Membicarakan Rindu di Pantai Cermin
Dalam mazhab rindu paling sunyi,
kurasakan semilir angin
Pelan merayap di pantai cermin
Pekat melukis wajahmu di gemawan senja
Surup mulai meneduhi tubuhku, ombak menyetubuhi pantai
Dan aku masih menunggu bidukmu datang
Di situ kau bawa percakapan, purnama menjemputmu
Sambil merayu, “tubuhmu serupa langit, tempat lahir cahaya
yang petang ini kurindukan.”
Bulan jatuh di keramba, kita
jatuh di pangkuan pasir putih
gelap membungkam pandangmu,
kita hanya bicara rindu
seperti angin, yang sedang membelaimu lembut
tanpa perlu mengenal tubuhmu
Lampung, Juni 2020
Pertanyaan-Pertanyaan
Akukah itu di tubuhmu?
yang menghardik waktu
membaur jadi satu
akukah itu di matamu?
yang melangkah pergi
dan kembali untuk sekian kali
Akukah itu di lebur doamu?
Yang mengangkasa
Membawa runtuh rintih jiwa
Akukah itu di tubuhmu?
Yang bertanya mengapa demikian
Dan menjawab seharusnya demikian
Lampung, Oktober 2020
Elegi Seorang Penyanyi
Seorang penyanyi duduk di sudut kafe
Yang di jam terakhir menjelang
Kursi-kursi pengunjung diangkut
Hanya menjual kesedihan
Dan kesepian
Penyanyi itu adalah pelanggan setianya
Di sudut kafe yang remang
Diiringi denting jam dan
Suara pekik hujan
Ia menangis
Tubuhnya basah
Matanya merah
Napasnya jengah
Seorang penyanyi duduk meringkuk di bangku
Paling sudut kafe ini
Berharap di ujung tangisannya ia menemukan
Celah untuk berhenti
dalam pikiran paling padat, ia hanya berharap mati
Seorang penyanyi duduk termenung di kegelapan kafe
Setelah pelayan mematikan lampu
Serta menutup jendela, pintu
Sungguh jeritan penyanyi itu lirih
Wajahnya segelap malam
Suramnya sedalam sumur-sumur di tengah hutan
Tiada sesiapa peduli padanya
Seorang penyanyi duduk di sudut kafe
Sambil menghadap kopi yang begitu pahit
Matanya membayangkan kalimat-kalimat
Beberapa orang memakinya, ia begitu ingat,
“Brengsek, lagumu itu jelek!”
Lainnya berkata,
“Demi Tuhan, lirik lagumu menyakiti banyak orang.”
Dan kini, lagu itu menyakiti diri penciptanya sendiri
Seorang penyanyi duduk di sudut kafe
Yang sudah tutup
Menjelang tengah malam
Angin yang menjelma rasa bersalah
Merasuk ke tubuhnya
Melepas jantungnya
Menyumpal aliran darahnya
Mencekik tenggorokannya
Tapi ia tak mati juga
Seorang penyanyi duduk di sudut kafe
Berpikir sejenak:
tak ada yang bisa diubah
Kata-kata yang sudah lahir
Tak bisa dihapus dan dimusnahkan lagi
Hanya ada satu jalan
Kematian
Di berita esoknya:
Seorang penyanyi mati bunuh diri
Di sudut kafe yang sepi
Lampung, Januari 2021
Biodata Penulis
Imam Khoironi. Lahir di desa Cintamulya, Lampung Selatan, 18 Februari 2000. Mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Inggris di UIN Raden Intan Lampung. Menulis puisi, cerpen, esai dan artikel. Buku puisinya berjudul Denting Jam Dinding (2019/Al-Qolam Media Lestari). Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media cetak maupun online seperti Simalaba.com, Apajake.id, Kawaca.com, Radar Cirebon, Malang Post, Riau Pos, Radar Mojokerto, Banjarmasin Pos, Bangka Pos, Denpasar Post, Pos Bali, Bhirawa, dan lainnya. Puisinya masuk dalam buku Negeri Rantau; Dari Negeri Poci 10 dan banyak antologi puisi lainnya.
Ia bisa ditemukan di Facebook : Imam Imron Khoironi, WA/Hp : 085609086924, Youtube channel: Imron Aksa, Ig : @ronny.imam07 atau di www.duniakataimronaka.blogspot.com
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post