Sebuah catatan yang saya tulis untuk screening pilem Tulak Bala dan Diskusi Film Siasat Warisan Budaya dalam serangkaian acara Pekan Kebudayaan Nasional (PKN), Festival Pusako dalam Gerakan Kalcer bertajuk Merawat Bumi Merawat Budaya. Padang, 14 Oktober 2023.
Selamat malam sobat Kalcer…
Dalam masyarakat tradisional, banyak tradisi yang berangkat dari suatu kepercayaan, tergantung bagaimana mereka membangunnya secara turun temurun tradisi tersebut. Sebagaimana tradisi dan kebiasaan masyarakat tradisonal pada masa lampau, di Minangkabau Tulak Bala masuk ke bagian yang cukup penting guna melaksanakan suatu kepercayaan turun-temurun. Atau lebih dalam, menjadi ritus yang mempunyai pewaris tiap generasi. Sebagian masyarakat tradisional tidak dipungkiri juga kalap dalam memaknai tradisi tersebut sehingga menjadi bias yang kerap membuat geli masyarakat modren. Namun, Tulak Bala bukan berarti hadir sebagai puja-puji doa-doa semata, ia berangkat dengan keyakinan yang utuh: Tuhan. Dalam hal ini saya persempit, bahwa pilem ini tentang tulak bala pukat, serta dengan narasi-narasinya (nampaknya masih baru sebagian). Sebagai pelaku tunggal dalam ritus merupakan subjek penting yang di jaman kelewat maju ini acap diabaikan. Tak ada pewaris, tak ada yang percaya lagi. Segalanya kelewat cepat; kepercayaan dan logika menjadi serba urban. Anasir-anasir itulah yang patut jadi pengingat bagi masyarakat luas, baik secara utuh ataupun dokumentasi. Maka pilem ini kami buat dengan suka cita.
Saya dan Pilem Tulak Bala
Ini adalah pilem pertama saya yang digarap cukup serius, tetapi di situasi tertentu, saya tidak berani mengatakan pilem ini benar serius dan mantap. Namun, dilain hal, saya sebagai sutradara dan penulis sangat puas dengan apa yang saya hasilkan. Tanpa melupakan kerja-kerja tim, saya hanya bagian kecil dari garapan ini sebagai penuang gagasan atau katakanlah kilas balik masa kanak-kanak saya lewat pilem dokumenter.
Semasa kanak-kanak dulu, sebelum tahun 2000-an, di kampungku masih kerap melakukan tradisi tulak bala. Tulak bala yang mungkin diketahui secara umum, yaitu, masyarakat menggelar ratik (zikir) tulak bala dengan berkeliling kampung. Sambil terus melantunkan ratik. Semua perangkat nagari ikut serta, termasuk masyarakat. Pada saat itu, di kampungku kegiatan ini dilakukan pada malam hari (sebagian nagari juga melakukannya siang). Sebagai anak kecil, waktu itu saya merasa kegiatan ini sangat sakral bahkan membuat takut. Kami sebagai anak kecil tidak diperbolehkan keluar rumah. Kenangan tulak bala begitu melekat dalam ingatan sampai saya mengira itu bukanlah sebuah tradisi menulak bala atau mengusir malapetaka. Nyaris, ingatan itu berdiam lama diingatanku sebagai tradisi paling sakral di kampungku. Terlebih dilakukan terang-terangan dan melantunkan ratik keliling kampung, yang menurut polosnya saya adalah sebuah mantra karena saat ratik dibacakan terdengar samar-samar. Itu adalah salah satu momen masa kanak-kanakku paling lama tinggal diingatan. Bahkan sampai sekarang saya masih sanggup berimajinasi tentang momen tulak bala tersebut. Waw.
Di jaman kelewat maju seperti sekarang, nyatanya informasi bisa ditangkap dari jarak jauh. Kemudian saya ketahui bahwa Tulak bala memanglah berkembang dibanyak wilayah, nyaris tujuannya sama. Mungkin prosesi saja yang berbeda. Di tahun 2016, saya mengambil penelitian skripsi tentang mantra gasiang tanggkurak untuk pengobatan. Jelas berseberangan dengan cerita yang beredar di masyarakat luas, mana pula ada gasiang tangkurak untuk pengobatan. Dan saya menyelesaikan penelitian itu tepat waktu, meski secara ilmiah belum benar-benar selesai. Keterhubungan dua tradisi ini hampir sama, bahwa objek dan subjek akan berbeda asumsi jika yang melihatnya bukanlah pemakai atau pewaris tradisi secara utuh. Sebagian mengira tulak bala adalah syirik, sebagian mengatakan mengada-ngada, sebagian lagi berasumsi hanya warisan belaka. Tapi lebih dari itu, tradisi ini adalah murni sebuah permohonan, permintaan kepada Yang Kuasa, hanya saja memang melalui ritual-ritual khusus. Sama halnya jika dibandingkan dengan gasiang tangkurak tadi, gasiang tangkurak hanyalah subjek, objek lainnya adalah permohonan. Tetapi agaknya, di masyarakat terlanjur modren kata ritual atau ritus selalu dengan mudah disematkan bersekongkol dengan hal-hal gaib yang melenceng dari hukum agama atau lebih semena-menanya serupa ilmu hitam. Padahal jika merujuk ke kamus besar Bahasa Indonesia, ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan. Paling tidak asumsi tersebut beredar luas di kampung saya. Oke.
Kemudian pilem ini selesai dengan segala keterbatasan saya sebagai sutradara, untungnya sebagai tim, saya punya kawan-kawan yang mahir dan serba bisa. Takjub saya sama mereka. Jujur, secara keilmuan tentu saja saya bukanlah seorang sutradara ataupun penulisan skenarionya, atau aktif di dunia produksi perfilman. Apalagi soal bidang lainnya. Saya hanya berangkat dari cerita pendek yang saya buat, kemudian ditambah dan dikurangi kawan-kawan di marewai. Tentu saja saya bahagia, namun ada beberapa momen yang menurut saya mencolok dan mungkin jadi hambatan bagi saya sebagai pemula, yakni perspektif orang terhadap suatu gagasan. Sudut pandang berbeda tak bisa dihindarkan, saya berlindung dengan keawaman sebagai sutradara dan penulisan skenario, sedangkan orang lain berlandaskan kepada perspektif yang terlalu jauh tentang bagaimana membuat pilem yang baik dan benar. Tentu sangat boleh. Namun bagi saya biarkanlah proses yang bicara, ibarat kata seorang pelaut hapal arah angin dan perhitungan bintang, tapi ia tidak tau nama ikan. Barangkali begitu.
Pilem ini hanya sebagai pengingat, tidak ada urgensi atau keharusan untuk dijadikan penelitian mendalam. Sebuah tradisi memang kerap menjadi bias jika tidak diketahui secara rinci, namun agaknya kebudayaan memang berkembang seperti itu, dia berkembang secara masif namun tetap samar-samar. Masyarakat tradisional memegang teguh warisan, tradisi-tradisi lama yang mereka percayai dapat membantu kehidupannya. Sebagai orang yang ikut langsung dalam pembuatan pilem ini, tak ada harapan berlebihan dari saya, selain mengabadikan peninggalan peradaban masa lampau. Paling tidak jadi sebuah memori kolektif yang dapat diinap-menungkan, bukan dilihat dari sisi bersebrangan, tapi filosofi-filosofi yang terkandung di dalamnya. Sekali lagi, tentu ini bukanlah pilem yang berisikan konten urgensi, atau diambang kepunahan. Mungkin saja penonton mendapatkan sesuatu, mungkin saja tidak.
Dalam pilem tulak bala ini, sebagai catatan awal saya berfokus kepada ritus dan histori sang pawang. Masa kemunduran tradisi tulak bala dan seberapa terpakainya tradisi ini ditengah masyarakat yang mengaku modren, padahal masih percaya tafsir mimpi dan ramalan bintang.
- Aku, Kampungku dan Film India: Momen yang Utuh dalam Ingatan | Arif Purnama Putra - 8 Juni 2024
- Pameran Poto Fatris MF Bertajuk “Di Bawah Kuasa Naga”: Melihat Potret Komodo dan Kemurungan lainnya - 25 April 2024
- Festival Qasidah Rabbana: Menyaru Masa Kanak-kanak di Sungai Liku Ranah Pesisir - 15 April 2024
Discussion about this post