Aku benar-benar membeku di dalam ruangan. Dingin AC dan tawaran uang tunai miliran rupiah membuatku tak berkutik. Rasanya otak dan seluruh sarafku mati seketika. Suhu enam belas derajat dan kopor berisi uang tebal berhasil menghipnotis kesadaranku. Aku tidak tahu harus berkata apa untuk menjawab pertanyaan Pak Bono.
“ Pak Darma, ini kesempatan untuk mengubah hidup kita” kata Pak Bono.
“ Saya masih ragu menerima tawaran Bapak” jawabku gemetar.
“Bila tawaran ini diterima, Bapak akan sangat kaya”’ rayu Pak Bono.
“Saya khawatir resiko hukumnya” kataku tercekat.
Pak Bono tersenyum. Ia bangkit dari tempat duduknya. Badannya yang gempal makin tampak. Perut dan wajahnya begitu bulat seperti bola. Kacamata tebalnya menutupi kantung mata dengan sempurna. Ia lalu mengeluarkan sebuah kartu nama dan menyerahkannya padaku.
“Kita didampingi beliau” kata Pak Bono.
“Ini pengacara yang memenangkan kasus pra peradilan kemarin” jawabku.
“Benar, dia ikut dalam pemenangan proyek capres ini” kata Pak Bono.
Pikiranku semakin tidak karuan. Mendengar keterlibatan pengacara kondang dalam proyek pemenangan ini membuat idealismeku goyah. Jaminan keselamatan hukum yang tinggi membuatku tergiur untuk bergabung rencana kongkalikong ini. Bayangan ingin cepat kaya dan sejahtera kian kuat mencengkeram akal sehatku.
“Semuanya aman, Pak Darma” lanjut Pak Bono.
“ Saya pertimbangkan ulang” kataku.
“ Saya senang dengan jawaban Bapak” kata Pak Bono.
Aku kemudian pamit meninggalkan ruangan bercat dominasi marun. Di luar ruangan, tampak beberapa orang membawa kardus barang elektronik. Rupanya, mereka anak buah Pak Bono.
“Saya hadiahkan beberapa barang elektronik” kata Pak Bono.
“Tapi, saya merasa tak berhak menerima…”’ kataku sedikit gagap.
“ Sudah, bapak bawa dulu saja” kata Pak Bono.
Aku tak kuasa menolak. Anak buah Pak Bono mengantarkan barang-barang elektronik mahal ke mobil bututku. Aku lalu bergegas pulang. Syukurlah, siang itu hujan turun cukup deras. Setidaknya, aku tak perlu balik ke kantor untuk mereka-reka cerita hari ini. Sepanjang perjalanan, jantungku terasa berdegub kencang. Tawaran fantastis Pak Bono masih terngiang tajam di ingatan.
***
“Ayah, ipad dan laptopnya bagus sekali’ kata Andro, anakku.
“Oh ya, ayah malah baru tahu”’ jawabku.
“Ini harganya puluhan juta, Yah” ucap Andro.
“Ayah dapat hadiah tadi” jawabku sambil tersenyum.
Anakku begitu bahagia mendapatkan barang elektronik mewah. Namun, istriku sebaliknya. Ia memasang wajah curiga. Sudah kuduga, ia akan menanyaiku hal ihwal barang elektronik yang kuperoleh. Gajiku sebagai anggota komisi pemilihan umum tentunya tidak akan cukup membeli barang-barang mahal.
“Mas, ipad dan laptop mahal pemberiaan siapa?’’ tanya istriku.
“Oh, dari salah satu ketua partai politik” jawabku jujur.
“Hati-hati Mas, jangan kelewatan” ucap istriku.
Aku mengangguk mengiyakan. Malam turun seperti ornamen yang menghiasi tubuh kota. Dingin yang menjalar menyempurnakan gelap yang dominan. Aku merebahkan diri pada kursi kayu berukuran tanggung. Sengaja aku mengunci pintu kamar malam ini. Ingin rasanya kutimbang baik-baik kesempatan yang ditawarkan Pak Bono.
***
Pikiranku melayang-layang serupa pesawat kertas tanpa arah. Bayangan uang tunai miliran rupiah kembali hadir menggoda. Persis seperti buah kuldi yang menggoda Adam dan Hawa dahulu. Banyak hal yang bisa kuraih dengan uang sebanyak itu. Kesejahteraan. Rumah mewah. Pergi keluar negeri. Studi Andro. Semua tercukupi.
Kegamangan luar biasa seperti jeruji yang memenjara akal sehatku. Dahulu, ada ibu yang menemaniku di momen-momen seperti ini. Aku begitu merindukan tiap tutur nasihat dan kesabaran ibu. Tangannya yang lembut selalu mampu meredakan setiap kecamuk. Entah mengapa, ucapan-ucapan dahulu sanggup menjelma jalan lurus di tiap persoalan. Kini, aku hanya sanggup mengingat bayang-bayang beliau belaka.
“Tok..tok…tok.” Suara pintu kamarku di ketuk dari luar. Aku membukanya perlahan. Tampak istriku berdiri di depan pintu. Aku merasa masygul melihat wajahnya. Sebuah rahasia besar masih kurahasikan darinya. Sebetulnya, aku ingin memberitahu mengenai tawaran praktik kongkalikong pemenangan capres. Hanya, aku tidak ingin menambah pikirannya. Lebih-lebih, ia baru saja sembuh dari hipertensinya.
“Wajahmu tampak tegang Mas” kata istriku.
“Biasa memikirkan agenda pemilu”’ jawabku.
“Aku lupa memberitahumu” kata istriku.
“Perihal apakah”’ tanyaku.
“Kotak ini”’ kata istriku.
Ia lalu menyerahkan sebuah kotak kayu berbentuk persegi. Aku mengingat baik-baik benda tersebut. Betapa terkejutnya diriku. Benda tersebut adalah peninggalan terakhir ibu kepadaku. Sebelum beliau berpulang, ia memberikan sebuah kotak kayu berbentuk persegi. Kotak tersebut tertutup rapat oleh paku besi.
“Darimana, kau menemukan barang ini?’’ tanyaku.
“Kemarin dari dalam lemari ibu dulu”’ jawab istriku.
Aku mengangguk. Kemudian, aku mohon pada istriku untuk melanjutkan merenung. Ia tersenyum mengiyakan. Aku kembali mengurung diri dalam kamar. Ingatanku mengais ulang mengenai kotak persegi pemberian ibu. Tercatat dalam kesadaranku bahwa ibu pernah mewasiatkan pesan tentang kotak itu kepadaku.
“Bila nanti ibu sudah pergi dan kamu kesulitan memutuskan bukalah kotak ini”’ begitu pesan ibu. Aku menghela nafas lega. Benarkah, isi kotak ini akan memberikan jawaban terkait persoalan yang sedang kuhadapi. Tanpa berpikir panjang aku membongkar kotak yang diwariskan ibu.
Mataku terbelalak menyaksikan benda yang ada di dalam kotak itu. Sebuah celana dalam robek tersimpan dengan rapi. Hatiku terhenyak memegang celana dalam tersebut. Kisah silamku di bangku sekolah berputar kembali. Waktu itu, ibu duduk di depan mesin jahitnya. Ia menjahit beberapa celana dalamku yang robek. Kemudian, ibu menyisakannya sebuah celana dalam robek. Aku lantas bertanya padanya,
“Kenapa, ibu menyisakan celana dalam robek untukku?” tanyaku.
“Ibu sengaja melakukannya”’kata Ibu.
“Kenapa ibu?’’ tanyaku.
“Supaya kau ingat betapa pedihnya kemiskinan”’ sambung ibu.
Air mataku mendadak jatuh mengingat kisah tersebut. Kenangan gubuk reyot yang berlubang mencambuk ingatanku. Hari-hari silam yang bertaruh dengan lapar dan dingin membuatku bergidik. Ibu seolah-olah hadir kembali. Tiba-tiba, suara ibu menggema di telingaku: “Benarkah kau rela menukar kebenaran dengan racun yang segera membinasakan?”’
Tanganku bergetar hebat. Rasanya muncul kesadaran baru bagiku. Membayangkan tindakanku dapat menyengsarakan banyak orang menjadikanku dicekam ketakutan hebat. Lalu, bagaimana pula bila istri dan anakku tahu tindakan curang yang aku lakukan? Pastilah kepercayaan mereka akan hilang. Ponselku berdering dengan nyaring. Pak Bono rupanya meneleponku.
“Malam Pak Darma”’ kata Pak Bono.
“Ya,Pak, selamat malam” balasku.
“ Besok bisa bertemu?” tanya Pak Bono.
“Untuk keperluan apakah?” aku balik bertanya.
“Melanjutkan pembicaraan tadi siang” kata Pak Bono.
Aku terdiam sesaat. Wajah ibu menjelma cakrawala di pikiranku. Lama, aku tertegun tak menjawab pernyataan Pak Bono. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu berucap:
“Baik saya bersedia hadir”’ jawabku.
“Besok bapak bawa sekalian uang cash dua milyar” kata Pak Bono.
“Maaf, Pak saya tidak bisa” jawabku.
“Bapak ingin ditransfer?’’ tanya Pak Bono.
“Saya batal ikut rencana bapak’’ jawabku.
Aku mematikan ponselku. Rasanya dadaku begitu lega. Himpitan besar telah berhasil kusingkirkan. Besok, aku akan menceritakan penolakan heroikku pada istri dan anakku. Terima kasih, Ibu.
(Surakarta, 2024)
BIODATA PENULIS
Thomas Elisa, lahir 21 September 1996 di kota Surakarta. Karya terbaru penulis adalah novel fiksi anak berjudul Bangunnya Peri Merah (2017). Penulis mengajar di SMK Mikael Solo. Instagram: Thomas Elisa P. Karya terbaru penulis dimuat dalam media Poros Pemalang (2021), Tegas.Id (2021) Opini.Id (2021), Marewai (2021), Suku Sastra (2021), Ruang Jaga (2021), Rembukan.com (2021), Radar Pekalongan (2022), Harian Bhirawa, (2022) Jawapos Radar Madiun (2023), Media Indonesia (2023), Jawapos Radar Kediri (2023), Sabah360 Online (2023), Takanta (2023), Magrib.Id (2023), Solopos (2023) dan Majalah Karas Balai Bahasa Jawa Tengah (2023) serta Majalah Sastra Santarang (2023). Puisi penulis masuk dalam Antologi 100 tahun Ch. Anwar (2023) dan meraih juara 3 dalam lomba menulis dengan tema guru (2023). Karya cerpen terbaru penulis dimuat di Koran Lingkar (2024) dan Jawapos Radar Bromo (2024).
Discussion about this post