
Kampung Perobek sunyi serupa kuburan berhantu. Orang-orang menggembok bedengnya dan memilih menimbun diri dalam bedeng tak berlampu untuk menghindari panggilan maut. Maut yang konon dapat terbang melesat bersama percikan ludah si Corina, perempuan rembulan malam. Kedai Mang Somse, tempat para lelaki biasa berkumpul memukul meja judi, kini ikut senyap pekat, serupa kuburan tua. Lelaki-lelaki yang biasa menghitung rupiah taruhan judi di tempat itu ikut menghilang, entah sembunyi ke bawah ketiak istrinya, atau tengkurap dalam selimut mbak-mbak pijat di sekitaran stasiun bus antarkota.
Ketakutan berbumbu maut ini bermula dari kemunculan kembali Corina setelah sebelumnya perempuan bertubuh montok itu lenyap sekian waktu. Tidak ada seorang pun yang tahu asal kemunculannya, seperti petir menggelegar, Corina tiba-tiba telah berada di kampung Perobek dengan penyakit menjijikkan. Tubuhnya panas tinggi disertasi batuk yang menggelontorkan dahak hijau. Orang-orang yang sempat mendekat kepadanya, satu per satu tertular kehinaan penyakit Corina. Menyadari Corina datang mengantarkan maut, warga kampung yang belum terlanjur bersemuka dengannya memilih menyelamatkan diri masing-masing. Soal ketakutan itu, sebetulnya sebelum Corina muncul lagi, warga kampung Perobek sudah terteror oleh kejadian lain yang tak kalah ngeri. Kejadiannya bersumber dari aksi bang dengan sebilah golok. Lelaki itu telah beberapa malam berjalan berkeliling dari satu bedeng ke bedeng lain. Hanya untuk mencari satu orang yang ia inginkan; Corina.
Seperti pada malam itu, mata bang Upret merah, mengobarkan api kemarahan. Tangannya menggenggam golok berkilat. Langkahnya antara sempoyongan dan dipaksa kuat menjejak tanah. Tak ada sesiapa yang berani menghentikan kemarahannya. Juga tak ada lelaki atau perempuan yang berani keluar rumah, walau untuk sekedar memastikan bahwa lelaki itu tak menghampiri bedeng milik mereka.
“Corina! Di mana kau? Menikahlah denganku agar lelaki yang menidurimu tahu bahwa kau adalah milikku. Milik bang Upret!” suara bang Upret menggema dalam keheningan malam yang terekam oleh setiap mata dari balik dinding bedeng kampung Perobek.
“Corina! Menikahlah denganku! Kalau kau tetap menolak, akan kukutuk kau mati mendadak oleh percik ludahku!” lagi-lagi bang Upret berteriak lantang, memanggil-manggil nama Corina sambil berkeliling dari bedeng ke bedeng.
Dari balik dinding bedengku sendiri yang terletak di sudut persimpangan jalan, masih dapat kusaksikan tubuh lelaki itu huyung seperti akan rebah ke tanah. Dadaku terasa nyeri dibakar rasa sedih, entah kenapa. Dalam gema teriakannya aku merasa mendengar tangisan pilu seorang lelaki yang sesungguhnya tengah dirajam bisa cinta paling hitam. Tetapi aku merasa ini bukan saat yang tepat untuk membuka pintu bedengku dan menawarkan jasa untuk menenangkan Upret. Aku merasa tak memiliki kapasitas untuk berpura-pura sebagai manusia baik di hadapannya.
Lelaki itu masih berteriak-teriak memanggil nama Corina. Tepat ketika langkahnya menjejak di depan bedengku, kutarik langkah menjauh dari lubang di daun pintu.beberapa saat kemudian suara teriakannya mulai menjauh seiring suara langkahnya turut hilang.
&&
Lelaki itu kami panggil dengan sebutan bang Upret. Ya, bang Upret, singkatan dari ustad preman top. Di balik nama bang Upret yang aneh tentu saja tersimpan sejarah yang kalau kalian ketahui, kalian akan melongo sebelum akhirnya berkata, “oow”.
Ahmad Kosim, itulah nama sebenarnya dari bang Upret. Umurnya sekitar empat puluh lima tahun. Di pipi sebelah kirinya ada bekas luka memanjang. Matanya tajam, namun seperti menyimpan telaga yang menyimpan gelombang besar yang suatu saat bisa menghempas tiba-tiba.
“Aku mau pindah tinggal ke sini. Jangan larang, ya,” itulah kalimat pertama yang dilontarkannya ketika mendadak muncul di kedai Mang Somse. Aku dan lima orang lelaki lainnya yang sedang asyik main kartu judi saat itu terlongo. Kami tidak akrab dengan sosoknya yang asing. Yang aku tahu dia adalah penduduk dari kampung Babakan yang bersebelahan dengan kampung kami. Dari cerita yang pernah kudengar sebelumnya, di sana dia adalah guru mengaji yang dikenal orang-orang karena kealimannya.
“Boleh ya aku pindah ke kampung kalian ini,” ulangnya, kali ini dengan nada seperti memohon.
Mang Somse menyenggol lenganku dan lengan Mang Ujang, seakan minta pendapat atas permintaan aneh dari lelaki yang muncul mendadak di depan kami.
“Kau? Bukannya kau warga kampung sebelah? Mang Somse memberanikan diri bertanya balik sebelum menjawab permintaan lelaki itu.
“Iya, dari kampung Babakan di sebelah,” tanggap si Upret datar. Aneh, ia seperti tidak memiliki cukup tenaga untuk meyakinkan dirinya sendiri atas permintaannya kepada kami.
“Yakin kau mau tinggal di sini? Mang Somse kembali bertanya dengan wajah bingung.
“Iya. Aku serius. Namaku Ahmad Kosim, tapi jangan panggil aku dengan nama itu. Panggil aku dengan nama lain yang kalian mau,” sambung lelaki berkopiah dan celana gombrong di atas mata kaki itu.
“Kenapa mendadak kau pindah ke kampung kami?” desakku dengan pertanyaan yang penuh rasa ingin tahu.
Lelaki itu menghela nafas dalam. Wajahnya mendung seperti awan hitam menggantung di langit sore.
“Aku ingin pensiun tinggal di kampung Babakan, pindah ke sini,” suaranya datar tanpa emosi.
Discussion about this post