
“Aku selalu menolak untuk meminta foto dengan para penulis terkenal,” begitu keangkuhanku sewaktu di Ubud yang aku sampaikan kepada rekan emerging writer lain, “karena aku yakin suatu hari orang-orang yang akan minta foto bersamaku.”
Jelas itu hanya kelakar, di antara sejuta kelakar lain ihwal kesusastraan yang menjadi salah satu bagian paling menarik yang aku alami selama di Ubud. Seperti di Yogyakarta, misalnya, aku sudah bertemu dengan Joko Pinurbo, Trianto Triwikromo, Dadang Ali Murtono, Deddy Arsya, Faisal Oddang, Gunawan Tri Atmodjo, dan masih banyak yang lainnya. Tapi aku tidak pernah meminta foto bersama mereka.
Begitu juga di Ubud, ada begitu banyak kesempatan bagiku untuk berfoto bersama penulis terkenal. Sebut saja Goenawan Mohamad, Seno Gumira Ajidarma, Dee, Oka Rusmini, Agustinus Wibowo, Andina Dwifatma, Soesilo Toer, Bora Chung, Anton Kurnia, Fatris MF, dan masih banyak lagi. Ya, lagi-lagi itu: aku cuma berfoto bersama Ratih Kumala karena alasan yang aku sendiri tidak mengerti.
Di tulisan ini, aku hanya akan membagikan pandanganku terhadap sembilan penulis lain yang terpilih untuk ikut Ubud Writers & Readers Festival 2024. Tentu, ini adalah sebuah refleksi subjektif yang akan menjadi batu loncatan bagiku dalam menekuni bidang kepenulisan. Sebab, bagaimana pun juga, dalam pandanganku mereka benar-benar sosok terpilih yang beruntungnya aku bisa bersama dengan mereka.
Arif P. Putra
Dia adalah penulis pertama yang aku temui di Ubud. Kawan sekamar yang kocak, meskipun fotonya membuatku menebak kalau dia tipikal orang sok jaga wibawa yang sangat membosankan. Tentu saja dia dan aku berasal dari provinsi paling religius di Indonesia, Sumatra Barat dan Aceh, dan hal itu malah menjadi lelucon paling murni yang membuat kami yang baru pertama kali ke Bali merasa sulit untuk beradaptasi dengan situasi yang penuh dengan objek fantastis untuk mencuci mata.
Seperti namanya, Arif menekuni bidang kepenulisan dengan terfokus pada kearifan lokal. Selain menulis, dia juga telah menyutradarai beberapa film pendek yang mengangkat tema serupa. Bagian paling menarik adalah dia tertarik untuk membahas keterkaitan Kerajaan Aceh Darusalam dan kerajaan-kerajaan di Minangkabau, yang sialnya hanya sempat aku baca sekilas lewat novel Hulubalang Raja karya Nur Sutan Iskandar. Dari sudut pandangnya aku paham: ternyata nasi Padang di Bali itu tidak murni nasi Padang; meskipun dia tidak punya obsesi untuk melakukan protes atau memberedel warung nasi Padang yang kami singgahi. Di sisi lain, dia adalah Kepala Suku kami.
Arif Kurniawan
Di antara kami bersepuluh, dia adalah yang paling muda. Pemuda kelahiran 2001 di Bengkulu ini sering kami panggil adik, tapi wawasan sastranya ihwal kesusastraan dunia malah membuatku menganggapnya sebagai abang. Kami menyebutnya sebagai murid spritual GM, karena selain bacaannya yang kebarat-baratan, salah satu tujuannya datang ke Ubud adalah untuk bertemu dan berfoto dengan sastrawan besar itu. Arif adalah kawanku yang paling pas saat mengobrol tentang film: dia menyukai Andrei Tarkovsky dan Stanley Kubrick, sehingga kami bisa saling menimpali saat bercerita tentang film Stalker, Solaris, Andrei Rublev, A Clockwork Orange, Barry Lyndon, dan 2001: A Space Odyssey.
Persis sepertiku, Arif adalah satu-satunya temanku yang belum pernah menerbitkan buku tunggal. Dia bilang mengagumi The Master & Margarita terjemahan Lutfi Mardiansyah yang kebetulan aku editori; dan atas dasar itu, dia memberiku draf kumpulan cerita pertamanya untuk aku bongkar dan analisis. Tentu saja cerpen-cerpen yang dia tulis membuatku berkali-kali mengutuk karena, sialan emang, betapa luas wawasan bacaannya untuk dituangkan dalam tulisan-tulisannya.
Kurnia Gusti Sawiji
Kami memanggilnya King, atau lebih tepatnya King Wiji. Seperti Wiji Thukul, dia kerap menghilang untuk menemukan petualangannya sendiri; tapi di sisi lain, di antara semua emerging writers lain, profesinya yang paling dekat dengan profesiku. Ya, seperti aku, dia juga seorang guru… Lebih tepatnya guru fisika yang menyukai sastra sebagaimana Alan Lightman. Dia tinggal 13 tahun di Malaysia, sebelum pada akhirnya kembali ke Indonesia. Di antara kami, dia yang paling religius. Jangankan minum bir atau wine, dia menolak saat kami ajak pergi ke galeri Sika untuk melihat lukisan seorang teman karena lebih memilih untuk shalat Jumat. Sialnya, di Ubud dia kesulitan menemukan masjid dan pada akhirnya memutuskan untuk shalat zuhur di kamar.
Dalam sebuah pengakuannya yang mengejutkan, King Wiji bilang dia dan beberapa kawannya di Malaysia adalah orang paling bertanggung jawab atas mencuatnya hoax paling menggelikan tentang sosok dokter Amerika anti-vaksin bernama Bernard Mahfouz. Pada mulanya mereka hanya iseng-iseng membuat esai komedi, tapi pembaca Indonesia malah menganggapnya serius sehingga kehadiran sang dokter jadi viral! Dilihat dari kiblatnya pada sastra, dia sangat menyukai Isaac Asimov dan Dea Anugrah. Di sisi lain, penulis asal Tanggerang ini adalah Juru Bicara kami.
Ade Mulyono
Kalem, tidak banyak bicara kecuali penting, dan tentu saja masa bodoh dengan keadaan di sekitar. Ya, dia adalah Ade Mulyono! Begitulah kesanku kepadanya, tapi ketika sudah bicara aku dibuat takjub. Mulai dari proses kreatif sampai proses kehidupan, dia telah ceritakan kepadaku. Di samping kekalemannya, penulis asal Tegal yang mengagumi Pram ini—bayangkan: sampai-sampai anak gadisnya dikasih nama Annelies Mellema—adalah orang yang asyik, terlebih lagi saat mengobrol tentang penulisan ulang sejarah untuk diramu menjadi karya fiksi.
Selain fokus pada kepenulisan fiksi, Ade juga fokus pada penulisan naskah untuk acara-acara TV. Tidak seperti kami, pikirannya terbagi antara Ubud dan kerja yang selalu menuntutnya untuk bergadang nyaris tiap malam. Tapi, seperti kata si Pujangga Baru ini (nama pena yang terdengar kuno, bukan?) beginilah hidup. Setelah segala suka cita di Festival Ubud usai, kita semua akan kembali pada kesunyian masing-masing.
Goebahan R
Dia lahir di Aceh, tumbuh di Medan, dan sekarang berdomisili di Kepulauan Riau. Di antara semua emerging writers perempuan lain, aku pertama kali bertemu langsung dengan Rumi—begitulah secuil nama aslinya—karena pada hari pertama di Ubud, kami berdua harus mengisi acara di tempat yang sama. Dari lima penulis perempuan lain, barangkali dia yang paling dekat dengan kami, para penulis lelaki karena beberapa kali kami selalu menemukannya terpisah dari teman-temannya.
Di suatu waktu senggang, kami sempat bercerita tentang konflik Aceh pada era Darurat Militer yang diterapkan oleh Presiden Megawati. Dia berasal dari keluarga Jawa yang menjadi pekerja di perkebunan sawit Aceh Timur, dan tentu saja kedua alasan itu saja sudah menjadi syarat sah bagi anggota GAM untuk memberangus keberadaan mereka. Konon, hal itulah yang membuat keluarganya minggat dari tanah Aceh. Aku belum membaca, tapi sepertinya pengalaman itu yang dia tuliskan di novela pertamanya yang berjudul Rumah yang Sama, Pulang yang Beda, disamping novel panjang perdananya yang di-launching di UWRF: Percakapan Mereka yang Belum Usai.
Cicilia Oday
Terus terang: dari sembilan nama yang muncul ketika penulis yang lolos UWRF diumumkan, aku hanya mengenal nama Cicilia Oday! Sewaktu masih SMA, aku sudah membaca karya-karyanya di majalah Horison. Saat itu dia masih memakai nama tengah “Anggareni” yang sekarang menurutnya agak lebay. Melihat namanya muncul, aku sempat kepikiran: penulis yang sudah melanglang buana di dunia kesusastraan Indonesia saat aku masih suka menggoda gadis-gadis cantik sekolah kok baru lolos UWRF, ya? Ternyata UWRF kali ini adalah pertaruhan terakhirnya, karena di antara kami dia yang paling tua (kelahiran 1989).
Di antara kami, penulis asal Manado ini adalah minoritas dari segi agama; tapi untungnya agama tidak begitu penting untuk dibahas saat sastra bisa mempersatukan kami. Selain menulis, dia juga seorang guru yang sangat sangat kebetulan juga mengajar sejarah! Saat ikut kelas menulis aksara Bali, kami duduk di meja yang sama. Di sana aku berkesempatan untuk bertanya beberapa hal yang membuatku penasaran, yang jawabannya terlalu panjang untuk dituliskan di sini. Sebelum pulang, aku dihadiahi novelnya yang berjudul Keluarga Lego.
Mega Andindyawati
“Aris Rahman Yusuf kirim salam,” itu adalah kalimat pertamanya saat berbicara denganku. Tentu saja aku dan Bang Aryus, si penyair yang juga pendekar bahasa itu, sudah kenal lama dan mereka kebetulan berada di bawah naungan Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Sidoarjo.
Sekilas aku lihat, dia bukan tipikal orang yang banyak bicara. Entahlah, mungkin karena aku seorang lelaki; sedangkan dia berasal dari organisasi kepenulisan yang begitu kuat akar islaminya. Tentu saja penampilannya juga sangat islami, dengan jilbab bergaya agak kurung dan baju gamis ala ibu-ibu pengajian. Meskipun demikian, aku bersyukur bisa dipertemukan dengan tentor bahasa Inggris ini, seperti dengan sembilan kawan-kawan lain, karena; kalau pun tidak banyak, setidaknya ada sedikit ilmu yang aku pelajari dari mereka.
Adibah L. Najmy
Dia seperti seorang manejer yang menghubungkan kami dengan Faisal Oddang, salah satu juri di kegiatan UWRF tahun ini. Hal itu karena dia adalah murid langsung Oddang dalam dunia kepenulisan, dan sekaligus dia sudah kenal lama dengan Oddang seperti aku mengenal adikku sendiri.
Kepadanya aku sempat bertanya kenapa memilih nama pena Adibah L. Najmy, karena itu mengingatkanku pada nama Abidah El Khalieqy. Untungnya jawabannya memuaskanku, karena dia bilang dalam bahasa Arab, Adib itu artinya penulis yang tercerahkan, lantaran dia seorang perempuan maka kata Adib lebih cocok ditulis Adibah. Di sisi lain, Najmy artinya bintang (ya, ya, ya, aku langsung teringat pada surat An-Najm yang berarti bintang). Namun L itu tidak punya arti, ya semacam gaya-gayaan ala kafkaesque lah ya. Hal yang lucu dari penulis asal Makassar ini adalah dia terlalu banyak membeli pai susu khas Bali, sehingga harus menjualnya kepada kami yang untungnya mau kami beli.
Miranda Seftiana
Hattrick tiga kali untuk masuk dalam buku Kumpulan Cerpen Terbaik Kompas di tahun ganjil (2015, 2017, dan 2019) adalah prestasi yang luar biasa di usianya yang masih dua tahun di bawah usiaku, tapi sialnya aku baru tahu namanya setelah kami sama-sama diundang ke Ubud. Ya, penulis asal Banjarmasin ini adalah orang yang unik, sekaligus agak sedikit nakal. Hampir saja dia memberi kami cap bibir di buku antologi, dan aku malah ingin cap bibir itu mendarat di pipiku. Dia bilang, saat di Bali jadilah seperti orang Bali; tapi ketika kembali ke rumah masing-masing, tinggalkan semua tentang Bali di Bali.
Dari segi pekerjaan, sepertinya dia sama sibuknya dengan Ade; karena di sela-sela kegiatan yang padat, dia masih menyempatkan diri untuk zoom meeting bersama rekan kerjanya di PT. Antang Gunung Meratus. Salah satu novelnya sudah difilmkan (atau film yang dia novelkan, aku rada-rada lupa) yaitu Jendela Seribu Sungai yang diproduseri oleh aktor senior Matthias Mucchus. Barangkali di antara kami, karier kepenulisan Miranda yang paling cemerlang, tapi tunggu saja dua atau tiga tahun lagi aku akan menikungmu!
+1. Nanda Winar Sagita
Tidak baik membicarakan diri sendiri, karena aku yakin akan berpotensi ujub sehingga tulisan seperti kalimat pertama di refleksi singkat ini akan muncul dan muncul lagi. Maka dari itu, aku ringkas saja dalam satu kalimat bahwa bagiku UWRF 2024 ibarat Post-War Arc dalam serial One Piece: tempatku berlatih untuk jadi penulis lebih baik di masa depan demi menebus karier kepenulisan yang buruk di masa lalu!

Penulis, Nanda Winar Sagita adalah penulis dan pengajar sejarah yang berasal dari Aceh Tengah. Karyanya berupa telah dimuat di berbagai media.
Discussion about this post