
Secara etimologi, Bandar Sepuluh ialah gabungan dari beberapa bandar (kota pelabuhan) di sepanjang pesisir pantai Sumatera Barat anggota selatan atau Kabupaten Pesisir Selatan sekarang. Tidak termasuk kedalam wilayah ini kecamatan Bayang, Lumpo dan Salido, XI Koto Tarusan, Lunang Silaut dan Pancung Soal (Inderapura). Pesisir Selatan merupakan salah satu wilayah maritim yang sangat terkenal pada masanya. Dimana banyak aktivitas laut disepanjang pesisiran pantainya, sedangkan maritim sendiri dalam artian luas merupakan suatu hal yang berkaitan dengan laut. Meski pada kenyataannya maritim tidak hanya melihat atau membahas tentang laut atau kelautan saja, tetapi juga membahas hal hal yang berkaitan dengan laut seperti pesisir pantai, aktivitas pelayaran atau perniagaan yang menjadikan laut sebagai sarana utama, pelabuhan atau dermaga. Sebagai ilmu, maritim sudah menjadi sub kajian, seperti pada ilmu sejarah, maritim dijadikan suatu kajian dengan istilah sejarah maritim yang mengkaji tentang aspek aspek maritim, baik sejarah, perkembangan dan aspek lainnya.
Sedangkan Banda Sapuluh (Bandar Sepuluh) adalah daerah Minangkabau yang penting pada masa lalu karena dari sinilah dikapalkan emas, lada, dan bahan-bahan hasil pertanian dan hutan lainnya ke mancanegara. Emas menjadi komoditi penting pada masa lalu yang bersumber dari daerah Pesisir Pantai Sumatera Barat ini. Di dalam pepatah pidato hukum budaya Dunia Minangkabau dituturkan bahwa ameh manah dari Banda Sapuluh (Emas dari Bandar Sepuluh). Berlaku dapat dituturkan bahwa daerah Banda Sapuluah pada masa lalu yaitu daerah lalu lintas perdagangan internasional. Jika kita melihat kondisi saat ini di daerah Banda Sapuluh, kita tidak menyangka bahwa pada zaman dahulunya pelabuhan-pelabuhan di Banda Sapuluh yaitu pelabuhan yang penting dan ramai dikunjungi oleh pedagang dari eropa.
Bila diamati dari sejarah (Tambo) nagari-nagari di Bandar Sepuluh, nenek moyang Bandar Sepuluh datang dalam dua rombongan agung dari Dunia Surambi Sungai Pagu, pertama pada tahun 1490 dan kedua pada tahun 1511. Secara geneologis, penduduk yang sekarang ini menduduki Nagari Punggasan khususnya dan daerah Kab. Pesisir Selatan anggota selatan kecuali Indropuro umumnya bersumber Sungai Pagu, yang kini berada di Muaralabuh, Kabupaten Solok Selatan. Saluran perpindahan penduduk tersebut menembus bukit barisan dan menurun di hamparan dataran luas yang mempunyai batas dengan pantai barat Sumatera Barat anggota selatan yang dulunya diketahui dengan sebutan Pasisia Banda Sapuluh (Pesisir Bandar Sepuluh).
Menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bahwa yang menemukan dan mempelopori perpindahan penduduk dari Alam Surambi Sungai Pagu ke Nagari Punggasan yaitu “Inyiak Dubalang Pak Labah/Inyiak Alang Palabah”. Beliau yaitu seorang Dubalang/Keamanan dalam noda satu suku di Dunia Surambi Sungai Pagu yang suka berpetualang mencari daerah-daerah baru.
Berdasarkan kesepakatan rapat Ninik Mamak Alam Surambi Sungai Pagu, dikirimlah rombongan untuk meninjau wilayah temuan Dubalang Pak Labah. Sesampai di bukit Sikai perjalanan tim peninjau diteruskan kearah hilir melewati bukit Kayu Arang, tempat yang ditandai oleh Dubalang Pak Labah dengan membakar sebatang kayu. Ketika malam datang, rombongan beristirahat di bawah sebatang kayu lagan kecil dan daerah tempat beristirahat tersebut belakang diberi nama “Lagan Ketek” . Keesokan harinya perjalanan dilanjutkan dan berjumpa dengan sebatang kayu lagan yang agung. Daerah tersebut belakang dinamakan “Lagan Gadang”. Rombongan meneruskan perjalanan hingga kesebuah padang yang jumlah ditumbuhi oleh kayu dikek. Dari situ mereka melihat juga sebatang pohon embacang, sehingga kedua tempat tersebut dinamai “Kampung Padang Dikek” dan “Kampung Ambacang”. Perpindahan penduduk dari Dunia Surambi Sungai Pagu, terbagi atas dua rombongan agung, dimana rombongan pertama berangkat lebih dulu.
Berikut wilayah-wilayah yang dikata Banda Sapuluah terdiri dari sepuluh nagari sebagai berikut:
Aie Haji (kecamatan Linggo Sari Baganti, Pesisir Selatan
Punggasan (Kecamatan Linggo Sari Baganti)
Sungai Tunu (Kecamatan Ranah Pesisir, Pesisir Selatan)
Palangai (kecamatan Ranah Pesisir, Pesisir Selatan)
Lakitan (Kecamatan Lengayang)
Kambang (Kecamatan Lengayang)
Ampiang Parak (Kecamatan Sutera)
Surantih (Kecamatan Sutera)
Batang Kapeh (Kecamatan Batang Kapas)
Bungo Pasang (Kecamatan IV Jurai), dimana terdapat tambang emas Salido dan ibukota Pesisir Selatan, Painan.
Kesepuluh Nagari tersebut yaitu daerah rantau dari penduduk Dunia Surambi Sungai Pagu.
Wilayah di luar Banda Sapuluh
Selain daerah Bandar Sepuluh, mempunyai beberapa nagari di Kabupaten Pesisir Selatan yang tidak dikata Bandar Sepuluh karena latar balik historis yang beda. Nagari tersebut yaitu Nagari Bayang, Tarusan Koto Sabaleh, Inderapura, Tapan dan Lunang Silaut. Nenek moyang Tarusan dan Bayang bersumber dari Nagari Muaro Paneh, Solok yang masuk kedalam konfederasi Luhak Kubuang Tigo Baleh. Sedangkan Nagari Indopuro atau Inderapura dan Lunang sebagian bersumber dari Sungai Pagu, Solok Selatan sekarang, Luhak Tanah Datar dan daerah sekitar yaitu Kerinci dan bengkulu. Nagari Indopuro (Inderapura) pada zaman dahulunya terdapat Kerajaan Inderapura, sebuah kerajaan agung dan penting di daerah pantai barat Sumatera.
Ampyang Parak sendiri merupakan Ibukota Banda Sapuluh kala itu, sebagai bukti peninggalannya, Ampyang Parak mempunyai tinggalan bangkai kapal yang berada tepat di pintu masuk muara Ampyang Parak. Pantai tersebut diberinama “Pasia Kapa”. Sedangkan bukti lain kejayaan Ampyang Parak sebagai Ibukota Banda Sapuluh ialah beberapa peninggalan lainnya, baik berupa benda ataupun tak benda. Baik berupa lisan ataupun tulisan. Sebagai daerah yang pernah jaya dimasanya, Ampyang Parak memiliki cerita lain dari keterabaian sejarah, khususnya sejarah Minangkabau, yang barangkali tidak banyak orang mau membahas ini. Salahsatunya tentang Raja yang terpilih untuk memimpin Alam Surambi Sungai Pagu (baca tulisan sebelumnya tentang Ampyang Parak).
Ampyang Parak sebagai Ibukota bandasapuluah memang tidak terlalu meninggalkan bekas layaknya sebuah daerah sarat sejarah, ataupun nama-nama tempat/monumen/tugu/peringatan yang menjadi tolak ukur bahwa benar adanya kejayaan masa lampau itu. Namun, secara tutur tentu ada yang begitu membekas dan memberikan kisah secara temurun, seperti cerita orang rupik, raja-raja, dan penjajah. Sedangkan secara tulisan, H. Yulidal, ST. Bandaro, SH. Pernah memaparkannya secara adat dan wilayah Ampyang Parak dalam monografi nagari Ampyang Parak yang beliau tulisan dari tahun 1992. Kala itu masih tergabung dalam kecamatan Batang Kapas. Adapun selain itu, A. Caniago Hr juga pernah membahasnya dalam tulisan bersambung di koran. Hanya saja salinan pemuatan koran tersebut terbatas saya miliki–bagian 1-2 saja.
Kabupaten Pesisir Selatan terbilang tertinggal dalam perkembangan tempat-tempat bersejaran atau anggaplah tempat yang secara lisan mampu memunculkan satu gairah baru, semisalnya ketertarikan generasi untuk mengetahui sejarah daerahnya. Sejarah yang membentuk mereka saat ini. Belum lagi menjadi daya tarik kabupaten untuk kunjungan wisata, karena tak akan cukup konsisten rasanya dengan wisata ciptaan Tuhan saja, tanpa diselingi dengan wisata ciptaan manusia. Mantap.
- Pelesiran: Mitologi Dewa Babi dan Keberhasilan Masyarakat Tradisional | Arif Purnama Putra - 20 September 2023
- Pelesiran: Mitologi Anjing Dewa dan Masa Silam yang Nyaris Hilang di Gunung Pangilun | Arif Purnama Putra - 1 September 2023
- SELAMI OBSESI DAN KEGELISAHAN: CROUD RILIS DEMO MMXXIII Berisi “HUN’S ADDICTION // SOMEHOW (EVENTUALLY)” - 1 Mei 2023
Discussion about this post