
Minangkabau dikenal dengan negeri Ahli “kieh” (Kias) dan simbol-simbol yang sarat akan makna. Sebagai negeri atau sebuah rumpun budaya yang menganut Sistim Kekerabatan Matrilinial (yang bergaris keturunan kepada ibu). Tidak menapikan pula garis keturunan Patrilinial yang disebut di Minangkabau “urang badunsanak bapak” atau disebut juga Sanasab. Sebagai rumpun budaya yang disebut dengan Adat Alam Minangkabau yang telah menyatukan seluruh negeri-negeri di Minangkabau baik di daerah Inti Minangkabau “Luhak Nan Tigo” maupun daerah sebaran Adat Alam Minangkabau disebut rantau Hilir dan rantau Mudik sampai ke rantau semenanjung Malaysia (Negeri Sembilan). Di satukan dengan sebuah Sistim yang disebut Adat Alam Minangkabau. Yang tersusun dan tertata menjadi Jati Diri orang Minangkabau itu sendiri. Disebut dengan orang baradat, orang baradat itu bararti sudah mememakai Adat Alam Minangkabau. Yang telah merantang dari urat tunggang terhunjam ke bawah pitalo bumi sampai kepada batang yang disebut Tareh Batang dan berdaun, berdahan, beranting, dan berpucuk bulat cewang ke langit. Ke atas tahambun janti, ke bawah takasiak bulan.
Sebuah simbol yang amat dimuliakan di Minangkabau, simbol yang tidak dapat tidak ada. Apabila orang Minangkabau itu melakukan sebuah musyawarah, baik perihal adat maupun perihal agama, pencetusan undang-undang, limbago, ataupun yang mau memakai Adat Alam Minangkabau sendiri. Semuanya harus ada yang namanya “ Carano”. Sebuah alat pembatas, pelingkup, pemati, pemutusan, “buek-buek” (susunan dan aturan) di Minangkabau disebut Adat Diisi Limbago Dituang.
Carano di Minangkabau merupakan Simbol sebagai Pancang Adat, Kato dari syarak. di simbolkan oleh carano, yang penuh dengan ornamen-ornamen pelengkap carano, ada yang memakai ornamen kain biludu gandum (Kain Dalamak Makah), ada juga yang dipakai kain kuriak ataupun batik, adat juga yang memakai kain suto, ada juga yang memakai cuma tirai dan anting-anting disebut dengan carano batilanjang. Dan tidak dipungkiri pula dengan isi dalam carano itu sendiri yang amat sakralnya oleh manyarakat Minangkabau pewaris tradisi, yang disebut Sirih, Pinang, Gambir, sadah, kemudian tembakau. Hal demikian wajib ada di dalam carano, begitu juga dengan carano yang terbuat dari baja ataupun logam kuning. Dibuat seperti cembung yang memiliki tangkai dan bertapak bergaris lingkar disekelilingnya. Simbol-simbol, makna yang terdapat pada carano, membutukan peran dan bimbingan dari orang-orang (Angku-angku) pewaris tradisi, untuk mencapai makna dan tujuan pemahaman akan simbol adat carano, yang penuh dengan ilmu-ilmu zahir maupun batin sebagai simbol marwah pemimpin, yang disebut dengan Syarak Khalifah dipermukan bumi, rahmat bagi seluruh alam.

Masyarakat tradisi Minangkabau mengatakan carano itu bungka dalam adat. merupakan sebuah alat pembatas sebuah perkara, ataupun membatas hal-hal yang dibicarakan, pokok permasalahan yang tidak boleh keluar dari jalur-jalur pembasan itu. Maka setiap acara-acara yang sakral di Minangkabau wajib menggunakan carano sebagai pancang lantak. Tatagak (terdiri) carano menandakan suatu perkara disitu sudah ada hukum, undang-undang pembatas yang telah ditentukan. Makanya carano itu berdiri di atas adat dan limbago di Minangkabau. Sedang carano di Minangkabau terdiri dari empat buah carano:Pertama Carano Bodi Caniago, Kedua Carano Koto Piliang, Ketiga Carano Batang Bangkaweh, yang Kelima Carano Pakauman.

Sedang di Rantau Kubung XIII, Nagari Bayang Nan Tujuah khusus Koto Barapak Bayang, carano dilambangkan sebagai Pancang adat. Berjumlah tetap empat, dibungkus dengan kain Stola empat persegi, dan batik di dalamnya berbuhul sintak di atasnya. Bergitu juga dengan Nagari Sungai Pinang Koto XI Tarusan. Carano yang disebut “Bungka Adat” terdiri dari Carano Bapaluik dan Carano Batirai (Carano Batilanjang), jumlah dipergunakan tetap empat merujuk kepada carano awal berjumlah empat. Tetapi seiring berjalan waktu, pada zaman pergolakan “ijok” (PRRI) mendapatkan carano sayangatlah susah, maka diputuskan Cuma memakai hanya dua, sebagai simbol adat dan syarak. Dan carano batilanjang hanya dipergunakan untuk menanti tamu (acara pasambahan) dan beranak pisang disebut oleh Mayarakat Sungai Pinang babako.
Sedangkan carano bapaluik itu dipergunakan terkhusus dengan acara yang melibatkan Ninik Mamak dalam negeri harus berjalan dan berlega Carano Bapaluik. Carano yang berlega itu bapaluik kain cindai dibungkus dengan kain batik. Berikat segi empat, dibubul dengan buhul tampuk manggis, dibuhul sentak di atasnya ditambah dengan kain perca empat warna, dililit empat membuku, lilik kembali tiga membuku.

Disinilah pituah adatnya timbul yang amat disakralkan, dijunjung tinggi oleh masyarakat tradisi “Masaklah Padi Rang Singkarak, Masaknyo Tangkai-Batangkai, Satangkai Indak Bananhampo (mudo), Kabek Sabalik Sibuhua Sentak, Jarang Mungkaluek Kamaungkai, Tibo Nan Punyo Rarak Sajo. Begitu sebuah “kabek adat” ikat yang disebutkan dari papatah itu yakni Ikat Adat Alam Minangkabau itu sendiri. Kabek Adat inilah pegangan selurah pembesar Minangkabau; Penghulu-penghulu yang seandiko, malin-malin yang sakitab, cadiak pandai yang sepiawai, ampanglima (dubalang) ampalimo yang sedarab. Dan Raja-raja yang sadaulat, Puti-puti yang Sunduik-basunduik, semua pembesar kerajaan, pucuk-pucuk bulat tiap-tiap negeri di Minangkabau. Memakai Adat dan limbago disebut “kabek adat” (ikatan adat), yang disimbolkan dengan carano.
Discussion about this post