Jika seorang penyair berkeluh kesah pada selembar kertas, maka lahirlah seperangkat catatan sajak puisi yang penuh lirih. Jika ia seorang komponis yang sedang resah, maka lahirlah lantunan nada yang penuh irama wujud rasa yang mengemuka. Jika ia seorang dramawan, maka lahirkah naskah layaknya plot yang penuh klimaks. Jika selembar kertas berada pada seorang perupa, maka lahirlah objek sketsa yang penuh makna.
Penulis, Nessya Fitryona
Lalu pertanyaannya, apakah sketsa hanya milik perupa yang dalam pengertian dibatasi? Narasi di atas merupakan pernyataan kecil terhadap stigma peran seseorang dalam menuangkan ide-ide kreatifnya ke dalam selembar kertas. Entah kertas tersebut tersedia dalam format manual ataupun digital. Lantas muncul pertanyaan terhadap perkara terciptanya sebuah karya. Apakah setiap profesi selalu berkarya sesuai dengan karirnya? Jika mengerucut pada persoalan seni, apakah karya seni misalnya gambar-gambar sketsa harus berasal dari tangan-tangan yang berprofesi sebagai perupa? “Ya!” bila pernyataan tersebut mengikat terhadap profesional seseorang dalam mencipta. Namun, hal ini tentu menjadi begitu sempit dan terlalu mutlak. Akan tetapi, jika disandingkan dengan fenomena hari ini, muncul sebuah kemungkinan. Siapapun akan berhak menciptakan apapun entah dari manapun latar dan perannya. Melalui pameran Young Blood#2: Sketchbook, narasi tersebut adalah pijakan yang punya banyak bercerita.
Gejala hari ini, siapapun berhak memiliki sketchbook sesuai dengan tujuan dan sasaran tertentu. Barang ini bisa berupa buku berisikan sebuah kertas kosong yang sudah dilijid, maupun kumpulan kertas kosong yang sengaja dibukukan untuk dicoret. Setiap lebar berisikan gambar rancangan ringan maupun gambar yang digarap serius dengan memindahan objek dengan goresan garis, arsiran, atau warna. Hal yang terlintas selanjutnya adalah, seberapa penting keberadaannya? sehingga pemodal menangkap sketchbook sebagai peluang produk yang perlu diproduksi massal untuk memenuhi kebutuhan? Kebutuhan seperti apa?
Melirik Sejarah yang Sedikit Membosankan
Menelusuri pengetahuan tentang sketsa dan sketchbook di tanah air hingga fungsi-fungsi yang hadir dari keberadaannya, berkaitan dengan masa-masa masuknya pengaruh dan pengetahuan seni rupa pada titik periode tertentu. Kebutuhan ini berangkat dari fungsi magis, dokumentasi, studi bentuk, draft karya jadi hingga pengabadian momen kehidupan sehari-hari. Jika menyelam pada lintas waktu yang jauh, sketsa pertama yang muncul berupa citraan objek yang terdiri dari goresan-goresan sederhana hadir pada zaman primitif di dinding-dinding goa. Sebut saja sebagai contoh goa yang terkenal saat kita belajar sejarah zaman purba ketika duduk di bangku sekolah, yaitu Goa Leang-Leang di Sulawesi Selatan. Walaupun pada kenyataannya, sketsa berupa garis sederhana zaman purba ini juga tersebar disepanjang pantai Papua hingga Kalimantan. Saat itu kumpulan sketsa pada masa manusia purba tersebut memiliki media dan fungsi yang menarik. Yaitu fungsi magis sebagai ritual dengan adanya teknik penggambaran garis yang sederhana berobjekkan manusia dalam bentuk skematis dan antropomorfis.
Pada ruang waktu yang lebih dipercepat lagi yaitu setelah Masehi, kumpulan sketsa selanjutnya memiliki pergeseran fungsi yang semakin kompleks. Fungsi Sketsa bergeser dari fungsi magis ke fungsi dokumentasi dan laporan lengkap penggambaran suasana alam, sosiokultural, politik dan ekonomi yang ada dan terjadi di wilayah Hindia Belanda. Masa Indonesia dikenal sebagai kawasan Hindia Belanda yang kaya akan budaya dan hasil alam yang berlimpah. Kekayaan ini dijadikan sebagai objek studi, fakta sejarah dan dokumentasi perjalanan dan aktivitas para kompeni VOC. Sketsa mendapat fungsi penting karena perkembangan teknologi untuk merekam visual lebih cepat yaitu kamera sebagai foto dan rekaman film masih sedang masa kelahiran dan berkembang yang rumit. Saat itu, banyak didatangkan pelukis dan pembuat sketsa berkebangsaan Barat ditugaskan untuk membuat laporan terkait kebudayaan dan peristiwa yang terjadi di wilayah jajahan. Sketsa saat itu hadir bergaya realis kemudian memiliki peran sebagai laporan kepada Ratu Belanda, yaitu Ratu Wilhelmina (1890 – 1948). Di saat yang bersamaan, bangsa pribumi secara tidak langsung diberikan pengetahuan terkait perkara menggambar objek-objek secara nyata.
Pada perkembangan selanjutnya para pribumi mulai belajar dan menggambar sendiri susasana dan objek-objek yang ada di sekitarnya. Ada yang dijadikan koleksi pribadi dan ada juga dijadikan sebagai tawaran khusus kepada pihak belanda untuk digambar ulang. Misalnya dalam cerita pelukis Mas Pirngadie (salah satu perupa dan ahli gambar Indonesia pada zaman Mooi Indiё). Dalam pemberdalam lmu menggambarnya ia yang bertemu J.E. Jasper dan berburu gambar studi kerajian seni rupa yang ada di Indonesia dari satu daerah ke daerah lain. Tentunya apa yang dilakukan Pirngadie salah satu adalah contoh fungsi sketsa yang berkembang di zamannya. Lanjut, beralih ke generasi Wakidi (pelukis legendaris di Sumatera Barat) sampai cerita berlanjut hingga generasi perupa yang muncul pada periode rentang waktu seni rupa Modern.
Seiring dengan mulai masuknya pengetahuan Barat dalam dunia pendidikan di Indonesia saat itu – sejak sebelum dan sesudah merdeka – sketsa mulai muncul untuk studi bentuk, rancangan ringan untuk karya yang lebih serius, hingga pengabadian kisah heroik dan keseharian perupa. Sebut saja contoh lainnya, Itji Tarmizi (1939-2001) seorang perupa Minang yang sempat merantau, masuk dalam sanggar Pelukis Rakyat di Jawa dan ditangkap pada masa Lekra. Kumpulan sketsanya berupa dokumentasi potret gambar kehidupan orang-orang disekitarnya dalam aktivitas sehari-hari dan sekeping perjalanan berkeseniannya di Sanggar Pelukis Rakyat. Tidak jauh-jauh, kita juga bisa melihat fungsi sketsa yang berkembang pada zamannya dari kumpulan sketsa Bodhi Darma (1955 – sekarang) yang banyak melirik mengabadikan momen pada peristiwa-peristiwa sosial budaya di Minangkabau hingga banyak wilayah di Indonesia.*
Transposisi Sketchbook dari zaman ke zaman
Beranjak dari kisah terdahulu, pada masa sekarang yang katanya berada pada wilayah kontemporer, siapapun berkesempatan untuk memiliki sketchbook sebagai bentuk aktualisasi diri dan rekam jejak personal. Keintiman kepemilikan buku sketsa ini semakin terasa ketika kumpulan karya-karya ini tidak lagi diperuntukkan secara penuh kepada fungsi dokumentasi sosial, tetapi telah difungsikan sebagai catatan pribadi pada momen-momen estetik dan jejak pencapaian tertentu. Dalam konteks peristiwa pameran kali ini, saya menyebut mereka adalah perupa – setiap orang dari berbegai latar apapun yang berkomitmen berkarya rupa. Mereka menyuarakan jiwa zaman. Sebuah zaman yang telah banyak mengkonsumsi budaya global secara bebas disusun ulang dan ditarik ulur menjadi sumber inspirasi dalam berkarya.
Pameran Young Blood#2 yang diselenggarakan RAS di tahun 2021 kali ini merupakan sebuah inovasi yang membuka peluang membongkar persepsi tentang sketchbook menjadi sebuah kebaruan. Sebuah potensi bahwa skectbook dapat diposisiskan sebagai karya personal perupa yang juga layak untuk mendapat apresiasi di dalam ruang pamer, membongkar dan mempertontonkan wilayah privasi. Konsep ini diramu dengan cara-cara penyajian terlihat intim dan seksi untuk dipertontonkan. Ide keintiman diperkuat dengan ide pemberian sekat sebagai wilayah kerja kreatif perupa yang terlibat untuk di-setting sedemikian rupa. Penikmat seni atau penonton dapat bertamasya visual dengan sajian karya seni yang tidak biasa. Mereka boleh menyentuh, membolak-balik karya sesukanya layak membaca buku catatan harian seorang, namun tetap berada dalam protokol kesehatan siaga Covid-19. Penonton diberikan sarung tangan. Hal ini selain agar sajian karya tetap steril dan sebenarnya juga menjaga kondisi kumpulan karya sketsa-sketsa disentuh tidak rusak.
Salah satu fungsi sketchbook hari ini yang tampak paling kuat adalah untuk bersenang-senang mengisi waktu luang. Begitulah kebutuhan utama yang dirasakan delapan perupa muda yang bergabung pada even ini. Mereka adalah Febridho (Jalu), Ariq Al Hani (Ariq), Satria Antomi (Tomi), Ridha Nur Safitri (Ridha), Novando Mushil (Nando), Hary Ramadhan (Tokok), Lili (Aprililia), Angga Deja Kurnia (Golek).
Menjelajahi setiap ruang privat yang ditawarkan dalam pameran ini, seakan mata kita terbawa pada kehidupan keseharian perupa. Karya-karya yang disajikan penuh narasi emosi, terkadang ringan, begitu serius, hingga mengandung nilai-nilai motivasi perjuangan. Dalam penjelajahan karakter, ada yang mendapat inspirasi mereka bersumber dari kesenangan terhadap musik, film, ada yang mendapat inspirasi dengan menantang kemampuan menggambar mereka pada pencapaian-pencapaian kreasi tertentu, ada pula sebagai pengabadian momen ketika berada pada situasi tertentu. Terkadang tiga komponen inpirasi tersebut tidak mutlak, tetapi saling tumpang tindih pada masing-masing perupa.
Tak jarang sembari berkarya perupa milenial ditemani oleh lagu atau musik favorit mereka di waktu luang. Hal ini semakin terasa sejak adanya tren tempat nongkrong yang banyak disuguhi musik-musik menemani waktu luang mereka sambil meneguk segelas kopi. Atau mengisi waktu luang dengan euforia menonton film-film layar lebar yang inspiratif dengan beragam cerita dan alur yang tak lagi mainstream. Inspirasi berupa musik dan film sangat kental terlihat pada Ariq, Hary, Angga dan Ridha. Kegemaran genre musik mereka unik dan berbeda-beda seperti perbedaan karya-karya mereka secara personal. Misalnya Hary dalam konsep visual karyanya banyak terinspirasi salah satunya oleh penyanyi dan penulis lagu David Bowie. Karya-karyanya yang digarap dengan teknik pointilis dan blok serta kekuatan garis menciptakan kedalaman tekstur semu yang detail. Beberapa potret misterius dan tenang menyelubungi karya-karyanya. Ariq tampak muncul dengan tren-tren visual Jepang. Sketnya banyak menggambarkan panel-panel scene khusus layaknya adegan yang dapat kita temukan pada komik buatan Jepang. Angga terinspirasi dari selera musik yang juga unik, salah satunya Gorillaz Band dan beberapa film salah satunya Dallas Buyers Club. Sehingga karakter yang muncul pada karya-karyanya di sketchbook mirip dengan apa yang kerap ia lihat padasumber inspirasi tersebut, yaitu figur kurus memanjang dan terkesan penggambaran yang surreal dan ringan. Selanjutnya, Ridha juga memiliki selera musik yang khas dalam menemani setiap inspirasi visualnya, misalnya kegemarannya pada lagu bertema musikalisasi oleh Ari Reda dan tembang lawas Dara Puspita. Hal ini juga berpengaruh pada ekspresi visual Ridha dalam berkarya dengan memasukkan teks-teks inspiratif sesuai suasana hatinya.
Inspirasi dari tantangan ringan terhadap kemampuan menggambar secara personal juga tampak pada karya-karya Nando, Tomy, Jalu dan Lili. Nando dalam rekam jejak karya sketsanya banyak terinspirasi dari hal-hal ringan berkaitan dengan kesehariannya bersama teman-teman dan kegemaran berkeliling menikmati alam. Goresan tangannya ditantang untuk mengalir menciptakan objek secara reflek dan terkadang spontan. Tomy dalam berkarya dengan terukur dan proporsional terinspirasi dari tawaran teman-temannya dan kegemaran menggambar potret wajah dengan standar khususnya. Jalu tampak melatih capaian artistiknya dalam mengimitasi objek secara real dan menantang pencapaiannya dalam studi bentuk dan berolah imajinasi dengan objek-objek yang ia sukai yaitu kaktus. Selanjutnya, Lili yang tampak terinspirasi dari tantangan terhadap dirinya dalam meluapkan perasaan dan keresahan terhadap gejolak sosial yang ia rasakan. Lili bermain dengan cipratan cat hitam yang ekspresif. Eksekusi visual karya mereka sangat segar. **
Private Room: Intuisi dan Sensing yang Menggerakkan
Karya seni, entah itu berbagai macam wujud dari kemungkinan yang muncul termasuk sketsa, tidak semata-mata sebuah rakitan konstruksi bentuk-bentuk yang ada. Tidak hanya sekedar ketepatan visual seperti yang lazim masyarakat umum pahami. Visual karya terbentuk dari pengalaman manusia dalam hal ini pengalaman personal para perupa. Karya seni entah itu garis, objek, ekspresi goresan yang khas adalah tampilan semu dibalik kesadaran realitas sebagai hasil pengolahan indra. Sebuah karya yang memiliki narasi tersembunyi dari sesuatu yang tidak terucapkan. Kemudian bermuara pada sebuah realita baru pada medium yang dipilih.
Hal yang perlu dipahami dalam berberagaman proses kreatif yang dilalui perupa dalam pameran ini bukanlah gejala mistis yang datang secara tiba-tiba dan tak terlogikakan. Mereka datang dari berbagai dorongan yang datang secara psikologis. Hal ini dapat berupa perasaan, ingatan, hasrat dan kegairahan. Dalam hal ini, inspirasi musik, film, dan keseharian memiliki peran pemantik delapan perupa yang terlibat dalam pameran ini untuk mencapai gejala tersebut. Kemudian meminjam bentuk-bentuk dan direkam dalam ingatan untuk diadopsi sebagai metafor dalam menyampaikan maksud tertentu. Maksud tersebut merupakan sebuah kenyataan subjektif yang sengaja dihadirkan kembali.
Meminjam istilah Carl Gustav Jung – seorang psikolog Swiss – dalam pendekatan psikologi seni, fenomena psikologi yang muncul sebagai kebenaran subjekif tersebut merupakan gerakan intuisi dan sensing. Sebuah energi psikis yang menggerakkan perupa dalam berolah rupa. Dorongan intuisi dan sensing muncul dari sebuah momen estetik yang datang melalui sesuatu yang tidak terjelaskan, terkesan tiba-tiba dan apa adanya. Artinya, yang kerap terasa adalah momen proses kreatif yang mengalir mengevaluasi tindakan dan memutuskan suatu bentuk objek, goresan, dan memilih warna dalam proses berkarya.
Dalam proses berkarya intuisi dan sesing kerap menjadi kendali dalam menggerakkan ruang privat masing-masing perupa. Intuisi muncul dalam bentuk firasat atau suara hati, dengan catatan perupa dalam berkarya tampak melalui proses tersebut tanpa peran aktif panca indra. Sedangkan sensing adalah dorongan psikis yang dialami melalui peran panca indra. Dalam hal ini, peran panca indra telah berperan aktif menyimpan benda-benda atau bentuk-bentuk yang terekam dalam ingatan perupa kemudian secara tidak sengaja dimunculkan dalam karya.
Dua kecenderungan ini tampak pada karya-karya yang hadir perupa yang terlibat. Ada yang memunculkan objek sebagai representasi tertentu dapat diamati secara nyata. Seperti pada karya-karya sketsa Ridha, Tomy, Hary, Angga, Ariq dan Jalu. Kecenderungan visual yang kuat pada karya-karya mereka relatif masuk pada kategori sensing. Sepintas karya realis tentunya sudah terencana dan melibatkan pengindaraan dalam mempresentasikan figur-figur manusia, tumbuhan dan benda. Bentuk dan arsiran yang muncul telah direkam dan suasana telah dirasakan oleh perupa dalam berkarya. Semua mengalir dengan bantuan dan berpedoman pada rekaman penglihatan indra mata.
Di sisi lain, ada yang memunculkan objek-objek yang ada di alam kemudian direpresentasi ulang bersamaan dengan kendali emosi yang mengalir secara intuitif. Hal ini dapat diamati pada karya Aprilia dan Nando. Karya mereka tampak lahir dari gerak suara hati yang tidak terdikte oleh bentuk yang muncul dari rekaman pancaindra. Hal ini tampak walapun bisa tampak visual seperti wajah manusia atau tubuh manusia dengan sapuan garis tangan yang ekspresif, namun bentuk tersebut muncul dari efek psikologis yang kadang tak terkendali. Berbeda pada karya sketsa Nando yang asik pada permainan warna yang intuitif. Pembacaan ini tentu relatif pada fase karya yang dihadirkan pada even pameran ini. Semua memiliki kadar energi psikis yang berbeda dalam batas ruang dan kondisi tertentu.***
Singkat cerita yang ternyata cukup panjang pada tulisan pameran kali ini dapat disimpulkan beberapa pemahaman. Pertama, sketchbook pada kemungkinan hari ini mampu dimiliki oleh siapa saja bagi orang-orang yang memiliki hasrat untuk menggambar. Kedua, skechbook memiliki perluasan makna bahwa bukan berarti kumpulan sketsa yang dibuat dalam jangka waktu tertentu yang berawal dari kumpulan kertas kosong, tetapi secara bentuk bisa berkemungkinan terdiri dari kumpulan sketsa yang tercerai-berai kemudian disajikan menjadi satu bundel rekam jejak pencapaian artistik para perupa muda. Ketiga, fungsi skechbook pada hari ini sudah sangat beragam, dan kemungkinan dengan teknik sederhana pun telah menjadi karya-karya yang serius, di samping berpeluang sebagai rekam jejak perupa dengan narasi-narasi yang bervariasi. Keempat, proses kreatif dan karya-karya sketsa yang dihasilkan perupa adalah penting, bahwa sketchbook bukanlah sebuah representasi karya-karya yang ringan dan receh saja, tetapi mampu menjadi sarana apresiasi terhadap diri sendiri dan orang lain yang diperkenankan untuk melihatnya.
Sehingga mampu memprovokasi tindakan untuk menghargai dan mengabadikan rekam jejak proses kreatif yang dihimpun dalam bentuk buku sederhana. Pergerakan fungsi dan proses kreatif yang hadir dalam pameran RAS kali ini telah menjadi ruang privat yang disepakati untuk dapat dijelajahi dan dimaknai oleh para apresiator. Sebuah kumpulan ruang intim yang kemudian menjelma menjadi karya yang berpotensi untuk dipamerkan. Terimakasih telah membaca dan selamat berapresiasi.
Referensi:
- Alisjahbana, Sutan Takdir. (2012). Mas Pirngadie : Ahli Gambar Bangsa Indonesia. Dalam Bujono dan Adi (Penyunting), Seni Rupa Indonesia dalam Kritik dan Esai. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta
- Burhan, M.A.(2014).Perkembangan Seni Lukis Mooi Indie Sampai Persagi diBatavia, 1900-1942.Jakarta: Galeri Nasional Indonesia
- Harbunangin, Buntje. 2016. Art And Jung, Seni dalam Sorotan Psikologi Analitis Jung. Jakarta : Antara Publishing.
- Sugiarto, Bambang. 2013. Untuk Apa Seni. Bandung : Matahari.
- Susanto, Mikke. 2011.Diksi Rupa.Yogyakarta : DictiArt Lab & Djagad Art House.
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post