dari Tutur Beluk dan Wawacan Nata Sukma menjadi naskah teater. Wawacan adalah karya sastra Sunda, erat kaitannya dengan Beluk yang merupakan seni tutur dari masyarakat petani Sunda, Jawa Barat,” ujar dosen teater ISI Padangpanjang ini. (12/10)
Wawacan Nata Sukma merupakan cerita rakyat tani Pangalengan, Kabupaten Bandung, saat masa tanam paksa kopi sekitar tahun 1833. Manuskrip ini ditulis anonim dengan huruf Pegon Arab, isinya tentang kisah perlawanan petani terhadap penjajah. Tanam paksa pertama di Nusantara dimulai dari Preangerstelsel di Priangan, tanah Sunda, mulai tahun 1720 hingga 1916. Preangerstelsel ini yang mengilhami Belanda untuk melahirkan Cultuurstelsel dengan jenis tanam yang lebih variatif dan daerah yang lebih meluas.
“Saat tanam paksa, masyarakat teraniaya dan melakukan tindakan preventif melalui cerita-cerita tutur. Cerita Nata Sukma populer di era abad ke 19 dan awal abad 20. Namun kini cerita itu tidak lagi populer. Saya bongkar lagi naskah lama tentang Nata Sukma dan melakukan penelitian ilmiah terkait konteks cerita tutur,” jelas Tatang.
Tatang memulai penelitian diawal tahun 2000-an dan hasil penelitian tersebut telah dikonsorsiumkan di beberapa kampus di Indonesia seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Simposium Internasional Pernahkah Nusantara dan lainnya.
Pada naskah dramanya, Tatang memunculkan juga tokoh Marhaen dan Multatuli. Keduanya merupakan bagian dari sejarah perlawanan rakyat Indonesia terhadap penguasa. Multatuli atau Eduard Douwes Dekker tidak lain Asisten Residen Lebak, utusan Belanda tahun 1850.
Multatuli menulis soal kekejaman Belanda dan elit lokal dalam novel yang berjudul ‘Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij’ (Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Buku ini membuka mata dunia tentang kekejaman Belanda dan elit lokal pada masa tanam paksa, Preangerstelsel di Sunda.
Sedangkan Marhaen adalah seorang petani miskin yang ditemui Soekarno di Bandung, Jawa Barat, tahun 1926. Menurut Soekarno, Marhaen merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia saat itu. Perjumpaan itu menginspirasi Soekarno untuk menggagas sebuah ideologi yang disebut Marhaenisme. Ideologi Sosialisme ala Indonesia yang menentang penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa.
3 tokoh dalam drama “Nata Sukma” merupakan narasi yang lekat dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda, Jawa Barat. Ketiganya berasal dari Jawa Barat bersamaan dengan Tatang Rusmana yang berasal Jawa Barat pula. Nata Sukma dan Marhaen berlawan dengan tenaganya. Multatuli berlawan dengan ujung penanya. Tatang berlawan dengan tulisan dan gerakan kebudayaannya.
Pada drama juga muncul narasi Si Tumang dalam cerita Sangkuriang, cerita rakyat Sunda. Nata Sukma menyebut penjajah sebagai Si Tumang. Penyebutan itu adalah wujud perlawanan atas tulisan yang tertempel di setiap gedung milik Belanda: “Verboden voor honden en inlanders”, artinya dilarang masuk untuk anjing dan orang jajahan. Pernyataan itu diiringi oleh nada sendu dari petikan kecapi Sunda dan tiupan Suling Sunda.
Karya ini sangat kuat menggambarkan identitas Tatang sebagai orang berdarah Sunda. Ia membuat sebuah cerita surealis yang berangkat dari riset dan memori kolektifnya untuk menggambarkan perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Sesungguhnya, cerita ini bukan hanya soal orang Sunda. Tatang ingin menyampaikan bahwa di belahan dunia manapun, penjajahan pasti akan menimbulkan penderitaan sekaligus perlawanan rakyat. Pada drama, Nata Sukma juga menyebutkan soal perang Kamang di Sumatera Barat yang terjadi karena menolak pajak yang tinggi. Ada sebuah pesan solidaritas, bahwa penjajahan sekaligus perlawanan di Bumi Sunda juga dirasakan dan terjadi di Bumi Minang.
Nata Sukma Hari Ini: Apakah Kita Sudah Merdeka?
“Mereka telah mengalahkan keadilan dengan kekuasaan. Dengan gaya yang anggun dan sikap yang gagah, tanpa ada ungkapan kekejaman di wajah mereka. Dengan bahasa yang rapi, mereka keluarkan keputusan-keputusan yang tidak pernah adil terhadap rakyat. Dengan budi dan bahasa yang terlihat halus, mereka saling berbagi keuntungan yang didapatkan dari rakyat. Rakyat kehilangan tanah, harta dan seluruh hidupnya. Dan Mereka menganggap itu suatu kewajaran”.
Multatuli–Nata Sukma (2024)
Pertunjukan ‘Nata Sukma’ dibuka dengan sirine yang panjang. Hal yang pertama kali terlintas dalam benak saya adalah aksi besar rakyat Indonesia bertajuk ‘Peringatan Darurat’ beberapa bulan lalu.
Video berlatar warna biru dongker disertai tulisan serta gambar burung garuda berwarna putih dengan suara sirine panjang viral di media sosial. Hampir di setiap daerah, orang-orang melakukan aksi demonstrasi dengan berbagai tuntutan terkait kebijakan yang tidak pro-rakyat. Beberapa musisi Indonesia juga menggemakannya di atas panggung konser.
Sebagai penonton awam, saya tentu tidak memahami soal teknis performance pada pertunjukan Nata Sukma. Namun simbol-simbol yang hadir saat pertunjukan berhasil membawa saya pada sebuah pemahaman bahwa rakyat Indonesia belum merdeka, masih dijajah tapi dengan model penjajahan gaya baru.
Di panggung terdapat beberapa properti simbol. Ada dinding putih yang di atasnya bertengger bangku raja. Lalu ada podium dari kayu, yang dirakit seadanya. Pada kiri podium dihias dengan orang-orangan sawah. Pada kanannya terdapat bendera merah putih yang diikat pada sebatang bambu. Menggambarkan situasi masyarakat agraris Indonesia yang menggantungkan hidup dari hasil pertanian.
Kemudian lampu sorot yang berganti warna dari putih, biru, dan merah mengaduk-ngaduk emosi penonton. Lampu sorot merah dimunculkan saat para Marhaen dan Nata Sukma memukul dinding putih yang tertengger bangku kekuasaan. Saat itu suara sirine kembali berdengung. Dialog para tokoh yang dituturkan secara realis, dengan mudah saya menangkap bahwa ini adalah pesan perlawanan terhadap penindasan.
Tatang melihat kondisi masa kolonial tak ubah dengan hari ini. Melalui pertunjukannya, Tatang mencoba menghubungkan teks antar fase zaman melalui simbol. Marhaen dan Nata Sukma yang bertelanjang dada, serta Multatuli yang menggunakan stelan jas lengkap menggambarkan ketimpangan kondisi rakyat dan Belanda pada masa kolonial. Marhaen dan Nata Sukma memakai masker respirator, menggambarkan kondisi pencemaran lingkungan hari ini yang sudah akut.
Pada pertunjukan, ada batang padi yang dibawa Marhaen. Menurut Tatang itu bentuk kontekstualisasi. Jika saat tanam paksa, rakyat dipaksa menanam kopi dan kehilangan lahan untuk menanam tanaman pangan. Kini kita kekurangan lahan untuk menanam padi, karena sebagian besar lahan dijadikan bisnis perkebunan dan pertambangan skala besar. Produksi padi berkurang dan rakyat bergantung pada pangan impor. Sebuah ironi di negara agraris.
Jika dulu kita berhadapan dengan penjajah asing dan elit lokal. Kini, kita berhadapan dengan pemerintah sendiri yang sering melahirkan kebijakan yang hanya menguntungkan diri dan kroninya. Mereka menjadi pejabat sekaligus pengusaha bermodal besar dan mengabdi pada monopoli koorporasi internasional. Mereka tak segan menangkap rakyat yang tidak patuh terhadap aturan yang dibuatnya.
Dalam 10 tahun terakhir, ada 2.939 konflik agraria, perampasan 6,30 juta hektar tanah rakyat untuk pusat bisnis pengusaha, dan ribuan orang dikriminalisasi karena memperjuangkan hak tersebut (WALHI dan KPA, 2024).
Keputusan Tatang untuk mengangkat pertunjukan yang gamblang mengutarakan kritik terhadap penguasa, menurut saya adalah sebuah keberanian besar. Di tengah banyak intelektual yang hari ini lebih memilih jalur aman. Tatang memilih jalan yang sunyi. Sunyi karena para budayawan yang kritis juga dibungkam oleh rezim karena menyuarakan keadilan. Seperti jalan yang dipilih oleh Sitor Situmorang, WS Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Yayak Atma, dan beberapa tokoh lainnya.
“Saya berkesenian untuk mengkoreksi rezim. Ini pilihan jiwa. Seperti judul Nata Sukma yang mengingatkan kembali ke jiwa sendiri. Bagi saya, teater adalah opini, sikap gagasan yang harus disampaikan. Koreksi atas keadaan,” ujar Tatang.
Selama pertunjukan, saya sebetulnya berharap ada tokoh perempuan yang muncul. Namun sampai akhir, tokoh itu tidak muncul. Yang ada hanya, beberapa sebutan perempuan yang muncul dalam lafal Nata Sukma seperti ibu, bundo kanduang, dan Dewi Sri.
Selama ini dalam budaya masyarakat yang patriarki, perempuan seringkali tidak tercatat dalam narasi sejarah. Padahal dalam perlawanan melawan penjajah, perempuanpun ikut mengambil bagian, di tengah keterbatasan mereka. Di Jawa Barat, Ada Suwarsih Djojopuspito, anak dari seorang Dalang Wayang di Bogor yang buta huruf. Ada Raden Siti Jenab dari Indramayu, yang pada tahun 1830 terlibat pada aksi perlawanan terhadap Belanda. Dan masih banyak lainnya.
Memunculkan tokoh perempuan dalam berbagai narasi seni pertunjukan merupakan sebuah upaya untuk melawan subordinasi dan domestifikasi terhadap perempuan, sekaligus mendorong keterlibatan perempuan dalam perjuangan-perjuangan yang lebih besar lagi.
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post