“Ini yang membuat murka Allah. Jarang disadari, bahwa inilah yang justru mengundang murka Allah. Hingga Allah menurunkan azabnya,” ujar seorang pria dalam sebuah video sambil menunjuk-nunjuk sesajen yang ada di gunung Semeru, 8 Januari 2022.
Lebih naif lagi, pria itu menendang sesajen tersebut, kemudian diikuti dengan kalimat takbir dari seorang rekannya yang sedang memegang kamera. Video itu pun menjadi viral dan menuai pro-kontra.
Tindakan anarkis dari pria—yang dalam video itu—berjenggot, memakai rompi dan berpeci hitam tersebut mengundang reaksi geram warganet. Bahkan, video berdurasi pendek tersebut juga mengundang argumen beberapa tokoh, sebut saja Nadirsyah Husein, atau yang biasa dipanggil Gus Nadir. Dalam cuitan akun Twitternya, Gus Nadir menulis; “Lihat salib kamu cemas, lihat sesajen kamu galau, lihat patung kamu gelisah. Iman yang rapuh selalu tidak nyaman,” tuturnya.
Postingan Gus Nadir tersebut secara satire menyinggung realitas keber-agama-an dalam keberagaman. Cuitan yang bagi saya sinkron jika dikaitkan dengan kondisi sekarang, dimana intoleransi ditampakkan sebagai porsi kebenaran. Contohnya tidak lain adalah perbuatan pria penendang sesajen tersebut. Dengan dalih agama, dia melakukan persekusi terhadap keyainan orang lain.
Padahal, benar kata Gus Nadir. Sikap demikian bukan lantas mencerminkan kecintaan dia terhadap agamanya atau kepada Tuhannya. Melainkan, sikap itulah yang justru mencitrakan ke-rigid-an berpikir dan etnosentrisme yang kuat. Sehingga pada ujungnya, agama diinterpretasikan dengan profan. Di sini letak bahayanya.
Lebih lanjut, Gus Nadir menambahkan cuitannya; “jika kamu menghapus semuanya pun, imanmu gak akan tambah kuat. Masalahnya bukan ada pada mereka, tapi pada dirimu sendiri. Belajarlah beragama dalam keberagaman,” tambahnya. Memang, sikap intoleran (yang sebenarnya masih sering terjadi) sangat tidak pantas dilakukan, apalagi di negara yang majemuk ini (baca; Indonesia). Maka, yang perlu diperhatikan tidak hanya dalam hubungan dengan Tuhan (relasi vertikal) saja, melainkan juga memandang aspek relasi horizontal (sesama manusia), yang nyatanya beragam.
Bahkan, Ning Alissa Wahid—ketika juga menanggapi kejadian tersebut—sangat menyayangkan. Menurutnya—dilansir dari Pikiran Rakyat—meyakini bahwa sesajen itu tidak boleh adalah hal yang sah-sah saja. Namun, memaksa dan menentang orang yang meyakininya itu yang tidak boleh. Setiap agama atau keyakinan memiliki argumentasi kebenarannya masing-masing. Dan masing-masing dari keyakinan atau agama tersebut juga mengajarkan kebaikan, yang barangkali relatif berbeda.
Cara yang Tepat Memandang Perbedaan
Dalam menyikapi kemajemukan Indonesia memang tidak semua orang bisa memahaminya. Terlebih jika menyangkut dengan perbedaan keyakinan dan agama. Meski seringkali disuguhkan tentang bagaimana islam sampai ke Indonesia secara historis (jejak Walisongo misal), namun tetap saja ada yang ngeyel.
Aksin Wijaya dalam bukunya ‘Kontestasi Merebut Islam di Indonesia’ setidaknya telah menggambarkan tentang pemikiran islam yang relatif berbeda dalam memaknai islam itu sendiri. Menurut Aksin, ada 3 pemikiran; yakni ekslusif, inklusif, dan pluralis. Ketiganya memiliki ragam ekspresi yang berbeda, sebab alur pemikirannya yang juga beda.
Mari saya jelaskan, ketiga pemikiran ini sebenarnya sudah dijelaskan secara rinci oleh Aksin dalam bukunya. Pertama, pemikiran ekslusif. Pada halaman 40 dijelaskan, pemikiran ekslusif adalah pemikiran yang mengklaim bahwa agama islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai kebenaran yang mutlak. Mereka (penganut pemikiran ini) menganggap, yang berada di luar garis islam Muhammad adalah orang-orang yang celaka, termasuk islam Ibrahim atau islam Isa dan Musa (Nasrani dan Yahudi).
Alur pemikiran ini—menurut Bagis Syarof ketika meresensi buku tersebut—adalah klaim yang hanya mendatangkan konflik. Sebab mereka hanya memiliki keinginan untuk benar, namun lupa memberi apresiasi pada agama lain, yang bahkan masih serumpun. Ini yang kemungkinan besar dipakai oleh penendang sesajen. Memandang agama atau keyakinan dengan cara yang eksklusif.
Pria itu menganggap keyakinannya tersebut adalah yang paling benar, dan menganggap keyakinan lain adalah sebuah celaka. Hingga impact-nya, terjadilah tindakan anarkis dengan tidak mengindahkan bentuk keyakinan kelompok lain. Pemikiran eksklusif seperti ini tidak pantas jika masih bercokol dalam kehidupan sosial.
Kedua, adalah pemikiran islam yang inklusif. Pemikiran ini memakai teori dikotomis-inklusif. Mereka meyakini bahwa keyakinan mereka yang paling benar, namun mereka juga mengakui adanya keyakinan kelompok lain. Nah, kemudian, pemikiran inklusif ini berevolusi menjadi pemikiran pluralis. Sehingga keduanya memiliki kaitan.
Bagis Syarof memberikan analogi pemikiran terakhir (pluralis) ini dengan sebuah benda. Ada benda berbentuk persegi (misal penghapus). Dari atas ada mereknya. Dari sisi kanan ada motifnyaa. Dari setiap sisi tampak berbeda, dan seterusnya. Begitu juga dengan agama, masing-masing agama meyakini adanya Tuhan. Hanya saja, mereka berbeda dalam sudut pandang dan mengekspresikannya.
Dalam pemikiran islam pluralis, tidak perlu adanya kebencian terhadap keyakinan orang lain. Apalagi sampai mengklaim salah terhadap apa yang diyakini orang lain. Sebab, pemikiran eksklusif selalu memberi ruang terhadap adanya absurditas dalam beragama. Inilah yang harus kita perhatikan.
- Yuang Sewai: Poli samo jo Voli - 8 Desember 2024
- Bincang Karya Pertunjukan Harimau Pasaman oleh Lintas Komunitas di Pasaman - 2 Desember 2024
- Cerpen Celana Dalam Robek | Thomas Elisa - 24 November 2024
Discussion about this post