AKU DAN KAMERAKU
Aku punya kamera
Moncongnya kuarahkan kemana saja
Ke wajah orang-orang misalnya
Ke wajah sendiri juga misalnya
Sampai habis baterai
Sampai pegal sendi-sendi jemari
Aku putar gambarnya
Kadang gelap kadang terang
Jarang yang biasa-biasa saja
Seperti hidup mereka yang kupotret
Yang sembab atau benderang sekalian
Istriku menyuruhku memotretnya
Maukah kau katanya?
Tentu aku mau
Kan dia istriku
Gelap terang dia istriku
Kuarahkan kamera
Cahaya menerpa wajah istriku
Seperti pertama kami di pelaminan
Kilat kamera dimana-mana
Lain waktu
Tuan besar mendatangi
Ia minta aku memotretnya
Kau mau kan, Katanya
Aku mau saja
Kan dia tuan besar
Kemudian aku potret dia
Sebagian licin mengkilap
Sebagian lagi buram
Seperti hidup yang kerap bersembunyi
Tuan besar marah-marah
Kenapa wajahnya tak semua yang tampak
Dasinya juga
Sinsing lengan bajunya juga
Aku bilang pada tuan besar
Aku tak salah
Kameraku benar
Wajah tuan juga tak salah
Ia sebenar-benar gambar
Tuan besar meradang
Kameraku dicampaknya
Aku ditendang
Terhuyung kiri kanan
Foto tuan besar tetap begitu saja
Sebagian licin sebagian buram
Dasi dan sinsing lengan baju tetap legam tak tampak
Aku pulang
Aku potret istriku
Gelap terang
Aku suaminya
Gelap terang
Dia istriku
===========
Sehari lewat
Malam datang
Lalu esok
Lalu lusa
Lalu terompet lagi
Mercon kembang api
Lalu kita tak ingat apa apa
Sebab keriput di leher
Uban di kepala
Kencing di celana
Tua
Hidup yang
Begitu begitu saja
============
Di dalam warung yang menjual sepi
Kita memesan kopi, sesendok rindu diaduk, menggelar senyum di ujungnya.
Sebatang pagi dihembus
Kabutnya menyentuh kulit dan merayap ke hati.
Bolehkah esok kita datang lagi?
Membeli sepi dan mengubahnya menjadi riuh.
Cuma kita.
Penulis, Uyung Hamdani. Seorang Fotografer Dokumenter dan penulis lepas. Tulisan-tulisannya banyak memuat tentang sosial lingkungan dan kebudayaan.
Discussion about this post