Kau mengayuh sepeda dengan agak tergesa pagi itu. Selepas mandi dan berdandan, kau langsung bergegas menuju taman kota. Sebab di situ kau sudah berjanji dengan seorang lelaki yang pada masa lalu pernah memiliki hubungan dekat denganmu.
“Aku lelaki pembangkang, masih ingat?”
Itu pesan yang dua hari lalu masuk ke akun Facebook-mu. Seketika ingatanmu langsung berpulang pada sosok lelaki itu. Lelaki keras kepala yang mampu meluluhkan hatimu. Tapi hubunganmu dengannya lebih sering diwarnai perdebatan, pertemuan singkat yang entah bermuara ke mana.
“Siapa?”
Kau membalas pesan itu demi memastikan. Lalu disaat bersamaan melihat foto profil akun tersebut.
“Berapa banyak lelaki pembangkang yang spesial dalam hidupmu?”
Kau menggerutu. Selalu menyebalkan, batinmu. Tapi kau tak pernah mampu berbohong. Bahwa lelaki itu memang sempat menyemai kebahagiaan dalam dadamu. Bahkan, ketika sekarang rasa itu sudah dicap terlarang, kau masih diam-diam memeram sendirian. Selalu ada rasa kagum dan sayang, meski tak pernah terucap. Pesan itulah yang pada akhirnya membuat kau tergesa-gesa pagi itu.
***
Kau datang lebih cepat dari perkiraan, taman itu memang sudah ramai, tapi tak ada lelaki pembangkang dari ribuan orang yang terlihat. Kau menemui kekosongan di sudut taman yang senantiasa dipayungi deretan pohon-pohon palem. Di situlah dulu kau kerap berjanji dengan lelaki itu. Sembari menyantap gorengan atau es dingin, yang berpadu dengan asap knalpot dari kendaraan yang hilir mudik.
“Setiap pertemuan selalu kau yang dulu datang.”
Pada suatu kali lelaki itu pernah bilang begitu, karena memang itulah yang selalu terjadi. Kondisinya tak pernah terbalik, kecuali jika kau datang dari tempat yang sama. Uniknya, lelaki itu tak pernah merasa bersalah. Tawanya malah makin kencang jika kau menyampaikan keberatan. “Aku berjanji untuk datang lebih awal pada pertemuan mendatang,” katanya. Namun ia selalu ingkar.
Hari itu pun, kau kembali mendapati situasi yang sama. Acara Car Free Day memasuki puncak keramaian di seberang taman. Orang-orang tumpah ruah, menuruni dan menanjaki jembatan layang yang membelah jalan yang diberi nama Jenderal Sudirman. Ada yang berolahraga atau sekadar selfie dan tumpang sarapan.
Kau merasakan kekesalan, hal yang sama nyaris satu dekade lalu sering kau rasakan. Lelaki itu selalu misteri. Meski satu kampus, kau jarang sekali bertemu dengannya. Mencarinya pun amat susah. Kadang di sekretariat MAPALA, lain waktu di kantor BEM, sering pula di sanggar seni. Ia kontroversial, itulah sebab kenapa wajah dan tampilannya begitu dikenal. Rambut gondrong, celana sobek, dan baju kaus yang sudah sekian hari tak tersentuh air.
“Apa kau tak risi berdekatan dengan lelaki jarang mandi sepertiku?”
“Meski aku menyuruhmu seribu kali pun, kau tak akan mau berubah.”
Lelaki itu akan tertawa. “Kenapa kau menilaiku begitu?”
“Karena kau pembangkang. Seorang pembangkang tentu tidak sudi diatur.”
“Hanya kamu orang yang memanggilku pembangkang. Orang lain lebih suka menyebutku pemberontak.”
Kau diam.
“Apa kau tidak merasa terganggu dekat dengan seorang pembangkang?” lelaki itu mengubah pertanyaannya.
Tak ada sahutan. Andai kau sedikit berani mengatakannya, tentu pertanyaan itu tidak akan mengambang, dan rasa yang berkecamuk dalam dadamu mungkin akan sekaligus terjawab. Bahwa sejak dulu, sifat pembangkangan dari lelaki itulah yang paling kau sukai. Pembangkangan yang selalu kau lihat saat lelaki itu berorasi menghujat pemerintah, meneriakkan makian dan sumpah serapah kepada aparat. Sifat yang begitu jarang dimiliki oleh lelaki masa kini, katamu.
“Sebaiknya kau jangan terlalu dekat dengan pembangkang sepertiku, terlalu riskan, kau bisa mendapat masalah,” desis lelaki itu.
“Tak masalah,” ujarmu.
“Kalau begitu kamu akan menyesal,” lanjutnya.
“Memang sampai kapan kamu akan jadi pembangkang?” katamu.
Kali ini lelaki itu yang membisu. Ia menggaruk rambutnya yang panjang. Barangkali pertanyaan itu tak memerlukan jawaban olehnya, pun sebenarnya bagimu. Sebab kau menyukai pembangkangan itu, kau terpesona karena selalu ditujukan kepada penguasa yang zalim.
“Sampai kita semua bisa hidup layak. Pemerintah yang berkuasa sekarang hanyalah figur koruptor. Membagi uang rakyat dengan bersekongkol, berpura-pura baik di depan kita, lalu mengeruk keuntungan sesudahnya.”
Lelaki itu selalu emosi jika sudah menyangkut begitu. Namun kau semakin mengaguminya, sebab saat ia berbicara seperti itu, kau melihat cahaya di matanya penuh dengan kejujuran.
“Aku harus pergi,” ujarnya setelah itu.
Begitulah, lelaki itu seperti jelangkung. Kau ditinggal sendirian di situ, menyeruput minuman dengan rasa kesal. Namun kau tetap menunggunya dan mengagendakan pertemuan selanjutnya, dan lelaki itu mengulang-ulang kembali kejadian.
***
“Aku telat lagi.”
Suara itu membuyarkan lamunanmu. Tanpa menoleh, kau sudah tahu siapa yang mengucapkan. Kau merasakan gairah, tapi tak mau mengaku. Daun palem yang diterpa angin berguguran. Sebagian tepat jatuh di atas meja, beberapa jatuh di aspal, terinjak dan tersapu kaki-kaki. Kau menatap lelaki itu setelah duduk di seberang meja.
“Sembilan tahun, dua bulan, lebih tiga belas hari tanpa pertemuan, kau berubah sekali. Rambutmutidak lagi gondrong, tapi sayang kau masih ingkar janji.”
Lelaki itu hanya tersenyum tipis, biasanya ia akan tertawa terbahak-bahak. Perubahan itu serasa asing bagimu. Bertahun bersama, puluhan kali berjumpa di taman ini, baru kali ini tawanya hilang saat terlambat datang.
“Agaknya waktu mampu juga mengubah karaktermu, pun tampilanmu,” kau melanjutkan.
“Dari dulu aku selalu menuntut perubahan, aku juga tak bisa apa saat diriku menuntut berubah,” balasnya.
“Jadi kau bukan lagi seorang pembangkang sekarang?” tanyamu.
Lelaki itu kembali tersenyum, ada yang berbeda bagimu. Kau memalingkan muka, takut itu akan menjeratmu. Kau sadar, pertemuan ini bukan lagi sembilan tahun lampau saat kau masih gadis yang bebas, yang justru sembunyi dan malu-malu mengharapkan senyumnya hadir dibalik rambutnya yang gondrong.
“Hanya kamu yang menyebutku pembangkang, hanya kamu pula yang tahu jawaban itu,” balasnya.
“Kalau begitu, apakah orang-orang masih memanggilmu pemberontak?”
Lelaki itu bercerita, sudah lama sekali ia tak lagi memberontak, mendemo kantor pemerintah, melawan aparat. Semenjak selesai kuliah dan meninggalkan kota ini, lelaki itu praktis hidup seperti manusia kebanyakan.
Kau terenyak, ada sesuatu yang kosong dalam dadamu. Ada yang tercerabut, seolah yang datang sekarang bukanlah sesosok lelaki pembangkang yang dulu tidak mau diatur. Lelaki yang bercita-cita ingin menghukum pemimpin yang zalim, agar hidup lebih baik. Lelaki yang mencari mati, menantang maut yang senantiasa menghadang.
“Berarti cita-citamu sudah mati?”
Lelaki itu menghela napas, dan kau melihat cahaya kosong di mata lelaki itu. Hilang sudah kemarahan dan emosi berapi-api yang dulu sangat kau kagumi. Kini, ia justru tak berminat lagi berbicara itu.
Lelaki itu lalu mengeluarkan telepon genggamnya, melirik beberapa jenak. Dulu, kau marah dan mengambek ketika lelaki itu sering gonta-ganti kartu seluler. Malas menyimpan dan menghapus nomor orang yang itu-itu saja, katamu. Padahal kau tahu, ia melakukannya karena keterpaksaan. Nomor teleponnya selalu jadi sasaran ancaman, entah dari pihak mana. Lebih-lebih saat rektor bengis itu memimpin di kampus kalian, seorang otoriter yang menjadi tangan kanan pemerintah untuk mengendalikan aktivitas kampus. Itulah masa aktivis kampus acap kali dicokol, dimata-matai pergerakannya.
“Sudahkah kau menghapus nomor teleponku dari teleponmu?” ucap lelaki itu. Jelas sekali ia ingin mengalihkan pembicaraan.
Refleks, kau mengambil teleponmu. Nomor lelaki itu masih tersimpan rapi di kontakmu. Tak pernah kau hapus, meski kau tahu nomor itu tidak lagi aktif. Sejak kepergian lelaki itu dari kota ini secara tiba-tiba, kau hanya menelepon sekali ke nomor itu. Saat lelaki itu mengangkat hanya terdengar suara ribut, dan nomor itu tak lagi bisa dihubungi sesudahnya. Kehidupanmu sontak berubah, setelah ayahmu menyodorkan seorang pria kaya untuk meminangmu.
Entah karena dorongan apa, matamu lalu mendanau. Kau terkenang betapa saat itu kondisimu terjepit dan tak punya pilihan. Sementara lelaki itu, yang begitu kau harap mampir dalam hidupmu tak kunjung bisa ditemukan. Kau terisak di bangku itu, di tengah lautan orang berlalu-lalang.
“Ini pertama kali aku menangis.”
Lelaki itu cuma terpaku. Diam. Barangkali bingung melihatmu menangis.
“Aku tidak pernah menangis saat kamu pergi.”
Mungkin tepatnya kau memang tidak mampu menangis saat itu, lalu menerima kepasrahan ketika proses lamaran berjalan.
“Justru saat kamu kembali, aku malah harus menangis.”
Isak tangismu makin pecah, kau tidak lagi memedulikan bahwa saat itu sedang berada di keramaian. Banyak hal yang ingin kamu gapai bersama lelaki itu, tapi seiring lamaran itu, hari-harimu berbeda.
“Entahlah, aku tak harus bahagia atau sedih.”
Kau membayangkan, andai lelaki itu dulu kembali saat yang tepat, tentu kau akan bahagia. Namun, lelaki itu datang amat terlambat, hingga hanya kebingungan yang kau rasai.
“Aku tidak pernah mau kamu pergi.”
Jika bisa, saat itu kau ingin sekali menyusulnya ke mana pun.
“Aku juga tak ingin kamu pulang.”
Semuanya sudah menjadi lain, pikirmu. Waktu tentu tak akan mampu mengubah keadaan. Sementara lelaki itu masih dingin, serupa batu.
“Aku hanya ingin kamu ada.”
Teleponmu berbunyi, tertera nama suamimu di layar. Kau buru-buru mengelap mukamu dari serbuan air mata yang telah jatuh merembes ke pipi. (*)
Tanjung, 18 Oktober 2020
Tentang Penulis
Romi Afriadi dilahirkan di Desa Tanjung, Kampar, Riau. Alumni Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Beberapa cerpen dan tulisannya pernah di muat di media Online dan cetak. Beberapa lainnya juga termaktub dalam buku antologi, diantaranya: Burung Gagak dan Isyarat Dari Sepotong Surat, (Poiesis Publisher, 2020), Balada Orang Pesisiran (Unsa Press, 2021).
Saat ini, penulis tinggal di kampung kelahirannya sambil mengajar di MTs Rahmatul Hidayah, dan menghabiskan sebagian waktu dengan mengajari anak-anak bermain sepakbola di SSB Putra Tanjung.
Penulis bisa dihubungi lewat email: [email protected], akun Facebook Romie Afriadhy.
Discussion about this post