“Kemana perginya jagung bakar, karupuak leak, kelapa, pisang bakar, dan langkitang itu?”
Sebagai anak Padang, Pantai Purus merupakan lokasi yang rutin, bahkan mau tidak mau harus saya lewati setiap harinya. Taplau, begitu orang sering menyebutnya, sudah tidak asing di telinga masyarakat Sumatera Barat. Pesisir pantai sepanjang kurang lebih 10 Kilometer ini terbentang membatasi Kota Padang dengan laut lepas Samudera Hindia.
Jika kita fokus pada bentang jalan dengan nama resmi Jln. Samudera, akan terlihat banyak Pedagang Kaki Lima (PKL) yang menjual makanan dan minuman yang tida beraneka ragam. Anda tidak bisa berharap lebih selain pada nasi goreng, mi goreng, jagung bakar, karupuak leak, kelapa, pisang bakar, dan langkitang. Mungkin, jika anda seorang pelancong yang mau merogoh saku sedikit lebih banyak bisa mampir di coffee shop berderet belakang Danau Cimpago. Sepanjang puluhan ruko yang atapnya bisa diduduki/rooftop itu terpampang berbagai merk coffee shop yang menunya juga tidak jauh berbeda satu sama lain. Namun, berbeda jika anda duduk di kedai-kedai bertenda dan kursi plastik yang lebih dekat dengan bibir pantai, di rooftop anda bisa melihat laut lepas dan sunset lebih tinggi sekaligus leluasa. Tidak lupa orang yang lalu lalang berkendara di jalan bawah bisa melihat anda yang sedang nongkrong.
“Main di Taplau tu asik” kata Zidan, salah satu pengunjung. Walaupun banyak objek wisata lain di Kota Padang, Zidan beranggapan bahwa Taplau memiliki feel tersendiri. Dia sendiri mengaku tidak bosan walaupun merupakan seorang warga Padang asli, bahkan acap berkunjung ke Taplau. Dalam pantauan saya, benar, Taplau memiliki tempat khas tersendiri di setiap sudutnya.
Mulai dari paling Utara dibelakangi Hotel Pangeran Beach, terhampar pasir pantai luas diisi oleh puluhan kursi serupa milik pedagang. Di sana juga banyak gundukan batu besar yang bagus untuk difoto. Sedikit ke Selatan, berdiri Monumen Merpati Pedamaian. Tugu yang di pucuknya serupa burung origami kertas tersebut merupakan tanda dari latihan maritim berbagai negara yang digagas TNI Angkatan Laut dalam tajuk program “Multilateral Naval Execise Komodo 2016”. Untuk anda yang berkunjung bersama anak, bisa bermain mobil-mobilan kecil di bawah Tugu Merpati, dan anda juga bisa makan dan minum di warung-warung miliki pedagang sembari melihat anak bermain. Hingga di paling Selatan, Taplau (kata masyarakat setempat) habis di Masjid Al-Hakim yang putih megah di simpang empat. Sekitar Masjid juga banyak aneka warung. Masih sama yang saya katakan sebelumnya, menunya juga itu-itu saja.
Namun, semua deretan kursi (kuning/orange/merah) tersebut sudah tidak saya lihat lagi sewaktu menepi di Taplau pada penghujung Mei 2022. Mulai dari Masjid Al-Hakim hingga Hotel Pangeran Beach sudah tidak ada lagi pedagang yang berjualan. Khususnya sisi yang lebih dekat ke bibir pantai. Saya merasa berbeda dengan kekosongan melompong di Taplau.
Di satu sisi, saya bisa setuju dengan kekosongan bahu jalan Taplau. Sebagai orang yang khatam telah mencoba segala sudut Taplau, saya beranggapan pribadi bahwa keberadaan PKL di sana memang merusak keindahan Pantai Purus, Padang. Lagipula, pemerintah melakukan penerbitan itu tidak lain adalah untuk menjaga keindahan serta kenyaman wisatawan saat berkunjung di Taplau. Dan sekarang tampaknya mereka bisa leluasa duduk dan berswafoto tanpa harus membayar bangku terlebih dahulu.
Dengan mata telanjang saya juga pernah mendapati seorang oknum pedagang yang perbuatannya tidak sepaham dengan hati saya. Sebagai penjual, di merapikan meja dari sampah gelas dan sedotan plastik setelah saya beranjak berdiri. Lalu, saya menoleh ke belakang memastikan apakah ada barang yang ketinggalan, mata saya langsung tertuju pada kelakuannya menumpuk semua sampah gelas plastik jadi satu, lalu membuangnya ke laut tanpa ragu. Saya hanya geleng-geleng melihat perangainya.
Di samping itu, saya tidak sepenuhnya menolak harga makanan dan minuman yang tidak worth it dengan rasa dan penyajian yang dijajakan pedagang PKL. Saya bisa tolerir. Namun, setiap saya duduk ada saja beraneka pengamen/peminta sumbangan yang datang setiap (tidak lebih) sekali 5 menit. Saking beraneka ragamnya, saya temukan ada pengamen bocah yang tidak menyanyikan lagu layak umumnya, tapi ia mengamen dengan membaca ayat kursi. Mau tidak mau untuk semua itu saya harus memberikan uang kecil, setelah itu mereka berhenti lalu pergi.
Pada sebuah malam saya bertanya kepada Erni (nama samaran) yang tetap bersikukuh berjualan di atas trotoar Taplau, setelah Satpol PP berangsur pergi pukul 22.00 WIB.
“Baa lo pemerintah ko, kami di siko lah lamo manggaleh dari dulu, baa ka baa iko tanah kami! (Bagaimana pemerintah ini, kami di sini sudah lama jualan dari dulu. Mau bagaimanapun ini tanah kami!)” ujarnya saat saya makan pisang bakar di kedainya yang baru pasang kursi & tenda.
Sebuah fenomena sekaligus alasan mengapa penerbitan PKL tersebut tidak selesai-selesai walaupun sudah pernah dilakukan beberapa kali saya tangkap dari perkataan Erni. Ada satu hal yang tidak bisa diganggu gugat jika ingin menertibkan PKL di lokasi wisata, ini sepertinya juga berlaku di seluruh wisata di Sumatera Barat.
“Tanah kami” adalah frasa yang sakti jika anda digusur. Bahkan, anda juga bisa melemparkan dua kata itu sambil bercarut kepada seorang Walikota, seperti yang terjadi dua tahun lalu di pedestrian Taplau. Ketetapan yang asal usulnya antah berantah menurut mereka adalah warisan turun termurun dari nenek moyangnya tanpa sertifikat tanah. Atau, yang jelas “saya bagak (berani)”.
Ini merupakan kebiasaan (oknum) masyarakat kita (Sumatera Barat) yang tidak mau mengikuti penertiban dari pemerintah. Toh, ujung-ujungnya tempat mereka bersih dan indah. Bisa kita bayangkan jika pedestrian sepanjang Taplau diisi oleh seniman-seniman musik atau pagelaran kebudayaan dan seni, layaknya Jln. Malioboro, Jogjakarta. Taplau akan terlihat terang dihiasi berbagai kelap-kelip lampu. Tidak lupa kita bisa duduk bebas dimana saja tanpa harus mengeluarkan uang, apalagi untuk parkir motor yang jelas-jelas di depan mata kita. Saya beharap selain melakukan penertiban, pemerintah juga menulis sebuah buku kajian sejarah asal-usul tanah yang mereka tempati. Itu bisa menjadi pedoman alasan kuat agar mereka nurut ketika ditetibkan dan tidak ricuh seperti yang terulang-ulang terjadi.
Saya tetap menyadari bahwa para pedagang itu akan tetap mempertahankan tanah kekuasaannya, sebab hanya itu sumber mata pencahariannya. Lagipula, mereka berjualan tidak untuk kaya, tapi sekadar untuk hidup besok.
Tapi, “bagaimana wisata akan jadi ikon jika yang akan ditemui itu-itu saja?”
Akhmad Suwistyo,
seorang mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Andalas
yang suka menulis dan mengamati sekitar.
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post