
Hujan yang turun ke bumi menjadi fenomena yang dielu-elukan oleh para petani padi, karena padi membutuhkan air yang berlimpah agar dapat tumbuh dengan bahagia. Namun, banyak pula yang membenci bahkan mencela hujan, bila ia berdendang, payung-payung siap menghadang. Di Kabupaten Banyumas, jika hujan tak kunjung turun para petani biasanya akan mengadakan ritual untuk mendatangkan hujan yakni, cowongan. Tradisi cowongan merupakan ritual utama bagi masyarakat Banyumas untuk mendatangkan hujan dengan sarana peralatan berupa siwur (gayung) atau irus (centong sayur) yang dirias menjadi boneka berwujud putri nan cantik. Tradisi cowongan digawangi oleh seorang dukun dan juga didampingi oleh para wanita. Para wanita ini haruslah wanita yang suci (baca: tidak haid, tidak nifas, dan tidak melakukan hubungan seksual). Selain itu, para perempuan juga mengiringi cowongan dengan tembang-tembang jawa. Dalam ritual tersebut, masyarakat melantunkan mantra dan tembang-tembang Jawa sebagai ungkapan doa kepada Ilahi, sehingga terjadi komunikasi dan negosiasi dengan entitas spiritual dalam doa, sedangkan materialitisnya sebagai permohonan berupa sesajen. Dalam masyarakat luas, sesajen kerap dipahami sebagai simbol relasi hierarkis dua subjek yang berbeda.
Dalam sesajen, dukun akan membakar kemenyan dan dupa sebagai piranti dalam memanjatkan doa. Hal ini dalam worldview Islam merupakan cara untuk menghimpun chemistry kepada sang Ilahi dengan aroma harum. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i bahwa Muhammad Sang Kekasih menyenangi wewangian. Aroma wangi bisa memberikan ketenangan orang yang berdzikir, shalat, dan ibadah lainnya. Para malaikat pun senang kepada bau wangi, sehingga rahmat Allah akan turun kepada orang yang memakai wangi-wangian. Selain kepada tuhan, masyarakat juga memanjatkan doa kepada Dewi Sri sebagai ingkang mbaurekso ladang sawah dan penurun hujan. Keyakinan seperti ini pada dasarnya merupakan ekspresi penghormatan masyarakat Jawa kepada makhluk Ilahi bukan manusia (malaikat). Biasanya makhluk tersebut disimbolkan dengan Dewa, Dewi, Nyai, dan Kyai yang dipercaya sebagai makhluk utusan Ilahi untuk menguatkan dan menumbuhkan tumbuhan.
Kepercayaan ini lantas tidak bisa kita maknai sebagai wujud kepercayaan yang mutlak terhadap selain tuhan Yang Maha Esa. Namun, sebagaimana yang disebutkan tadi, hal itu hanya pencandraan atau simbolisasi atas bentuk keyakinan kepada Tuhan. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa, dibalik keyakinan akan Allah yang bersifat transenden, ternyata mereka juga meyakini adanya sosok berupa Dewi Sri yang berasal dari Allah. Mitos mengenai Dewi Sri merupakan manifestasi (tajalli) kerinduan kepada Allah yang bersifat imanen. Hal ini pun tak bertentangan dengan ajaran Islam, karena menurut Islam, orang beriman salah satu indikatornya adalah percaya kepada sesuatu yang ghaib (Alladziina yu’minuna bil ghoib). Lelaku syirik kerap kali disematkan pada para pemain ritual cowongan di daerah Banyumas. Beberapa kali saya mendengar omongan yang kurang mengenakan dari penduduk setempat. Namun, sebagaimana penuturan dari Titut Edi Purwanto (Seniman Banyumas), tradisi cowongan merupakan upaya memanjatkan doa kepada Ilahi agar turun hujan (2021). Asumsi miring akan mereka yang menjalankan ibadah (baca: lelaku) yang bernuansa sinkretik agaknya telah terukir dalam benak mayoritas kita. Apa-apa yang berkaitan dengan ritual leluhur seolah-olah vis a vis dengan ajaran Islam. Dari pandangan itu kemudian kita akan menge-cap adanya identitas kaum Islam abangan (kejawen) dan Islam putihan (santri). Kondisi ini dapat kita telisik kebelakang akan perjalanan kaum abangan di tengah arus globalisasi dan moderenisasi. Nancy K. Florida, dalam bukunya yang berjudul “ Jawa-Islam di Masa Kolonial” (Nancy, 2020), menyebutkan bahwa pembelahan identitas Islam berupa abangan dan putih merupakan politik yang dilancarkan kolonial Belanda sebagai bentuk penyangkalan penyatuan Islam dan Jawa. Politik ini dilatarbelakangi oleh adanya Perang Diponegoro (Perang Jawa) 1825-1830 yang didukung oleh berbagai kalangan masyarakat di Jawa. Berimbas terhadap tewasnya 200.000 orang Jawa dan 15.000 pasukan Belanda. Perlawanan sengit itu membuat Belanda trauma, hingga menelan kerugian besar. Sikap heroik dalam perlawanan Perang Diponegoro (Perang Jawa) datang dari identitas pemersatu orang Jawa berupa Islam.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post