
BONEKA TAK SALAH!
Kaubaca pesan dari dia atas komentarmu empat jam yang lalu. Bijak dan menusuk sekaligus. Sama sekali berbeda dengan cara bicaranya dua tahun silam: lembut nan manja. Mungkin dia sengaja menulis dengan huruf kapital agar kau tersadar. (Benarkah kaulah yang bersalah?)
Tadi, saat melihat story WhatsApp-nya yang memperlihatkan dirinya dan boneka Pikachu pemberianmu dulu, untuk sekian kali, kau, akhirnya, memberanikan diri menanggapi setelah dua tahun hanya saling bungkam, baik lewat telepon genggam maupun saat bertemu di kampus—demi alasan apa pun.
*
Aneh banget. Sumpah. Biasanya hanya melihat saja. Mungkinkah kamu masih peduli? Ah, sungguh tidak mungkin. Kamu, kan, lelaki paling brengsek dari semua yang kukenal. Bilang mau fokus belajar sastra, eh malah mendekati adik tingkat yang genit itu, tanpa rasa bersalah lagi, duh!
Sudah begitu, kamu batalkan pertemanan Facebook kita, kamu berhenti mengikuti Instagramku dan kamu hapus akun Instagramku sebagai pengikutmu. Lebih parahnya story WhatsApp kamu sembunyikan dariku beberapa bulan. Dan kamu pun tak muncul di penonton story-ku selama itu. Padahal saat memutuskanku kamu bilang, “Kita masih bisa berteman, kita masih bisa berhubungan dengan baik.” Pret! Itu hanya berjalan beberapa minggu. Setelah itu kamu tidak peduli padaku. Pesan-pesanmu singkat, tidak enak dibaca, dan kerap tak butuh tanggapan. Kamu tampak menjaga jarak denganku, terkesan tidak mau diganggu.
Namun, aku tak sejahat kamu. Aku tak bisa mengabaikan pesanmu.
*
Nomor teleponnya (yang kauhafal di luar kepala karena hanya berbeda satu angka paling belakang dengan nomor teleponmu; kalian beli bareng saat baru jadian) kausimpan kembali beberapa bulan lalu, iseng (barangkali lebam hatimu agak membaik karena jauh hari kau tahu dia sudah putus dengan lelaki kurus itu). Dan alangkah tiada kausangka bahwa dia belum ganti nomor telepon dan nomor teleponmu masih disimpan. Untuk apa dan bagaimana bisa dia masih menyimpan nomor teleponmu, kau tak pernah tahu (atau jangan-jangan dia juga baru menyimpan nomor teleponmu lagi setelah putus dengan lelaki kurus itu).
Adakah dia masih cinta? Tak ada yang bisa membuat kau percaya, apalagi mengingat dia telah pernah berpacaran dengan lelaki lain. Berkali-kali mengunggah foto bersama Pikachu tak bisa artikan sebagai rasa yang belum berubah. Toh saat kalian berpacaran, kau tahu sendiri, dia juga menyimpan boneka-boneka dari mantannya meski bukan di kamar: gudang.
Kau masih mencintainya, tentu saja, tapi tak ingin menyikapi secara berlebihan.
*
Aku mengerti. Tidak. Kamu tidak pernah mengerti aku. Dari dulu kamu hanya memikirkan dirimu dan tulisan-tulisan itu. Kamu tak pernah memahami perasaanku.
Kamu tidak pernah mau menelepon dan ditelepon. Apalagi video call? Kita sudah bertemu di kampus, itu hanya alasanmu, kamu tidak mau menemaniku.
Kamu lebih mencintai buku-buku daripada aku. Waktumu, lebih banyak, untuk membaca cerita daripada ngobrol bersamaku.
Pukul sepuluh malam kamu minta kita menyudahi berkirim-balas pesan dan selalu kamu yang mengakhirinya. Aku butuh waktu untuk membaca, katamu (apa tidak bisa membaca sambil berkirim pesan?), dan menulis. Kamu bilang sendiri, idemu baru keluar di atas pukul dua belas malam. Simpulku, kamu tidak mau kuganggu.
Kamu tak pernah bisa memahamiku—sebenarnya bisa, andai mau.
Kamu suruh aku memakai jubah atau rok dan aku melakukannya, tapi ketika ada perempuan bercelana ketat lewat, alih-alih menolak lihat, matamu mengikuti geraknya dengan khidmat, tak hirau ada aku di sampingmu, aku ingat itu.
Ya, ya, aku tahu, laki-laki memang begitu, ingin menang sendiri.
*
Kau tak tahu batas yang memisahkan antara setia dan benar-benar tolol. Tapi kau tahu mencintai dan memiliki adalah dua rasa yang berbeda. Sejak putus dengannya, kau tak hendak membangun hubungan baru dengan perempuan lain. Hubunganmu dengan perempuan-perempuan itu, termasuk Alind, tak lebih dari teman dan kau berhubungan dengan mereka seperlunya saja—kalau tidak dikatakan saat butuh.
Seperti katamu padanya dulu, kau ingin sendiri dulu sampai kau tak ingin lagi sendiri. Kini bagimu, sebenarnya, adalah waktunya. Namun, kenyataan tak berjalan sesuai dengan harapan. Keadaan hanya menyuguhkan ketidakmungkinan. Jarak antara kau dan dia sudah begitu jauh, walau terkadang masih jumpa di kampus (berbeda fakultas membuat pertemuan tanpa janji agak susah).
Lazim memang. Yang paling mungkin sekali pun, masih bisa tidak terjadi di dunia ini (dan sebaliknya, kau sulit percaya yang ini). Barangkali itulah mengapa ada dunia imaji: untuk mewujudkan yang kau ingin-ingin saja.
Ada satu hal, sebenarnya, yang ingin kautanyakan padanya: demi apa dia berpacaran dengan lelaki kurus itu?
Tidak harus memang. Mungkin saja waktu, keadaan, perhatian yang kurang, pikiran ini-itu, atau apalah membuat dia berbelok arah, mencerabut perkataannya saat itu: aku juga akan sendiri dulu, menunggumu.
Ah, perempuan. Kau mahfum, perempuan tak suka dan tak bisa menunggu.
*
Kukira pesan pertamamu tadi adalah jalan yang akan membawa percakapan kita berjalan panjang dan menyenangkan—terlalu muluk memang!
*
Kau tak begitu mengerti bagaimana pilihan itu merasuk hatimu, sehingga saat itu juga, di akhir semester dua, dua hari setelah merayakan satu tahun hubungan kalian, kau memutuskannya. Karena tak ada masalah serius atau pertengkaran hebat di antara kalian (kecuali keinginanmu itu—keinginan yang sungguh-sungguh tak kaupahami), dia menangis dan berontak menolak, bahkan sempat mengancam akan pergi dari rumah dan terjun dari jembatan (dll yang membahayakan dirinya), tapi kau berhasil meyakinkan dan mencegahnya (atau dia sadar bahwa itu adalah tindakan yang bodoh).
“Aku hanya ingin sendiri dulu. Di hatiku tak ada perempuan selain kamu, sungguh. Aku tak akan meninggalkanmu. Percayalah, kumohon. Ini tak akan berlangsung sampai kita wisuda, serius,” kau berkata jujur, sejujur-jujurnya.
“Kamu ingat-ingat ini, aku tak pernah berpikir bahwa putusnya hubungan berarti berhenti mencintai. Perpisahan, bagiku, bukanlah akhir segalanya, melainkan usaha menjaga cinta tetap utuh. Cinta tak ada hubungannya dengan raga, kukira.”
“Kita, toh, masih bisa berkirim-balas pesan seperti biasa,” kau memberi penekanan dan jeda yang cukup sebelum melanjutkan: “Dan berjumpa dan sesekali minum berdua di kantin kampus, jika kamu mau, aku tak memaksa.”
*
Mungkin benar kamu tidak pernah mencintaiku. Ketika kucoba menjauh, kukira kamu akan mencari, ternyata tidak. Ketika aku bersama lelaki lain, hanya untuk melepas penat hati, kamu bahkan sama sekali tak peduli. Kamu asyik dengan duniamu sendiri.
Salahku memang, masih saja percaya dan menaruh harap pada seseorang yang telah membuatku menjatuhkan air mata. Harusnya aku sadar, mana mungkin seseorang yang telah memutuskan hubungan masih ada rasa memiliki?
Aku tak ada arti bagimu. Tak ada aku di hatimu.
*
Hidup selalu menghadapkanmu dengan pilihan. Mungkin segalanya memang ada sebagai pilihan. Meninggalkan ini demi itu. Melepas sesuatu untuk sesuatu yang lain. Meyakini sesuatu dari sesuatu yang lain.
Begitulah kaurasakan sesuatu atau entah apa tengah menekan pikiranmu dan perasaanmu begitu kacau. Di satu sisi kau merasa jahat karena telah memutuskannya, meski sungguh kau tak ada niat meninggalkannya. Di lain sisi kau merasa bahwa waktumu terlalu banyak terbuang untuk hal-hal tak berapa penting, sedangkan ada buku-buku dan bahan bacaan lainnya yang harus kaubaca.
Kau merasa perlu belajar lebih keras untuk bisa menghasilkan tulisan cerita yang bagus, setidaknya ada peningkatan dalam setiap penulisan. Selama ini kaurasa cerita-cerita yang kautulis hampir tak ada perkembangan, sederhananya kalimat-kalimatnya masih amburadul dan belum enak dibaca. Plot-plot setiap ceritamu belum mampu menimbulkan tanya di benak pembaca. Metafor-metafor yang kaugunakan itu-itu saja. Bangunan logika dalam ceritamu kadang-kadang kurang nyambung. Penggambaran perkembangan karakter tokoh apalagi. Gaya berceritamu pun membosankan. Bahkan tak jarang kau menyadari permasalahan dan adegan dalam ceritamu alangkah klise.
Itu, kau yakin, karena pengalaman membacamu kurang dan kau tidak rutin menulis.
Kau tak bisa seperti itu terus. Kau harus menggunakan waktumu sebaik mungkin, banyak-banyak membaca dan berlatih terus menulis, tidak hanya saat ingin, dan meninggalkan (mengurangi tak cukup bagimu) aktivitas yang merenggut waktumu untuk melakukan itu.
*
Berdiskusi dengan diri sendiri memang sering membuatmu bingung. Ada hal-hal yang kaurasa tak terjangkau, atau luput. Kau berpikir perlu ada orang lain yang memberi komentar atau apalah terhadap tulisanmu.
Di kampus kau kesulitan menemukan orang-orang itu. Teman-temanmu hanya menulis materi perkuliahan, membaca dan menulis karya sastra hanya jika ada mata kuliah yang mengharuskan. Tidak salah. Mungkin saja mereka lebih berfokus pada dunia pendidikan karena jurusan kalian memang pendidikan dan sastra.
Maka kau bergabung dengan salah satu komunitas menulis di luar kampus yang ada di kotamu. Dan ternyata, di sana ada adik tingkat yang belum kaukenal meski sefakultas.
Sejak itu kau mulai berkomunikasi dengannya untuk memperbincangkan hal ihwal tulisan. Kau akui, meski lebih muda setahun, Alind mempunyai pengetahuan lebih luas ketimbang kau. Beberapa tulisannya pun telah tayang di satu dua media cukup terkenal dan terkumpul dalam buku antologi bersama para penulis di kotamu. Mungkin, itu karena Alind mendapat akses bacaan lebih mudah.
Dia tinggal di pusat kota (pusat kota, kau tahu, selain banyak toko buku, koran sangat mudah dijumpai di warung, salon, dsb.), dan mengaku sering kali berkunjung ke perpustakaan kota sejak awal remaja, sementara kau orang desa dan hanya berteman dengan buku-buku bekas yang itu-itu saja di perpustakaan sekolah, dari SMP sampai SMA tak jauh beda, dan tak ada koran di balaidesa desamu.
Dia telah mengenal Hemingway, Murakami, Yukio Mishima, Camus, Kafka, dan banyak lagi penulis luar yang belum pernah kaudengar. Kau pun jadi tergoda dengan hal-hal baru yang dibawanya, dan akhirnya sering mengajaknya duduk berdua di taman atau kantin kampus untuk membicarakan tulisan-tulisan kalian dan membandingkannya dengan karya orang lain yang lebih bagus, setidaknya menurut kalian.
*
Janji tinggal janji. Sebulan lagi sudah wisuda dan, mungkin, foto bareng hanya jadi khayalanku semata. Lalu, kita pun tak akan berjumpa dan, ah, aku semakin terasing dari duniamu, alangkah mengerikan.
*
Derita memang fana, tapi alangkah terasa.
Melihat potret-potret dia bersama lelaki kurus itu, kaurasakan diri bagai potongan daging sate yang dibakar tanpa pernah diangkat. Tak ada yang bisa kaulakukan dan kau sungguh kecewa.
Hubungan mereka sangat mengejutkan (baru juga dua bulan kalian putus dan dia telah mencintai lelaki lain), namun kau pun tak bisa menyalahkan siapa pun, bahkan yang paling mungkin disalahkan adalah dirimu sendiri.
Kira-kira satu minggu setelah mereka jadian, kau muak dengan semua yang berkaitan dengan dia. Kau pikir, dengan berhenti melihat kemesraan mereka, kau akan lebih baik (kau tidak begitu yakin sebenarnya). Maka kaubersihkan seluruh tentang dia dari telepon genggammu: potret, nomor telepon, akun media sosial, dll. (kau tak bisa menghapus yang ada di dalam hatimu).
*
Aku sungguh sedih melihat kita akhirnya begini; sendiri-sendiri. Jujur saja, aku tak pernah melupakannmu—tak ada niat sama sekali. Aku mencintaimu dulu, kini, dan bahkan nanti—entah sampai kapan. Tapi kamu tidak pernah (mau) tahu.
Aku sangat ingin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi, hubunganku dengan lelaki itu, tapi, ah, apa daya, tak ada kesempatan, kamu tidak pernah mendekat; menjauh, menjauh, dan semakin menjauh.
Tak ada tanda kulihat: kamu ingin tahu. Bertanya? O ya, tak ada guna!
*
Kau semakin yakin bahwa dia sudah tidak lagi peduli padamu. Pesan keduamu bahkan dibiarkan bertanda centang dua berwarna putih: tak dibuka (barangkali dibaca sambil lalu, itu pun jika sempat, kemudian dihapus). Kau tidak peduli, itu bohong.
Biodata Penulis
Khoirul Abidin lahir di Lamongan, 1998. Berbagai karyanya termuat di Cerano.id, Radar Bojonegoro. Bisa disapa melalui Instagram @irulbidin.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post