
Gairah Literasi dan Dunia Baca Anak Muda
Oleh: Muhammad Nasir (Penyuka Buku/Dosen UIN Imam Bonjol Padang)
Di Ranah Minang, tradisi lisan seperti pidato adat dan kaba mengalir bagai sungai, membawa kekayaan naratif yang telah berabad-abad membentuk identitas budaya Minangkabau. Dari surau hingga rumah gadang, cerita-cerita leluhur diwariskan penuh makna dan kebijaksanaan.
Namun, di tengah gemerlap warisan ini, sebuah paradoks mencuat: buku—jendela dunia yang dielu-elukan—justru sering terabaikan oleh anak muda. Di era digital, ketika gawai dan media sosial mendominasi, minat baca merosot, menyisakan ironi bahwa tanah yang kaya akan cerita lisan ini justru kekurangan gairah terhadap literasi tertulis.
Data mencerminkan tantangan ini secara gamblang. Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat Sumatera Barat pada 2020 hanya mencapai 9,8 persen, menempatkan provinsi ini di peringkat ke-24 dari 34 provinsi di Indonesia, menurut laporan Perpustakaan Nasional. Tingkat Gemar Membaca mencapai 51 persen, tetapi tetap menunjukkan bahwa anak muda lebih akrab dengan layar ponsel ketimbang halaman buku.
Pandemi memperburuk keadaan. Kunjungan ke Perpustakaan Daerah Sumatera Barat anjlok dari 150 ribu orang per tahun menjadi hanya 30 ribu pada 2020, sebagaimana dilaporkan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi. Banyak sekolah di pedesaan kekurangan perpustakaan memadai, dan buku yang tersedia sering kali gagal memikat anak-anak.
Namun, di tengah paradoks ini, anak muda Sumatera Barat menyalakan gairah literasi melalui inisiatif kreatif seperti Tanah Ombak, Linibuku, Forum Lingkar Pena, dan Pustaka Steva. Mereka membuktikan bahwa dunia baca bisa hidup kembali dengan semangat dan inovasi.
Di pesisir Kota Padang, tepatnya di Kampung Purus III, Tanah Ombak muncul sebagai lentera literasi sejak 2014. Didirikan oleh Syuhendri Pong, komunitas ini lahir dari keprihatinan terhadap lingkungan kampung nelayan yang keras—pernah dijuluki “gang setan” karena kriminalitas. Di ruang baca sederhana, anak-anak belajar membaca, menulis, dan mengekspresikan diri melalui teater, musik, dan dongeng.
Kegiatan rutin seperti pelajaran membaca setiap Minggu, les Bahasa Inggris, dan kesenian di malam minggu menjadi daya tarik. Ini diperkuat dengan Vespa Pustaka, perpustakaan keliling yang menjangkau gang-gang sempit. Aturan sederhana seperti tidak berkata kasar dan menjaga kebersihan turut membentuk karakter anak-anak di komunitas tersebut.
Prestasi seperti Anugerah Literasi Minangkabau 2016 dan Penampilan Terbaik pada Festival Teater Anak Nasional 2014 menegaskan dampaknya, sebagaimana didokumentasikan oleh Komunita.id (2018) dan Langgam.id (2021). Meski aktivitas seperti teater kadang lebih menarik daripada membaca, Tanah Ombak menunjukkan bagaimana literasi bisa menyatu dengan kehidupan komunitas.
Berbeda dengan pendekatan fisik Tanah Ombak, Linibuku memilih ranah digital untuk menabur benih literasi. Berbasis di Instagram (@linibuku), inisiatif ini mempromosikan buku anak dan remaja dengan resensi, rekomendasi bacaan, dan diskusi daring yang relevan dengan budaya Minangkabau. Tantangan baca daring mengajak anak muda berbagi pengalaman membaca melalui video pendek—menyesuaikan diri dengan era ketika gawai lebih akrab ketimbang perpustakaan.
Aktivitas Linibuku, sebagaimana terdokumentasi dalam postingan di media sosial dan di Singgalang (2022), menunjukkan kuatnya potensi literasi digital, meski tantangannya adalah mengubah keterlibatan daring menjadi kebiasaan membaca yang mendalam. Skalanya mungkin lebih kecil dibandingkan komunitas lain, tetapi Linibuku membuktikan bahwa dunia baca bisa hidup di ruang virtual.
Pustaka Steva, dengan gairah tak kalah membara, menghidupkan literasi di tengah budaya nongkrong anak muda. Kini berlokasi di Jl. Pagang Raya No. 37, Surau Gadang, Kec. Nanggalo, Kota Padang, setelah sebelumnya di Jl. Jamal Jamil, Siteba, Nanggalo. Didirikan pada 2021 oleh Fatris MF dan kawan-kawan, ruang ini menggabungkan kafe, toko buku, dan arena diskusi—menarik anak muda yang ingin berkarya sambil menyeruput kopi.
Koleksi bukunya, dari novel hingga sastra lokal, memikat pembaca muda. Acara seperti peluncuran buku, open mic, dan diskusi tentang sastra, budaya, atau isu sosial menciptakan ruang budaya yang hidup. Fatris MF menekankan misi mendekatkan buku melalui pergaulan sehari-hari, dengan fasilitas seperti peminjaman buku, akses arsip, atau sekadar menikmati foto orang-orang hebat.
Pada tahun 2021 juga terpantau jejak digital penjualan totebag dan katalog buku. Meski fungsi kafe kadang lebih menonjol, Pustaka Steva di lokasi barunya tetap menjadi magnet literasi—menunjukkan bahwa buku bisa relevan di tengah gaya hidup anak muda.
Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat, aktif sejak 2000, membawa dimensi lain dengan fokus pada kepenulisan. Dipimpin tokoh seperti Muhammad Subhan, FLP mengadakan kelas menulis daring dan luring, mengajak remaja menuangkan ide ke dalam cerpen, puisi, atau esai. Dalam Kelas Menulis Daring, peserta menulis tentang tema seperti masa depan Minangkabau—menghasilkan karya yang memadukan adat dan modernitas.
FLP juga menerbitkan karya anggotanya untuk didistribusikan ke perpustakaan sekolah dan rumah baca, sebagaimana dilaporkan Sumbarmadani.com (2022). Diskusi literasi dengan Duta Baca Nasional Gol A Gong pada 2021—didukung Gubernur Sumatera Barat dan Walikota Padang—menegaskan peran FLP, terverifikasi melalui situs resmi (flp.or.id) dan laporan Musyawarah Wilayah FLP Sumbar (2018). Dengan pena sebagai alat, FLP memperkuat dunia baca melalui kreativitas tulis.
Di berbagai penjuru Sumatera Barat, inisiatif anak muda lain turut mewarnai gairah literasi. Di Kota Padang, rumah baca di kampung nelayan menawarkan kegiatan membaca, mendongeng, dan menggambar untuk anak-anak. Di Pesisir Selatan, Taman Bacaan Masyarakat sejak 2021 menyediakan buku gratis dan lomba literasi untuk mencegah putus sekolah.
Di Padangpanjang, rumah baca menggabungkan literasi dengan wisata edukasi, mengundang remaja untuk berdiskusi sastra dan mendongeng. Laporan PALITO Sumbar mencatat 11 komunitas literasi di Padang, didukung artikel Singgalang (2019). Namun, banyak rumah baca ini lebih menonjol sebagai ruang komunitas ketimbang pusat membaca, dengan koleksi buku terbatas dan anak-anak yang lebih tertarik pada aktivitas seperti menggambar, sebagaimana dicatat Kompas (2019). Meski demikian, keberadaan mereka tetap vital sebagai titik awal literasi di daerah terpencil.
Gairah literasi ini mencerminkan lebih dari sekadar membaca dan menulis; ia adalah tentang memahami identitas dan membuka wawasan. Anak-anak di rumah baca mengenal budaya lokal melalui cerita rakyat, sementara remaja di FLP memimpikan masa depan Minangkabau. Pustaka Steva menjadikan literasi pengalaman sosial yang relevan, mengundang anak muda berkarya sambil nongkrong.
Buku menjadi cermin nilai-nilai adat sekaligus jendela kemungkinan baru. Namun, tantangan tetap ada: koleksi buku yang minim, kebiasaan membaca yang belum kuat, keterbatasan anggaran, kurangnya pelatihan guru, dan dominasi budaya digital. Program seperti Merdeka Belajar, yang mendistribusikan buku bermutu ke PAUD dan SD sejak 2022, perlu pendampingan berkelanjutan untuk mengatasi hambatan ini.
Literasi adalah praktik budaya yang hidup. Seperti dikatakan Ivanium Basmai dari Duta Damai Sumatera Barat, literasi kini mencakup menganalisis informasi dan menciptakan narasi bermakna di era digital (Antara Sumbar, 2021). Anak muda Minang diajak tidak hanya mengonsumsi konten, tetapi juga menghasilkan karya yang relevan.
Di pesisir Padang, Tanah Ombak menerangi anak-anak nelayan. Di ranah digital, Linibuku menabur benih literasi. Di Jl. Pagang Raya, Pustaka Steva menyala sebagai kafe literasi yang meriah. Di kelas-kelas FLP, pena remaja menari. Di berbagai daerah, rumah baca anak muda menjadi titik awal.
Meski kadang lebih menonjol sebagai titik kumpul, komunitas baca Sumatera Barat sedang menulis babak baru literasinya. Seperti perintah Iqra’ dalam Al-Qur’an, literasi adalah tentang membaca dunia—dan “menyalakan cahaya buku pada suatu waktu.”
Dari semua uraian itu, saya sebagai penyuka buku dan seorang pengajar, teramat terkesan. Saya belajar dan membaca banyak hal. Akhirnya saya ingin katakan: di tengah kesumukan tagar #IndonesiaGelap, saya menemukan kedamaian pada anak-anak muda yang berkumpul, membaca, berdiskusi, dan ngopi bareng. Itu senikmat rebahan di waktu senggang!
Discussion about this post