![](https://marewai.com/wp-content/uploads/2021/04/IMG-20210426-WA0001-1-1024x768.jpg)
di lapangan terbuka (Kameraman: Yori Leo Saputra)
Benar yang dikatakan Soejono Soekamto (1990) bahwa tradisi adalah suatu kegiatan yang dijalankan oleh sekelompok masyarakat dengan secara berulang-ulang. Salah satu contoh tradisi itu dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat kampung Pale Koto VIII Hilir, Kenagarian Koto VIII Pelangai, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan, saat menunaikan ibadah puasa pertama pada bulan ramadan. Tradisi tersebut ialah menyabung ayam.
Kalau kita telusuri kata menyabung, bermakna mengadu; mempertaruhkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, V). Kemudian dari makna kata itu dapat diartikan bahwa menyambung ayam adalah kegiatan mengadu ayam. Hal yang perlu diketahui, tradisi ini bukanlah tradisi perjudian yang kita kenal pada umumnya, melainkan bentuk tradisi yang dilakukan secara bersama-sama, mulai dari orang dewasa, remaja, dan bahkan sampai anak-anak. Umumnya, tradisi ini dilakukan oleh kaum laki-laki saja.
Tradisi menyabung ayam ini adalah tradisi yang dilakukan pada puasa pertama ramadan. Biasanya, satu hari sebelum kegiatan berlangsung, orang-orang sudah mempersiapkan atau mengurung ayam aduan yang akan dibawa keesokan harinya. Ayam yang dibawa oleh masyarakat bermacam: ada ayam bangkok; ayam kampung; ayam kates dan ayam balugo serta jenis ayam lainnya. Umumnya, ayam yang dibawa adalah ternak sendiri (ayam jantan). Kenapa tidak ayam betina saja? Sebab ayam betina hanya berfungsi sebagai petelur atau perkembangbiakan. Nah, bagi mereka yang tidak memiliki ayam aduan, mereka hanya datang menonton dan meramaikan tradisi itu.
Setelah waktu penyabungan tiba, pada pagi itu orang-orang sudah mulai datang ke lokasi penyabungan dengan membawa ayam aduan masing-masing. Bagi mereka yang dekat dengan lokasi penyabungan biasanya datang dengan berjalan kaki, meskipun sedang berpuasa. Kadang ada juga diantara mereka yang datang dengan membawa kendaraan, seperti motor dan mobil. Uniknya, tradisi ini tidak hanya dihadiri oleh masyarakat kampung Pale, tetapi juga masyarakat dari kampung lain seperti, kampung Air Tambang, Sawah Bukit, Sikabu, Tarok Randah, Tangah Padang, kampung Jambak dan kampung Baru (masih satu kecamatan). Meraka pun datang dengan membawa ayam aduannya untuk diperlagakan di hadapan bersama.
Lalu, kapan tradisi ini dimulai?
Tradisi menyabung ayam ini biasanya dimulai pada pagi hari sekitar pukul 07:00 WIB atau paling lama pada pukul 07:30 WIB. Mengapa demikian? Karena pada pukul itu terik matahari tidak terlalu panas dan waktu itu juga cukup bagus untuk membantu kesehatan tubuh saat berpuasa. Sementara itu, lokasi atau tempat penyabungan ayam diadakan di lapangan terbuka saja dan tidak dilakukan di tempat tersembunyi atau tidak berbentuk sayembara. Hal ini berbeda dengan menyabung ayam yang dilakukan secara perjudian.
Tradisi ini hanyalah mencari kesenangan semata, agar menghilangkan rasa suntuk saat menjalankan ibadah puasa pada hari pertama ramadan. Tradisi sabung ayam ini adalah melambangkan kebersamaan warga saat ramadan tiba. Dengan diadakan tradisi ini masyarakat dapat berkumpul secara bersama-sama dalam suatu tempat yang sama. Hal ini memperlihatkan keeratan hubungan warga, baik yang tua maupun dengan yang muda. Selain itu, juga menjaga hubungan silaturahim dengan warga dari kampung lain. Itu pun hanya dapat dilakukan satu kali dalam setahun.
Kemudian, apa yang membedakan tradisi ini dengan menyabung ayam yang dilakukan secara perjudian?
Tentu saja berbeda, bahwa tradisi sabung ayam yang dilakukan oleh masyarakat kampung Pale tidak memakai aturan perjudian (bertaruh) ataupun menggunakan gelanggang khusus. Seperti yang telah dijelaskan tadi, tradisi ini hanyalah semata hiburan saja bagi masyarakat. Untuk itu, agar tidak menjadi salah paham. Adapun aturan yang harus diketahui dalam tradisi ini, ialah: 1) ayam yang disabung tidak dilakukan secara perjudian (taruhan); 2) ayam yang disabung tidak dipertaruhkan sampai mati, melainkan hanya disabung sebentar saja; hal ini berbeda yang dilakukan dalam sayembara. 3) tidak ada menang kalahnya (tidak ada hadiah), hanya bersifat hiburan; 4) tidak ada saling menghianati antar sesama, misalnya ada ayam aduan yang lepas disebabkan karena jalang, maka saling membantu untuk menangkap kembali, bukan menyorakkannya.
Tradisi sabung ayam ini tidaklah sama dengan tradisi-tradisi lainnya, kadang menggunakan waktu selama berhari-hari. Hal ini berbeda dengan tradisi sabung ayam. Tradisi sabung ayam ini hanya dilakukan selama dua atau tiga jam, hal itu mengingat keadaan yang sedang berpuasa.
Demikianlah penjelasan tentang tradisi sabung ayam yang dilakukan di kampung Pale Koto VIII Hilir, Kenagarian Koto VIII Pelangai, Ranah Pesisir. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan baru dalam mempelajari kebudayaan lokal.
![](https://marewai.com/wp-content/uploads/2021/04/1fc1d1ba-33e1-4721-9d3b-1f3c1e7a1386.jpg)
Penulis, Yori Leo Saputra tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univeritas Andalas, Padang. Lahir di Pale Koto VIII Hilir, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Tulisan-tulisannya sudah pernah dimuat di berbagai media, baik itu media massa ataupun media onlen seperti, Utusan Borneo Malaysia, Medan Pos, Singgalang, Cakra Bangsa, Scientia.id, Banaranmedia.com, dan jurnalsumbar.com. Ia juga pernah melahirkan sebuah buku antologi puisi bersama David Dutu yang berjudul Tangis di Rantau. Bisa ditemui di;Blogger: jurnalismuda03.blogspot.com
— Marewai.com
Discussion about this post