Mentari mulai memamerkan kemuliaannya. Tipis sinarnya merembetkan percikan semangat. Burung bercericau layaknya bayi yang merengek minta disusui. Cericauan yang mengisyaratkan bahwa tak lama lagi rumahnya di tebang. Selang beberapa waktu muncul lelaki paruh baya lengkap dengan celurit dan paculnya. Kedua benda itulah yang telah menjadi anaknya selama dua puluh lima tahun. Ia datang diikuti oleh puluhan ekor bebek yang tengah bersorak-sorai. Sorak-sorai yang kosong. Bebek-bebek itu merupakan teman-teman yang akan menemani Pak Buang di sawah. Pak Buang merupakan anak dari mantan lurah di desa Gunungkarang. Ia tak mampu meneruskan trah kepemimpinan Bapaknya. Dia punya prinsip hidup bahwa hidup ini harus menyatu dengan alam. Oleh karena pegangan itu ia lebih memilih menjadi seorang petani.
Pagi itu Buang bersama kawanan bebeknya melangkah tipis-tipis menyusuri tebalnya kabut. Ia diiringi oleh prajurit yang senantiasa setia dan patuh pada komandannya. Namun, Langkahnya tercekat dan ia tertegun ketika hendak mengairi sawahnya. Ada botol Roundup yang sudah menganga di permukaan air. Ia tak langsung bergegas mengambil botol itu. Terlihat wajahnya memerah, nampak geram.
“Sopo ki sing mbuang wadah kene sembarangan? Wong ora ndue utek blas.” Terdengar kata-kata yang membuat bebek-bebek itu semakin riuh. Seakan mereka tahu apa yang dirasakan majikannya.
“Yen kewenangan wae wis tak omei bersih” Terdengar lagi suara keras itu dari mulut Buang, petani yang selalu menjaga alam.
Sepagi itu ia dibuat geram oleh botol Roundup kosong yang mengambang di permukaan air. Buang yang berniat mengairi padinya bertolak pulang karena ia tahu jika padinya tetap diairi pasti semua akan mati dan gagal panen. Ia juga berpikir bahwa padinya pasti akan mati karena botol itu persis berada di irigasi yang selalu mengaliri sawahnya. Mungkin enam atau tujuh hari lagi semua akan menguning.
Tiga hari sesudahnya Buang melangkahkan kaki menuju sawahnya. Seperti biasa pasukannya berada di bawah arahanyaa. Jika, ia belok ke kanan maka mereka akan ikut balik ke kanan. Di situ ia merasa seperti panglima perang yang siap membabat habis keong-keong hama tanamannya. Di tengah perjalanan ia tertegun dan berhenti sejenak memandangi jembatan penghubung antara jalan desa menuju sawah, jembatannya ambruk terbawa arus banjir yang cukup jelas. Memang semalam hujan terdengar lirih namun berlanjut sampai pagi hari. Ia bingung, mengapa jembatan sekecil itu bisa ambruk diterpa air sungai yang mencoklat. Dirasa otaknya tak sampai ke situ. Di sisi lain prajuritnya berenang riang dan bercericau “๐ธ๐ฆ๐ฌ.. w๐ฆ๐ฌ… w๐ฆ๐ฌ…. ” tidak hanya satu namun puluhan suara itu mendengung dan membuat kepalanya pusing. Seakan bebek-bebek itu mengerti perasaan Buang. Agar tetap sampai di sawah sepetajnya, Buang tetap menyusuri derasnya air banjir yang dilengkapi oleh gumpalan plastik yang terus hilir-turun mengikuti derasnya arus.
“๐๐ข๐ฉ, ๐ฆ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ช ๐ธ๐ฐ๐ฏ๐จ-๐ธ๐ฐ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฐ๐ฅ๐ฆ๐ญ ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ฏ๐ฆ. ๐๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐ข๐ฎ๐ฃ๐ณ๐ฐ๐ญ, ๐ฃ๐ฆ๐ฌ๐ข๐ด ๐ณ๐ฐ๐ถ๐ฏ๐ฅ๐ถ๐ฑ ๐ฅ๐ช๐ฃ๐ถ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ฌ๐ข๐ณ๐ฆ๐ฑ ๐ธ๐ถ๐ฅ๐ฆ๐ญ๐ฆ ๐ฅ๐ฆ๐ธ๐ฆ. ๐๐ฆ๐ญ๐ข๐ด ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐ช๐ข ๐ข๐ณ๐ฆ๐ฑ ๐ข๐ฎ๐ฃ๐ณ๐ฐ๐ญ ๐ฏ๐ฆ๐ฌ ๐ธ๐ฐ๐ฏ๐จ-๐ธ๐ฐ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ๐ฆ ๐ณ๐ข ๐ด๐ข๐ฅ๐ข๐ณ”. Ia berkata dengan melas. Suara itu rupanya sampau ke telinga bebeknya yang terus menimpali dengan cericauan seakan membalas keluhan itu.
Setelah menaiki talut ia terus melangkahkan kaki lemahnya lengkap dengan celurit, cangkul, dan kaos lusuhnya. Belum sampai di sawah ia berhenti melihat Pak Kaji tengah menenteng semprotan yang mungkin berisi ๐ณ๐ฐ๐ถ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฑ. Kembali ia tertegun dan berpikir. Apakah Kaji ini yang telah membuang bekas botolnya di irigasi atas sawahnya. Jika memang benar maka alangkah bodohnya seorang Kaji berperilaku sedemikian itu. Di tengah pikiran itu Pak Kaji menoleh dan melihat Buang tengah berada dua meter di sampingnya.
“Loh, Wang sue apa neng kono?โ Sapa Pak Kaji.
“Tembe mawon niki, Pak. Saweg nyemproti suket nopo.” Tanyanya dengan setengah senyum walaupun perasaan marah kepada Pak Kaji tetap meradang di dadanya. Ia jadi tahu bahwa tak semua Kaji berperilaku benar di belakang.
“Iya kie, Wang, sukete eram banget” Pak Kaji dengan raut wajah kesal dan lemasnya menimpali pertanyaan itu. Ia tak tahu Buang tengah geram terhadap perilakunya yang tak logis itu.
Buang hanya menyambut kalimat tersebut dengan senyuman dan kembali melangkah ke sawahnya. Ia melangkah dengan titian semangat. Prajuritnya telah sampai duluan di sawahnya. Namun, ada yang terasa beda. Bebek-bebeknya bercericau tidak jelas dan suara itu terus menghujani hati Buang. Seperti ada yang tidak beres di sana. Buang bergegas menuju sawahnya. Ah, ternyata benar dugaannya kemarin. Ikan dan belut bergelempangan di permukaan air sawah. Padinya membusuk. Ia sangat geram karena itu. Namun, ia hanya bisa diam dan bersabar. Tak ada jalan lain lagi kecuali menghentikan aliran irigasi itu agar sawah-sawah tetangganya tidak terairi. Ia tak mau kejadian yang sama menimpa orang lain. Cukup dirinya saja yang rugi. Dengan mata cekungnya ia terus mencakul menutupi saluran-saluran itu. Ia bingung harus apa lagi. Ia tak percaya Pak Kaji seorang lulusan pertanian berbuat sedemikian rupa.
Membunuh hasil orang lain, seperti orang tak berpendidikan. Namun, ia tak bakal dendam pada orang itu. Memang Buang merupakan orang miskin. Dengan kerugian ini maka kehidupannya akan sangat memilukan dalam beberapa bulan ke depan.
Dia tidak mau membuat masalah di desa ini. Siapa dia? Dia hanya pendatang yang sudah 15 tahun menetap di desa ini. Dia akan tetap melakukan pekerjaannya walaupun semua sudah gagal panen. Bahkan bebek-bebeknya tak bisa makan karena keong-keong di sawah ikut mati terserang ๐ณ๐ฐ๐ถ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฑ. Ia hanya bisa diam. Ia melangkah ke bawah pohon ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ญ๐ถ yang berada di tengah sawahnya. Di sana ia bertirakat dan berserah diri pada Sang Maha Kuasa. Ia tahu ini takdirnya, dan takan menyalahkan orang lain atas kerugiannya. Bebek-bebeknya turut bermain-main di sampingnya. Seakan-akan sedang mencari perhatian majikan yang tengah bersedih itu. Buang hanya tersenyum ketika melihat bebeknya berlari kejar-kejaran dan jatuh ke sawah ๐ฃ๐ข๐ญ๐ฐ๐ฏ๐จ dalam. Dia tertawa terhibur atas pentas drama bebek-bebeknya. Tak terasa sudah 9 jam ia berada di sawah sampai-sampai terdengar jelas suara merdu adzan maghrib di desa Karangduren. Adzan itu pertanda bahwa ia harus segera pulang dan beristirahat di gubuk yang hampir roboh. Buang berdiri untuk beranjak pulang. Mentari temeram oleh jingganya langit yang bercampur oren. Keidahan itu bertimpal balik dengan garis takdir Pak Buang hari ini. Suara bebek dan langkah kakinya tenggelam dimakan oleh saut-sautan nyanyian kodok sawah.
Penulis Muhammad Aziz Rizaldi. Ia terlahir pada 7 April 2021. Ia tinggal di Desa Gunungkarang Kecamatan Bobotsari Kabupaten Purbalingga. Ia tengah menempuh studi sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Ia merupakan pegiat isu dan kritik sosial. Karyanya yang sudah dimuat dalam media massa berupa esai berjudul Kriminalitas Jalan Pintas Keterdesakan dalam rubrik Opini Redaksi Metafor.id. Ia dapat dihubungi melalui :
Surel: [email protected]
Instagram: Muhammad Aziz Rizaldi
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio Josรฉ Bolรญvar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post