Perdebatan di dunia maya antara pendukung dalam pesta political sulit ditertibkan, bahkan sampai sekarang telah jelas siapa yang menang. Tetapi masih boming berbagai celotehan, tak terkecuali di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Kabupaten yang masih menyisakan hawa panas pesta politik yang telah usai. Terkadang semua itu keluar dari kaidah kesopanan dan macam orang yang melupakan kato nan ampek dalam berdialektika. Sebenarnya kalau mau masing-masing diri yang saling membenci untuk merenung sesaat, untuk apa semua itu? Tahukah hati bahwa yang dicaci dan dimaki berkemungkinan saudara setempat duduk dengan kita.
Sebelum suara jadi sunyi, sebelum diri dihabiskan rezeki, alangkah baiknya antara kita saling bermaafan. Sehebat dan sekuat apapun kita, pakaian yang tak berjahit itu dimintakan tolong juga pada orang untuk memasangkan, berkemungkinan mereka yang kita bully dahululah yang mengantarkan kita ke tempat persemayaman. Sementara orang kita bela berkemungkinan tidak menghadiri karena satu dan lain hal.
Ramadan tinggal menghitung hari, bulan suci akan menyambut orang yang berhati suci. Orang hebat bukanlah orang yang tak pernah salah, tapi orang hebat adalah orang yang mau memperbaiki kesahan diri. Orang yang sempurna bukanlah yang rancak dari berbagai hal, tapi orang yang sempurna berusaha menghapus kekurangan demi rancak dari segi lahir dan batin. Mengulurkan tangan dan membuka hati adalah hal yang sangat di cintai oleh penguasa alam.
Terus hilangkah perdebatan? Perdebatan tidak akan hilang sampai berhentinya darah mengaliri rongga badan. Tapi perdebatan yang saling mendengarkan, yang berhujjah berlandasan, yang bertujuan kemaslahatan, yang menundukkan hati pada aturan Tuhan. Negara kita lahirpun juga dari perdebatan para pahlawan. Sudah selayaknya pemerintahan mengambil peran, fasilitasi anak negeri untuk saling berdebat/diskusi dan menyampaikan pendapat. Periode-periode keemasan dalam sejarah berpondasikan perhatian pemerintah pada perdebatan dan ilmu pengetahuan.
Seorang Khalifah Harun Al-rasyid pemimpin yang sangat mashur keberbagai penjuru dunia merawat perdebatan dengan syarat dikungkung ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah tempat untuk berdebat yang sudah jadi monumen di hati ummat.
Tidak bisa dipungkiri kesuksesan sang ayah yang dilanjutkan oleh Al-makmun memberi semacam motivasi pada bangsa eropa yang sekarang terkenal dengan kemajuannya. Banyak orang yang berkiblat ke eropa dalam masalah kemajuan, padahal semua itu termotivasi dari corak peradaban muslim. Bangsa Indonesia sendiri membangun pondasi negara juga dari perdebatan. Para pahlawan perang urat syaraf dalam perjalanan menuju kemerdekaan. Kalaulah hanya bambu runcing yang dibanggakan melawan meriam tentu bak pungguk merindukan bulan. Tapi diatas semua itu ketajaman pemikiran dan kekuatan do’a adalah senjata pemusnah kaum penjajah.
Terkhusus di daerah Minangkabau perdebatan dan perang pemikiran adalah sesuatu yang sudah biasa, hal ini sudah turun temurun dari para pendahulu-pendahulu. Konon kabarnya nama Minangkabau itu sendiri adalah hasil dari pemikiran bagaimana strategi merubuhkan kerbau besar dengan kerbau kecil demi menjaga harga diri. Namun cerita tersebut, masih bisa diperdebatkan karena mungkin kekurangan sumber pendukung atau ditemukannya sumber baru atau mungkin juga kecintaan untuk berdebat.
Berangkat dari semua itu memang pribadi-pribadi minang mempunyai gen dalam berdebat. Bisa dilihat dari penemuan-penemuan arkeolog, yaitu Medan Nan Bapaneh. Tempat ini adalah tempat bermusyawarah dan memutuskan suatu perkara. Tempat yang masih banyak kita jumpai sampai sekarang walaupun sudah banyak ditinggalkan yaitu Balerong. Fungsinya untuk berdebat dan bermusyawarah untuk kemaslahatan anak kemenakan beserta orang kampung.
Dimana duduk di situ tersedia guru yang akan memberi semacam hikmah. Pergi ke warung kopi, di warung kopi merupakan meja untuk berdebat dan beradu argumen dengan filsafat. Mendudukkan warna burung gagak hitam atau tidaknya saja, bisa menghabiskan waktu untuk satu kali pertemuan tersebut. Ada yang dengan kat’i mengatakan warna burung gagak itu hitam, namun kawan di sebelah dengan begitu mudah menimpali, warnanya putih. Cuma yang dilihatkan ke kita bagian yang hitamnya saja. Ya, itulah garah-garah lapau. Tidak bisa dipungkiri seorang Haji Agus Salim pun bisa mematah-matahkan lidah penjajah di meja perundingan.
Pergi ke sawah misalnya, garah dan kucindan saat bekerja penuh dengan makna. Bila ada yang turun ke sawah terlambat terus, atau panen yang dilalai-lalaikan, maka akan ada sekelompok orang yang mengerjakan sawah tersebut agak sedikit di malam hari. Tampaknya itu bisa dikatakan ide gila, namun bagi mereka yang mempunyai sawah itu adalah penghinaan yang sangat dalam maknanya. Namun bila dicermati makna positifnya, hal tersebut merupakan suport pada orang-orang yang malas bekerja. Itu baru sebatas warung kopi dan sawah, belum lagi surau yang memang merupakan sentral pendidikan dunia dan akhirat. Di surau segala macam ilmu akan ditransfer dari sang guru ke anak kemenakan yang berguru. Bukan hanya ilmu agama, namun ilmu yang berkaitan dengan kehidupan di dunia.
Walaupun orang minang suka berdebat dan bergulat pemikiran, namun mereka selalu bermaaf-maafan sebagai hamba yang takut pada azab Tuhan. Kurang “sadis” apa perdebatan antara Hamka dengan M. Yamin tentang pandangan bernegara, namun diakhir hayatnya seorang M. Yamin menitip pesan ke orang agar Hamka yang kelak membawa jenazahnya pulang ke kampung halaman. Sudah sepatutnya antara pemerintahan dan rakyat berderai bersama-sama mengembalikan marwah perdebatan yang telah lama menghilang. Masyarakat bersuara dengan landasan yang kuat, pemerintah memfasilitasi sarana semacam balerong. Bisa untuk pemanasan dari kalangan mahasiswa terlebih dahulu. Pihak pemerintah menyiapkan semacam silabus dan tempat untuk bakuhampeh pemikiran. Tiap akhir pekan silakan mobil pemerintahan daerah menjemput ke titik kumpul yang telah disepakati. Meski begitu, tentu saja hal ini perlu ditinjau ulang tak semata-mata agenda musiman. Karena sesuatu hal yang besar memang membutuhkan persiapan yang matang pihak internal sendiri. Harapan kepada Pesisir Silakan untuk menghasilkan kaum-kaum intelek yang siap bertukar pikiran, tak semata-mata pendant kelompok –menyeluruh. Jangan mengaku putra daerah, bergerak bersama, dan segala angin segarnya. Tapi masih saja jadi manusia anti kritik, bersembunyi dibalik kedustaan. Semoga saja Ada hal-hal baru yang muncul dengan niatan baik, memberi ruang interaksi secara berkala.
Irwandi, alumnus Fakultas Ilmu Budaya Adab th. 2012 IAIN Imam Bonjol Padang, sekarang berganti nama Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam Bonjol, Padang. Putra Daerah Pesisir Silakan.
Discussion about this post