
Lukisan-lukisan yang dipajang Lili juga diperjualbelikan, bukan semata hasil karya yang mengharapkan apresiasi dan kekaguman lewat kata-kata. Tapi lebih dari itu adalah “soldout”. Kami bercerita banyak, Lili begitu antusias menanyai bagaimana iklim berkesenian di Padang saat ini, agenda kawan-kawan lama dan segala macam yang barangkali tidak ada kaitannya dengan dunia seni-senian.

Setelahnya, aku menghadiri main program yang sudah diagendakan oleh panitia UWRF 2024. Mulai dari saya sebagai panelis, sampai kawan-kawan undangan lainnya. Aku hanya menghadiri tema-tema yang menurutku berkaitan dengan apa-apa yang jadi konsen kami saat ini: sejarah dan kebudayaan. Menarik memang, tapi lebih menarik lagi bagaimana konsep acara UWRF begitu jalan dengan khidmat dan meriah. Paling tidak, menurut saya sebagai Emerging Writers. Orang-orang yang datang seolah pilin berpilin, saling kelindan dalam keberagaman. Semuanya tersaji dalam satu meja–tamu-tamu bersedia menikmatinya dengan suka cita. Waw.
Ada banyak hal yang dapat kurangkum selama di sana, selain sosial lingkungan dan keberagaman. Hal yang paling kusorot adalah betapa apresiasi dari peserta kepada agenda itu cukup baik. Meski mereka harus merogoh isi saku. Tapi agaknya cukup setimpal dengan apa yang mereka dapatkan selama acara berlangsung; penampilan, diskusi, bazar buku, kuliner dan segala hal yang dihadirkan sedemikian rupa untuk undangan. Semacam tiket masuk begitu, dan panitia harus melayani tamu sebaik mungkin. Pada pahatan, patung-patung, motif dan ornamen seolah menyatu dengan kehidupan. Seolah menyapa dan jadi penanda ataupun simbol yang hanya dapat dipahami pemiliknya.
Malam selanjutnya.
Malam yang sunyi, pukul 22:00 WITA. Aku merasa begitu sepi sekali, kukira hanya di tempat penginapan. Rupanya memanglah jalan ubud sudah lengang, tidak ada lagi kendaraan sewiliran, hanya anjing gonggong saat saya dan seorang teman berusaha mencari kedai. Aneh, aku kira malam di Ubud akan berisik dan ramai sampai pagi. Kedai-kedai tutup, lewat aplikasi onlen, kami mencoba pesan makanan. Tapi nihil.

Malam setelahnya kami coba pesan makanan agak cepat, jam 20:00 Wita. Namun pengantaran memakan waktu 2 jam. Aku tidak dapat berkata-kata betapa lambatnya di sini. Namun waktu begitu cepat berlalu. Nyaris banyak hal yang kuduga selama ini tidak terjadi selama di sana. Terkaan-terkaan yang barangkali kelewatan, atau mungkin ketinggalan. Selama agenda Ubud Writers and Readers Festival 2024, aku mendapatkan banyak hal-hal baru yang selama ini hanya sanggup diterka saja. Dugaan-dugaan, atau mungkin sudah menjurus tuduhan. Aku melihat bias dalam kenyataan. Nampak bertabrakan, namun tidak pecah. Terlihat murung, tapi kemeriahan terpampang. Tidak ada gamang di sini, semua orang telah meraba dan merasakan sesuatu dalam genggamannya. Barangkali, aku saja yang masih memegang, tapi tak sanggup menggenggam. Mantap!
Malam-malam lewat, pagi-pagi cerah, siang yang nyalang dan segala aroma dari berbagai penjuru. Petang di Ubud terkenang riuh, magrib yang hening, dan sesajian dilindas kesibukan. Bagaimana kebudayaan dan tradisi masyarakat lokal dari leluhurnya masih dilaksanakan. Walau terus dikepung zaman yang kelewatan. Aku sekeliling, Galery dan Museum timpal-menimpal. Patung-patung dan perayaan mingguan saling pagut-berpagut. Aku dikepung ingatan pulang, atau ikut merayakan.
- Cerpen: Matikau Elian – Ingik - 25 Oktober 2025
- MUSIK: Andip, musisi Indie dari Padang Luncurkan Lagu Terbaru berjudul ‘BERTARUH’ untuk Orang-orang yang Dibuang oleh Pasangannya. - 24 Oktober 2025
- Puisi: Gelanggang – Nico Farentinno - 18 Oktober 2025






Discussion about this post