Setelah diusir dari Istana Pulau Mundam Sati, Putri/Puti Rimbun Jali menuju Kerajaan Sungai Nyalo, sesampai di bandar Kerajaan Sungai Nyalo. Dubalang Cigak, langsung kembali ke Pulau Mundam Sati, Putri Rimbun Jali berjalan sendirian dengan wajah sedih menuju istana Kerajaan Sungai Nyalo. Melihat kejadian itu Raja Sungai Nyalo Dipatuan Basa menemui anaknya, yang tidak diantar semestinya seorang istri raja. Kemudian Raja Sungai Nyalo bertanya kepada Putri Rimbun Jali, “wahai anakku Rimbun Jali, ada hal apa yang terjadi dengan dirimu, kenapa engkau berjalan tidak berpenginang?”
Puti Rimbun Jali menangis dan menjawab perkataan ayahandanya, “ayah, sungguh diriku telah disuruh kembali ke Kerajaan Sungai Nyalo oleh Tuanku Dipatuan Hitam, dengan membawa seluruh barang-barangku yang ada di sana.”
Mendengar perkataan itu Raja Dipatuan Basa hanya bisa terdiam, dan kemudian menyuruh Puti Rimbun Jali istirahat. Sementara itu Raja Dipatuan Basa mengutus Hulubalangnya yang bernama Dubalang Rinyok untuk menemui Dubalang Cigak, mencari tahu kenapa Puti Rimbun Jali diusir dari Istana Pulau Mundam Sati. Ketika Dubalang Rinyok sampai di Pulau Mundam Sati, menemui Dubalang Cigak dan menanyakan persoalan yang menimpa Puti Rimbun Jali, oleh Dubalang Cigak dijabarkan sesuai kabar yang didengar bahwa Puti Rimbun Jali telah berbuat yang tidak-tidak dengan Magek Naniang (seorang penasehat kerajaan Sungai Nyalo).
Dubalang Rinyok setelah mendengar pejelasan Dubalang Cigak, ia bersegera kembali ke Kerajaan Sungai Nyalo dan melaporkan kejadian yang telah menimpa Puti Rimbun Jali. Dubalang Rinyok menjelaskan kepada Dipatuan Basa, Dipatuan Basa naik pitam kemudian berkata ke Dubalang Rinyok, “hai dubalang! segera kau tangkap Magek Naniang dan penjarakan ia. Titah yang dilemparkan kepada Dubalang Rinyok, segera dilakukan, dan bertindak, menangkap Magek Naniang, kemudian dikurung di penjara Karuangkuang Basi.
Sedangkan Puti Rimbun Jali diusir dari istana Kerajaan Sungai Nyalo, karena telah mencoreng arang dikening Raja Dipatuan Basa. Dubalang Rinyok kembali dipanggil untuk membuang Puti Rimbun Jali ke tengah hutan rimba kayu sipaniang-paniang, dan meninggalkan puti di sana. Sesuai titah yang diberikan Raja Dipatuan, tidak boleh seorang pun yang boleh mengasihi Puti Rimbun Jali, dan apa bila bertemu hendaklah memalingkan muka dari hadapannya. Titah ini harus disampaikan kepada masyarakat Negeri Kualo Sungai Nyalo oleh Dubalang Rinyok.
***
Sementara itu di Pulau Mundam Sati, Raja Dipatuan Hitam hidup bahagia dengan Puti Rimbun Jani istrinya yang kedua. Semua perkerjaan selalu dilakukan berbersama, baik itu masalah perdagangan, kirim mengirim, terima menerima (ekspor dan impor) selalu ditemani oleh Puti Rimbun Jani.
Pada suatu hari, seperti kebiasaan Puti Rimbun Jani hendak memasak air dengan dayang-dayangnya, selalu mengambil air di mundam (tempat air) yang diberi oleh raja Sungai Pagu, setiap kebutuhan masak-memasak airnya dari mundam Raja Sungai Pagu. Maka suatu ketika berkata Dayang Rampiang dayang yang selalu menemani Puti Rimbun Jani memasak bertanya kepada Puti Rimbun Jani, “Ampun hamba Putri Rimbun Jani, selama hamba memasak bersamamu dan mempergunakan air, air yang kita jemput ke Kualo Bungo Pasang dengan mundam ini, selama itu pula air ini tidak habis-habisnya, padahal mundam ini sangat kecil?” Maka dijawab oleh Puti Rimbun Jani, “ah, masa iya Dayang Rampiang!” Dijawab kembali oleh Dayang Rampiang, “ iya tuan Puti, semenjak itu airnya tidak habis-habis”.
Kemudian Puti Rimbun Jani memerintahkan Dayang Rampiang untuk memeriksa mundam berisi air itu, Mundam dari raja Sungai Pagu, dan menuangkan air yang ada didalamnya, kemudian menelungkupkan mundam. Setelah mundam tertelungkup, mundam itu berbunyi seperti mau retak, mendengar itu Dayang Ramping cepat-cepat untuk mengembalikan mundam seperti keberadaannya seperti semula, dengan mocong menghadap ke atas dan diberi air kembali ditarok ditempat semula.
Keesokan harinya, di pagi hari Dayang Rampiang kembali memasak air, seperti biasa mengambil air di dalam mundam, ternyata mundam yang biasa diambil airnya hilang, dan berteriak kepada Dubalang Cigak, “oi Cigak! kemana perginya mundam di dapur, engkau bawa?” Sahutan Dayang Ramping itu dijawab Dulang Cigak yang sedang berada di samping Istana hendak pergi ke tepi laut.
“Alah ha, waden pula yang kau tuduah malarikan mundam air itu!” Dayang Rampiang menjawab lagi, “Kalau bukan wang siapa pula yang membawanya.” Dubalang Cigak menuju dapur dengan berkata dalam hati, “Si Rampiang ini tidak tahu mencari, hanya berkerja dengan satu hadapan saja, ngak bisa berakal dengan yang lain”.
Dulang Cigak sampai di dapur, Dayang Rampiang berkata, “mana mundam itu, dek ang cigak!” dijawab kembali oleh Dubalang Cigak. “eh, kemana hilangnya, waden tidak ada membawa”.
Sedang sibuk mencari-cari mundam kemudian datang Puti Rimbun Jani, “eh eh, Rampiang, Cigak, apa yang kalian kisai-kisai (bongkar-bongkar)”.
Dijawab oleh Dayang Rampiang, “kami mencari mundam yang tuan puti punya dari Raja Sungai Pagu, mundam itu hilang tuan.” Tuan puti berkata, “hilang Rampiang! Bukannya kemarin hamba memerintakanmu untuk menarok di tempat semula. ” Dayang Rampiang menjawab, “iya betul tuan puti caho denai, hamba tarok ditempatnya semula, tapi tadi pagi hamba hendak memesak air, dilihat mundam tidak ada”.
Tuan Puti Rimbun Jani segera melaporkan kepada Raja Dipatuan Hitam, yang sedang duduk di langkan beranda istana.
“Tuangku, oh tuangku junjungan hamba,” kata Puti Rimbun Jani. Dijawab oleh Raja Dipatuan Hitam, “ada apa adinda si manih galak (panggilan Puti Rimbun Jani oleh baginda Raja Dipatuan Hitam)”.
Puti Rimbun Jali berkata kembali, “wahai tuangku junjunganku, mundam yang diberi (buah tangan) oleh Raja Sungai Pagu itu hilang.”
Dipatuan menjawab, “aduh… dengan memegang kepala, apa air mudam itu dihabiskan? dan di telungkupkan?”
Dijawab kembali oleh Puti Rimbun Jani, “iya tuanku, kemarin hamba memerintahkan Dayang Rampiang untuk melihat air yang ada di dalamnya, lalu menyuruhnya untuk menuangkan air yang ada di dalam mundam serta disuruh menelungkupkan, karena air yang ada dimundam itu sudah lama tuankutuanku.”
Raja Dipatuan Hitam membalas kembali perkatan Puti Rimbun Jali, “dulu ketika Raja Sungai Pagu datang ke pulau ini dan memberi buah tangan mudam itu, kemudian mengamanahkan bahwa mundam adalah mundam keramat, tidak boleh dikeringkan, dan ditelungkupkan, karena selama mundam itu tidak di telungkupkan selama itu pula air tidak akan habis-habinya di dalam. Dan apabila ditelungkupkan mundam itu akan retak dan hilang. Begitu amanah yang disampai adindaku Simanih Galak”.
Maka dari itu, dengan kehilangan Mundam itu Raja Dipatuan Hitam dan seluruh isi dalam istana memutuskan memberi nama pulau yang dihuninya itu, dengan nama “Pulau Si Mundam Sati” untuk mengenang dan menghargai pemberian raja Sungai Pagu. bernamalah pulau itu dengan nama Pulau Si Mundam Sati. Maka dari itulah pangkalnya pulau itu disebut-sebut dengan nama Pulau Si Mundam Sati, sebelum bernama Pulau Cingkuek.
Bersambung…
- Bagian #1 Datuk Perpatih Nan Sabatang: Menyamar Mengkritisi Undang-undang di Pariangan, dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai | Zera Permana - 11 Februari 2024
- Kembalinya Dt. Perpatih Nan Sebatang Menemui Dt. Katumanggungan dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai: Zera Permana - 21 Januari 2024
- Seri Punago Rimbun: Datuk Parapatiah Nan Sabatang Tokoh Besar Minangkabau dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai | Zera Permana - 14 Januari 2024
Discussion about this post