

Sebuah telur berukuran raksasa dengan diameter 80 cm yang ditemukan saat zaman kerajaan Minangkabau yang diperkirakan berusia ratusan tahun tersimpan di sebuah rumah gadang mande rubiah di Daerah Lunang Silaut Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Dalam sebuah wawancara, anak Mande Rubiah generasi ke-7, Rajo Mudo, menjelaskan telur tersebut ditemukan oleh seorang pendekar Minang di daerah Tarusan, Pesisir Selatan, ratusan tahun lalu. Telur tersebut ditemukan di dalam lubang. Dia menambahkan, warga meyakini telur tersebut berasal dari burung garuda karena ukurannya sangat besar. Berdasarkan cerita yang diyakini masyarakat, ukuran burung garuda saat itu sangat besar. Bahkan bentang sayapnya bisa menutupi separuh kampung Lunang Silaut. Burung garuda biasa bersembunyi di kawasan perbukitan di Pesisir Selatan. Agar dapat bertahan lama, isi telur dikeluarkan dari cangkangnya. Sampai sekarang, telur garuda ini menjelma ikon di museum Mande Rubiah, setiap pulang berkunjung ke sana, pasti hal pertama ditanyai orang adalah telur garuda tersebut. Apakah masih ada?

Sebagai museum yang sudah termasuk cagar budaya di Pesisir Selatan, ini adalah satu-satunya tempat wisata bermuatan museum peninggalan di daerah rantau ini. Sekali lagi, satu-satunya! Tempat yang layak dikatakan museum peninggalan bersejarah Pesisir Selatan. Beruntungnya, tempat ini bisa menjadi Cagar Budaya Pesisir Selatan. Walau secara pengetahuan yang dapat diakses khalayak, jauh dari kata mantap. Selain plang merek dan perayaan musiman, nampaknya agak hening upaya menyebar luaskan Rumah Mande Rubiah sebagai sejarah panjang perkembangan peradaban Minangkabau.
Museum Mande Rubiah memiliki koleksi museum yang beragam. Jenis koleksinya berupa naskah, uang logam, uang kertas, senjata tajam, peralatan dapur, alat upacara agama, dan adat, kerangka kepala kerbau, telur burung garuda, senjata api, piring besar porselin, lampu, dan tongkat. Jumlah total koleksi di museum ini sebanyak 360 buah. Museum ini juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan berbagai peninggalan sejarah dari Kerajaan Pagaruyuang. Di dalamnya, terdapat beragam artefak yang berasal dari keturunan atau pewaris Kerajaan Pagaruyuang. Museum ini menampung sekitar 213 koleksi yang beragam jenisnya. Semua koleksi ini dipamerkan dalam area seluas 20.000 meter persegi, dengan bangunan utama museum mencakup luas 1.000 meter persegi.

Keberadaan waris Rumah Gadang Mande Rubiah Terdapat Komplek Makam Raja (di Lunang dinamakan “Tepat”) Bundo Kanduang, Dang Tuanku, Putri Bungsu, Cindua Mato dan pengikutnya serta beberapa peninggalan-peninggalan kerajaan. Masih di dalam kompleks tersebut, terdapat warisan bersejarah Rumah Gadang Mande Rubiah. Rumah Gadang ini merupakan representasi budaya Minangkabau dan sekaligus jejak sejarah yang mengungkapkan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Dengan arsitektur yang memiliki detail, Rumah Gadang Mande Rubiah menjadi tempat yang memikat bagi para pengunjung yang ingin memahami lebih dalam tentang tradisi dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kompleks sejarah, Rumah Gadang ini juga menjadi artefak dari berbagai peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah regional.
Pewaris rumah ini yang sekarang sudah keturunan ke-7 diberi gelar Mande Rubiah. Mande Rubiah yang sekarang bernama Rakinah. Oleh karena itu, kepemilikan dan pengelolaan Museum Mande Rubiah saat ini dipegang oleh Keluarga Mande Rubiah. Koleksi yang ada di museum berupa benda-benda peninggalan para pewaris Rumah Gadang Mande Rubiah.
Dikisahkan saat terjadi huru-hara di Pagaruyung, Bundo Kanduang dan anaknya Dang Tuangku beserta menantunya bernama Puti Bungsu “menghilang” dari istana lewat proses “mengirap ke langit”. Dan turun di wilayah Lunang Pesisir Selatan. Proses mengirapnya Bundo Kanduang itu merupakan cara yang ditempuhnya untuk menghindari bahaya akibat adanya serangan luar terhadap istana. Dalam pengetahuan sejarah masyarakat di Lunang dan Sumatera Barat pada umumnya, bahwa Bundo Kanduang beserta pengikutnya lari dan bersembunyi di Lunang. Di Lunang pulalah ia kemudian mendirikan kembali istana yang dikenal dengan Rumah Gadang Mande Rubiah dan nama Bundo Kanduang pun diganti dengan gelar Mande Rubiah.

Zera Permana menuliskan Rumah Mande Rubiah sebagai “Lunang Muara Penantian”. Berbagai cerita yang tersebar di masyarakat umum mengenai Mande Rubiah, seorang perempuan yang memegang kendali Pusek Jalo Pumpunan Ikan Alam Minangkabau (Pagaruyuang). Ada yang membicarakan dengan cerita Kaba Cindua Mato, ada yang dalih menerima ke ilmuan, ada yang bicara dalam buku Kitab Salasilah Rajo-Rajo di Minangkabau, dan sebagian mendapatkan cerita tersebut lewat memori kolektif.
Kenapa panggilan ini ada, tentu dengan kehormatan Bundo Kanduang yang Mi’raj ke atas langit tak ubahnya seperti nabi-nabi oleh sebagian orang darek, agaknya ini terlalu berlebihan. Seorang wanita tua penghafal Tambo Adat, Tambo Alam, dan Tambo Usholi, yang dituturkan kepada anak- anaknya dalam Kitab Salasilah Raja Raja di Minangkabau (Emral Djamal dkk, 2023) di Sebut Dewang Pandan Salasiah Raiwano (Dang Tuangku) dan Dewang Cando Ramowano (Cindua Mato). Seorang wanita sufi yang digelari oleh orang Pasisia Mande Rubiah, yang menurunkan keilmuan agama, adat, dan silat di negeri Urek Tunggang Alam Minangkabau (Indrapura) yang beranjak berjalan kaki dan mengendarai kuda dari Pagaruyuang Luhak Tanah Datar menuju Negeri Pagar Dewang Tanah kayangan (Lunang).
Namun cerita ini juga tumbuh di beberapa tempat di Minangkabau. Sebuah pameo tinggal dalam ingatan masyarakat sekarang dengan ungkapan, kurang sisiak tingga dek buku, kurang tanyo tingga dek guru. Cerita yang sewileran tak hayal juga mengaburkan sejarah Bundo Kanduang yang dianggap mencoreng arang dikening dengan suaminya Hyang Indojati. Meski cerita tersebut menjadi versi lain dari cerita Bundo Kanduang, yang bagi sebagian pendapat menempatkan sejarah Bundo Kanduang itu tabu dan tak pantas diturunkan. Tapi begitulah sejarah berkembang, ia akan selalu menemukan dua sisi berlawanan, dua sisi yang barangkali tidak perlu dicari kebenarannya. Sejarah ataupun Kaba di Minangkabau agaknya memang tak perlu lagi dicari kebenarannya untuk meyakinkan orang zaman sekarang. Biarlah masa lampau itu tetap menjadi pengingat, penanda. Bundo Kanduang sebagaimana dalam tulisan ini merupakan seorang yang terpandang, tempat paling pangkal mencari kata sepakat, tempat paling ujung tempat orang Minangkabau mengadu. Dalam banyak tulisan ataupun memori kolektif masyarakat, Bundo Kanduang ataupun Mande Rubiah, memang kadang kelewat berlebihan sejarahnya. Lagi, tidak semuanya harus bisa diterima akal semua orang. Ada bagian yang hanya orang tertentu yang dapat memahami dan mematut-matut. Walau cerita sejarah tersebut memiliki sisi bengkok.
- Lunang Muara Penantian: Negeri Pagar Dewang Tanah Kayangan dan Misteri Telur Garuda di Museum Mande Rubiah - 13 April 2025
- Menziarahi Masa Lampau: Rumah Gadang Mande Rubiah, Komplek Makam Bundo Kanduang dan Kelindan di Inderapura - 3 April 2025
- Cakap Film – Bougainvillea: Sandiwara Psikopat dan Percintaan yang Kelam - 19 Maret 2025
Discussion about this post