Sebagaimana yang kita ketahui, fungsi masjid adalah sebagai tempat beribadah dan sarana untuk dzikrullah. Masjid bukanlah sebuah tempat rekreasi, apalagi hanya menjadi emergency exit bagi manusia ketika defekasi. Pada saat sekarang ini, seringkali kita melihat masjid dibangun dengan begitu indah, mewah dan kelas. Karena kemegahan tersebut, tidak jarang fungsi masjid perlahan tergeser menjadi destinasi wisata yang seakan wajib dikunjungi ketika hari libur tiba.
Di kabupaten Pesisir Selatan, tepatnya di kawasan Pantai Carocok Painan, terdapat sebuah masjid yang berdiri kokoh dengan tiang-tiang menancap ke dalam bibir laut. Masjid ini diberi nama Masjid Samudera Illahi atau yang lebih dikenal dengan Masjid Terapung. Masjid yang diresmikan pada 8 Februari 2021 lalu oleh bupati Pesisir Selatan saat itu, diharapkan dapat mendongkrak lebih banyak lagi pengunjung atau masyarakat untuk berwisata ke Pesisir Selatan. Selain itu, masjid ini juga dapat menjadi sarana ibadah bagi masyarakat dan pengunjung Pantai Carocok Painan, sekaligus sebagai pusat informasi kebudayaan dan perkembangan agama Islam di Kabupaten Pesisir Selatan.
Namun belum lama ini, masjid tersebut menuai polemik di kalangan masyarakat, khususnya wisatawan perihal uang retribusi masuk ke area masjid. Seakan untuk setiap orang yang hendak ke masjid itu harus membeli karcis terlebih dahulu. Aksi pemungutan tersebut tentu mendapat banyak kecaman dari masyarakat.
Sebelumnya beredar vidio beberapa orang yang terlihat sedang melakukan pemungutan uang di area Masjid Samudera Illahi, dalam vidio tersebut mereka menyatakan bahwa untuk masuk ke area masjid harus terlebih dahulu membayar uang retribusi, sebab masjid tersebut letaknya berada di kawasan wisata. Mereka juga menegaskan, apabila telah membayar retribusi pengunjung baru bisa masuk ke area masjid dan bebas melakukan apapun, entah itu untuk salat, berfoto atau hanya sekedar berjoget-joget ria di depan kamera.
Setelah vidio viral di media sosial, Kepala Dinas Pariwisata Pesisir Selatan, Suhendri Zainal mencoba untuk meluruskan persepsi masyarakat yang dianggap telah terlanjur keliru itu. Ia menegaskan bahwa uang retribusi tersebut bukanlah tarif untuk melaksanakan salat, melainkan uang masuk ke kawasan wisata. Ia juga menjelaskan alasan melakukan pemungutan retribusi di depan masjid itu karena pihaknya belum melakukan pemagaran untuk semua kawasan tersebut.
Pernyataan antara Kepala Dinas Pariwasata dengan pernyataan orang-orang yang sedang melakukan pemungutan di dalam vidio tersebut seolah menyeret kita ke dalam ambiguitas. Seperti serupa tapi tak sama, bagai dua orang yang enggan bergandengan namun satu jalan dan tujuan.
Menilik permasalahan mengenai uang retribusi tersebut, ada satu pertanyaan yang patut kita pertanyakan. Yaitu, apakah persoalan ini tidak pernah didudukan sebelumnya dan pelaksanaannya dilalaikan? Sebagaimana pepatah minang “Tarandam-randam indak basah, tarapuang-apuang indak hanyuik.” Bagaimana tidak, kalau memang benar hanya karena belum adanya pagar yang membatasi beberapa area di kawasan itu, tentu jauh hari pemerintah sudah menyiapkan alternatif lain untuk mengantisipasi permasalahan sensitif ini akan terjadi.
Dan juga tidak mungkin, sekelas Pesisir Selatan yang mendeklarasikan dirinya sebagai Negeri Sejuta Pesona tersebut, tidak memiliki tempat retribusi yang jelas dan tetap. Sebab kalau kita melihat rentang waktu dari peresmian masjid hingga hari ini, tentu sudah terbilang cukup lama, kalau hanya permasalahannya sebatas tentang pemagaran saja.
Mendirikan sebuah masjid di kawasan wisata dan menjadikannya sebagai ikon baru di daerah tersebut, tentu akan menimbulkan konsekuensi seperti permasalahan di atas. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana pemerintah menyikapi dengan bijaksana mengenai persoalan yang tengah terjadi dan lebih berhati-hati lagi dalam mengambil keputusan dan tindakan. Dengan kata lain, jangan sampai fungsi masjid bergeser menjadi tempat rekreasi dan bisnis semata. Sebab hal ini secara tidak langsung tentu juga akan berdampak kepada kawasan wisata itu sendiri.
Terlepas dari apapun itu, kita tentu tidak bisa menyalahkan hanya dari satu pihak saja. Sebab kalau kita melihat dari sudut pandang yang lain. Bisa saja, uang tersebut digunakan untuk biaya kebersihan area masjid. Karena seperti yang kita ketahui, masyarakat kita sangat senang membuang sampah sembarangan, apalagi di tempat-tempat wisata seperti sungai dan pantai, seakan-akan masyarakat kita dididik bertahun-tahun lamanya hanya untuk menghasilkan sampah.
Fatur Rahman lahir dan besar di Bayang. Pesisir selatan. Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Andalas. Bergiat di Rumah Baca Pelopor 19.
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post