
Oleh Annisa Aulia Amanda, Seorang Mahasiswi Sastra Indonesia Universitas Andalas yang aktif berkegiatan di Labor Penulisan Kreatif
Musik Gamad, atau yang dalam pelafalan lokal disebut Gamaik, merupakan salah satu bentuk ekspresi seni musik tradisional yang lahir dari kebudayaan masyarakat Minangkabau, khususnya di wilayah Pantai Barat Sumatera Barat seperti Kota Padang. Kesenian ini tidak murni bersumber dari budaya lokal, melainkan merupakan hasil dari proses akulturasi yang panjang antara budaya Minangkabau dengan sejumlah unsur budaya luar, termasuk Portugis, Tionghoa, Melayu, India, dan Nias. Meskipun berasal dari pertemuan berbagai tradisi asing, musik Gamad telah mengalami proses internalisasi sedemikian rupa sehingga kini dianggap sebagai bagian integral dari identitas budaya Minangkabau.
Ciri khas utama dari musik Gamad terletak pada pengutamaan unsur vokal atau lagu yang diiringi oleh instrumen musik yang berasal dari beragam latar budaya. Misalnya, penggunaan biola dan akordeon yang merupakan alat musik yang berasal dari tradisi musik Eropa. Ini menjadi penanda kuat pengaruh budaya luar. Selain itu, penggunaan gendang dari kebudayaan India serta sejumlah alat musik tradisional lain dari berbagai daerah menunjukkan betapa dinamisnya proses adaptasi yang terjadi dalam pembentukan musik Gamad.
Sejak masa kolonial hingga era modern saat ini, musik Gamad telah mengalami pelestarian dan revitalisasi secara turun-temurun, menjadikannya sebagai salah satu kesenian yang kerap dimainkan dalam berbagai perayaan. Baik itu perayaan adat, kegiatan keagamaan, upacara kenegaraan, maupun hajatan masyarakat lokal, musik Gamad selalu hadir sebagai medium pengikat budaya dan sarana komunikasi nilai-nilai sosial.
Hal yang menarik adalah, di balik ragam musikalitas yang dimilikinya, lagu-lagu Gamad memuat berbagai elemen budaya Minangkabau yang dapat dikenali secara eksplisit maupun implisit. Salah satu bentuk ekspresi kebudayaan Minangkabau yang paling nyata dalam lagu-lagu Gamad adalah penggunaan bahasa daerah. Lagu-lagu ini secara konsisten mempertahankan penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa utama dalam lirik-liriknya.
Alasannya ini bukan hanya sekadar untuk menunjukkan bentuk estetika tulisan, tetapi juga merupakan upaya pelestarian bahasa daerah yang semakin terancam punah di tengah dominasi bahasa nasional dan global. Melalui lirik-lirik Gamad, sistem tata bahasa, kosakata, serta idiom-idiom khas Minangkabau tetap hidup dan berfungsi sebagai medium komunikasi antar generasi.
Tak hanya itu, penyebutan nama-nama tempat di wilayah Minangkabau dalam lagu-lagu Gamad turut memperkuat identitas lokal yang terkandung dalam musik ini. Dalam berbagai lirik lagu, sering kali kita menemukan referensi geografis terhadap daerah-daerah tertentu, seperti Aia Bangih, Pesisir Selatan, Pariaman, Kurai Taji, Padang Panjang, Sawahlunto, Kota Padang, dan daerah-daerah lainnya.
Penamaan tersebut tidak hanya sekadar penanda tempat, melainkan juga menyiratkan cerita dan nilai emosional yang mendalam. Sebagai catatan, cakupan budaya Minangkabau sendiri melampaui batas administratif Provinsi Sumatera Barat. Menurut data yang dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2018), wilayah budaya Minangkabau mencakup area seluas 41.297,30 km², melingkupi berbagai daerah di luar provinsi tersebut. Jika mengikuti Tambo, yaitu catatan kuno mengenai Minangkabau maka luas Minangkabau adalah saedaran Gunuang Marapi, salareh Batang Bangkaweh, sajak Sikilang Aie Bangih, lalu ka Gunuang Mahalintang, sampai ka Rokan Pandalian, sajak di Pintu Rayo Hilie, sampai Si Alang Balantak Basi, sajak Durian Ditakuak Rajo, lalu ka Taratak Aie Hitam, sampai ka Ombak Nan Badabua.
Selanjutnya, aspek pencipta lagu juga menjadi elemen penting dalam mengkaji keterkaitan musik Gamad dengan budaya Minangkabau. Para penulis lagu Gamad merupakan orang-orang dari suku Minangkabau yang memiliki pemahaman mengenai adat, norma sosial, kebiasaan, serta struktur budaya masyarakatnya sebagai bagian darinya. Hal ini menjadikan lirik lagu mereka bukan hanya sebagai karya seni, tetapi juga sebagai representasi identitas kultural.
Rustam Raschani dan Yan Juned dikenal sebagai pencipta lagu Gamad. Lalu juga salah satu maestro musik Gamad yang dikenal adalah Tawanto Karim. Selain itu, terdapat pula sejumlah lagu Gamad klasik yang tidak diketahui nama penciptanya karena berasal dari masa lampau dan tidak terdokumentasikan secara tertulis.
Pesan moral dan nilai-nilai yang terkandung dalam lagu-lagu Gamad merupakan aspek implisit yang memperkaya makna dari musik ini. Setiap lagu membawa pesan yang berbeda-beda, tergantung konteks dan tujuan penciptaannya. Sebagai contoh, lagu “Rambutan Aceh” menyajikan kisah pertemuan dua insan yang saling jatuh hati, menyiratkan nuansa romantis dan hiburan.
Di sisi lain, lagu “Endong-Endong” memuat pesan yang lebih reflektif, yaitu mengingatkan para perantau untuk tidak melupakan kampung halaman serta untuk tidak larut dalam kesedihan hidup di tanah orang. Lalu juga ada “Takana Untuang” yang memuat pesan agar manusia tetap bersyukur dan jangan menyerah terhadap kehidupan. Pesan-pesan seperti ini menjadikan musik Gamad tidak hanya sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai alat penyampaian nilai-nilai budaya dan sosial secara halus namun mendalam
Namun demikian, tantangan serius dihadapi oleh musik Gamad di era saat ini. Popularitasnya semakin menurun, tergeser oleh gempuran musik-musik modern seperti dangdut, organ tunggal, dan bahkan musik dari luar negeri seperti pop Korea (K-Pop) yang kini digandrungi generasi muda. Fenomena ini menunjukkan pergeseran selera musikal masyarakat sekaligus mengindikasikan potensi terpinggirkannya warisan budaya lokal.
Oleh karena itu, penting bagi generasi muda Minangkabau, maupun masyarakat Indonesia secara umum, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian budaya tradisional seperti musik Gamad. Tidak hanya karena nilai seninya, tetapi juga karena nilai historis, sosial, dan budaya yang terkandung di dalamnya. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, khususnya pemerintah, komunitas seni, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk menjaga eksistensi Gamad sebagai warisan budaya Minangkabau yang harus dilestarikan.
Discussion about this post