Segala yang terdengar ngawur atau kurang pas di telinga, secara tidak langsung kita akan menyebutnya: itu hanya igauan. Sesuatu yang serupa racauan kadang tidak jelas, kurang jelas, samar atau abu-abu. Atau dalam kasus sehari-hari kerap kita jumpai seseorang membicarakan perihal yang bukan porsinya. Seorang petani membicarakan mekanisme pembuatan pesawat terbang. Seorang pilot membicarakan prinsip-prinsip menjadi nahkoda yang baik. Atau seorang begundal yang memberi petuah-petuah arif tentang kehidupan. Spontan kita akan bertanya pada mereka, sedang mengigau kau, hah? Atau sedang kerasukan setan mana lagi kau? Atau yang paling akrab di telinga kita, habis makan apa kau ini? Ungkapan atau pertanyaan-pertanyaan barusan tentu saja menunjukkan sebuah penyangkalan akan sesuatu yang bukan pada porsinya.
Sementara itu secara harfiah Seismograf ialah alat yang digunakan untuk mencatat gerakan tanah yang disebabkan oleh gempa, letusan gunung berapi, atau ledakan. Dalam hal ini Igauan Seismograf, karya Halim Bahriz apakah ada kaitannya dengan makna harfiah barusan? Sebelum merambah ke ranah itu paling tidak kita tahu siapa penyairnya. Halim Bahriz adalah seorang penulis yang lahir di Lumajang Jawa Timur.
Dari sekilas biografi tentang penulis, kita akan tahu Halim memulai semuanya dengan bergiat di beberapa komunitas di kampusnya, Universitas Jember. Sebelum buku ini terbit Halim Bahlriz pernah menerbitkan buku kumpulan cerpen dengan judul Kolektor Mitos. Dalam bio dikatakan Halim juga menulis naskah teater dan sesekali esai ringan dan ulasan buku.
Dari sana kita barangkali tahu, akan seperti apa tulisan-tulisan Halim termasuk puisi dalam buku Igauan Seismograf ini. Buku ini diberi endorse oleh M. Aan Mansyur dan pengantar oleh Dwi Pranoto. Yang melekat dalam kepala saya adalah permintaan Halim pada Dwi Pranoto dalam pengantar tersebut. Halim Bahriz kurang lebih menegaskan agar tak ada penilaian mutlak atas Igauan Seismograf tersebut dalam pengantar yang akan diberikan oleh Dwi Pranoto, yang mana Halim ingin pembaca memiliki kebebasan menafsirkan atau mengambil apa yang ia ingin peroleh dalam Igauan Seismograf sesuai dengan apa yang ia rasa dan alami, selama proses pembacaan. Ibarat orang makan nasi goreng, si pemberi pengantar tadi hanya menjelaskan tentang ranah nasi goreng latar belakang, sejarah, dan siapa saja tukang nasi goreng yang telah malang melintang dengan kesaktiannya masing-masing. Dan nasi goreng yang berada di depan anda adalah nasi goreng milik anda yang hanya anda yang berhak merasakannya, memakan lantas menilainya. Barangkali seperti itu apa yang telah dilakukan oleh si Pemberi Pengantar.
Dan saya merasa itu semacam itikad baik penyair terhadap para pembaca. Dan sebagai pembaca atau penikmat nasi goreng yang dipersilakan oleh si tuan penerima tamu. Saya merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan apa yang telah saya rasa dan alami atas perjamuan istimewa itu:
Baiklah, mari kita mulai, usai melewati si Tuan Penerima Tamu saya dihadapkan oleh pilihan menu yang lumayan membuat pening kepala. Saya membayangkan daftar isi buku adalah menu yang terpampang sebelum kita mencicipinya satu persatu. Di sana kita bisa melihat kekayaan menu atau ragam menu yang telah dikotak-kotak dalam etalasenya masing-masing. Etalase-etalase itu adalah: MOMEN MENGINAP, ARTEFAK MIMPI, FOSIL ALARM, PENYANDANG INSOMNIA, dan BEKAL BEGADANG. Di tiap etalase itu ada beberapa puisi yang kurang lebih mengelompokkan dirinya pada ketegori yang hampir menggambarkan diri si puisi.
Dalam etalase MOMEN MENGINAP, kita akan menemu puisi momen menginap di suatu tubuh. Di situ kita akan membaca larik:
tubuhku kini serupa hotel. tempat bau parfum menginap dan/ tamu-tamu dari jauh mengambil foto selfie di balkon. akulah/ mumi tropis yang terbawa hingga ke dingin salju. selembar/ alamat. kampung halaman para peramu zaman. …
Dalam sepenggal puisi barusan saya melihat adanya space atau ruang. Tubuh yang menyaru hotel, sebuah tempat atau ruang untuk setiap orang dapat singgah dalam waktu tertentu, sebentar atau mungkin selamanya. Namun seringnya hanya sementara. Tubuh dalam sepenggal puisi barusan bisa dikatakan hanyalah ruang bagi segala sesuatu yang singgah untuk sementara waktu dan pergi setelah mengambil sesuatu yang mereka mau. … tamu-tamu dari jauh mengambil foto selfie di balkon… lantas ketika seluruh tamu pergi setelah mendapat apa yang mereka mau, kekosongan tentu saja kembali menyeruak mengisi ruang atau space yang baru ditinggalkan … akulah mumi tropis yang terbawa hingga ke dingin salju. Segala yang mulanya penuh kehangatan dan kenyamanan mendadak jadi dingin dan sepi. Pengalaman-pengalaman serupa memang tak jarang terjadi selama dan setelah saat-saat menginap di mana kita singgah dalam suatu ruang, tempat, atau space hanya untuk sementara saja. Bukan untuk selamanya dan di sini tubuh bisa jadi adalah space itu sendiri.
Lalu pada etalase ARTEFAK MIMPI, kita menemu puisi kubisme para pengigau. Di sana kita akan membaca larik:
jemuran di ruang tamu. napas selokan yang bangkit di dalam/ sunyi. peternakan angin. kesibukan memencet-mencet remot/ tivi. tabung infus berisi pulsa. kata-kata yang disetrika. surat/ kabar bersayap menerbangi udara kamar.
...
Barangkali cukup jelas, dalam puisi kubisme para pengigau imaji-imaji yang sureal ditampilkan, …peternakan angin…, kesibukan memencet-mencet remot tivi…, tabung infus berisi pulsa…, segala yang mampu kita bayangkan dalam kepala dan mustahil berada dalam dunia nyata. Namun segala yang mustahil di dunia nyata menjadi niscaya dalam realitas mimpi. Penyair tampak mengerjakan puisi-puisi itu dalam bingkai etalase yang telah ditentukan. Dan puisi-puisi tersebut tampaknya benar-benar mafhum akan ruang yang ia tempati, sebagaimana kita tahu segala yang tersimpan dalam artefak mimpi adalah niscaya dalam realitas mimpi meski segalanya tampak mustahil Dunia nyata.
Sementara itu dalam etalase FOSIL ALARM, kita akan menemu puisi tlatah kolonial di dalamnya kita bisa membaca:
garis-garis kolonial itu telah menjelma pagar kawat menjerat…// … tubuh-tubuh yang/ sudah mengelupas dari ekosistemnya itu dijadikan panorama peristiwa/ di taman penuh lampu dan penonton yang lupa bahwa berpasang kaki/ yang dilihatnya sedang terbonsai dalam high heels, pantofel, atau sneakers./ tak tercium lagi bau hutan.
…
Sebagaimana fosil alarm, fosil identik dengan sisa-sisa benda dari masa lalu, sementara alarm adalah pengingat. Penggalan puisi di atas barangkali telah memenuhi syarat akan etalase Fosil Alarm. Dalam tlatah kolonial kita mampu melihat nostalgi-nostalgi masa lampau kolonialisme yang sekarang atau hari ini telah menjelma pagar kawat menjerat yang barangkali telah usang dan penuh karat. Juga telah menjadi panorama peristiwa di taman penuh lampu, yang ditonton orang-orang yang lupa akan masa lampau juga telah melepas aroma-aroma masa lalu yang identik dengan hutan, tanah, dan semacamnya. Tapi seberkas tanda yang tercecer hari ini masih mampu menjadi fosil alarm, sebuah pengingat dari masa lampau.
Sementara di etalase PENYANDANG INSOMNIA, kita akan membaca puisi getah subuh di sekitar stasiun senen, seperti berikut:
ujarnya, subuh itu. sembari mengemasi barang ke dalam gerobak,/ ia mengeluh seperti menyatakan simpulan filsafat untuk terakhir kali/ dan tak akan mengatakannya lagi kepada siapapun.// tubuh lelaki itu legam dan dagingnya seolah selalu mengenakan balsam,/ tatapannya mengerikan; menyerupai segelas anggur putih yang merendam/ sebilah pisau. matanya seolah jadi gudang fermentasi bagi dusta, dendam,/ dan kesulitan memahami kegunaan tuhan dan negara.
Dari sepenggal puisi barusan sepertinya gamblang sekali bagaimana imaji-imaji yang memvisualkan gangguan insomnia, bagaimana terror yang dialami si Penyandang Insomnia. …ia mengeluh seperti menyatakan simpulan filsafat untuk terakhir kali…, …tubuh lelaki itu legam dan dagingnya seolah selalu mengenakan balsam,…, …tatapannya mengerikan; menyerupai segelas anggur putih yang merendam sebilah pisau…, larik-larik barusan agaknya telah menunjukkan bagaimana si sakit tampak sakit dalam ambang radius penyandang insomnia. Dalam ranah medis insomnia sendiri adalah gajala yang membuat penderitanya mengalami gangguan tidur. Dan si sakit yang mengalami gejala semacam itu benar-benar menampakkan apa yang telah digambarkan dalam penggalan puisi barusan.
Lalu di etalase terakhir ada BEKAL BEGADANG, dalam puisi dialog kecil kita akan membaca sepenggal larik berikut:
apakah esok pagi akan ada, headline berita/ tentang salju yang turun semalaman di kampung tropis?/ bila hanya pada jantungku, ada denyut yang beku.// bila hanya pada mataku, ada tangis tertimbun/ dingin, dan rindu yang tak bisa ngalir// kepadamu.
…
Pada larik puisi barusan kita bisa menaksir adanya kerinduan akan hari esok. Suatu waktu yang belum datang dan masih di angan-angan ada atau tidaknya. Layaknya seorang yang hendak begadang, terjaga dalam waktu malam di mana orang-orang kebanyakan memilih terlelap barangkali bekal yang pantas adalah suatu kerinduan dan kecemasan keduanya kerap membuat banyak orang sulit terlelap. Mereka yang rindu sekaligus cemas, secara tidak sadar akan melahirkan banyak pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya yang akan membuat mereka terjaga dalam waktu kapanpun, dan merindukan waktu yang belum mereka jangkau. Barangkali memang itulah bekal yang pantas sekaligus pas untuk pekerjaan begadang.
Kurang lebih itulah lima etalase dalam Igauan Seismograf, Halim Bahriz. Meski kita tahu Igauan, tidak lebih dari sebuah racauan, ocehan, omelan, kata-kata yang samar kurang jelas dan membingungkan. Dalam puisi ini saya rasa malah sebaliknya. Penyair dalam buku puisi ini tampak begitu terjaga dan dalam kondisi yang sadar penuh, akan kekayaan diksi pada metrum puisi-puisinya. Puisi-puisi itu membicarakan banyak hal dari perkara sehari-hari, merambah ke masa lalu dendam-dendam kolektif yang menyinggung dosa-dosa negara, budaya lokal, hingga merambah pada siapa saja penyair-penyair yang ia imani. Sementara itu Seismograf yang merupakan alat pencatat getaran atau ledakan bisa jadi hanya sarana bagaimana penyair meminjam point of view, si perkakas agar tak di kata: jangan mengigau kau, bocah kemarin sore![]
—Lamongan, 2024
*)Catatan Membaca: Igauan Seismograf, Halim Bahriz
Ihwal Penulis
Fatah Anshori, lahir di Lamongan. Buku puisinya yang telah terbit Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Novelnya Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Frase Pinggir, 2021) masuk dalam 20 besar Anugerah Sastra Nongkrong.co 2021. Cerpennya Mencari Marlin Lain yang Pernah Memakan Bunga terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018. Puisinya Mustafa Hanya Tinggal Nama terpilih dalam Nominasi Anugrah Sastra Litera.co 2021. Cerpennya Sepasang Wisatawan Tiba-tiba Tak Bernyawa Setelah Beramalam di Sebuah Desa dimuat Majalah Suluk (DKJT) 2020. Puisinya masuk dalam lima puisi terbaik Payakumbuh Poetry Festival 2022 & 2023. Diundang di Borobudur Writers & Cultural Festival 2023. Beberapa cerpen, puisi dan esainya telah dimuat beberapa media online. Sekarang bergiat di Guneman Sastra Songgolangit Creative Space dan KOSTELA.
Instagram: @fatahanshori // Facebook: Fatah Anshori
Discussion about this post