
Secara etimologi, Bandar Sepuluh merupakan gabungan dari beberapa bandar (kota pelabuhan) di sepanjang pesisir pantai Sumatra Barat bagian selatan atau Kabupaten Pesisir Selatan (dulu PSK – Pesisir Selatan Kerinci). Tidak termasuk kedalam wilayah ini kecamatan Bayang, Lumpo dan Salido, XI Koto Tarusan, Lunang Silaut dan Pancung Soal (Inderapura).
Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) merupakan daerah Minangkabau yang penting pada masa lalu karena dari sinilah dikapalkan emas, lada, dan bahan-bahan hasil pertanian dan hutan lainnya ke mancanegara. Emas adalah komoditas penting pada masa lalu yang berasal dari kawasan Pesisir Pantai Sumatra Barat. Di dalam pepatah pidato adat Alam Minangkabau dikatakan bahwa ameh manah dari Banda Sapuluah (Emas dari Bandar Sepuluh). Bandar Sepuluh dalam memori kolektif juga memiliki banyak fase kedatangan-kedatangan bangsa asing, salah satu yang paling diingat ialah bangsa Tionghoa atau orang-orang Pesisir Selatan menyebutnya urang cino.
Sebagai salah satu daerah di Banda Sapuluah yang dimulai dari Batangkapas, Taluak termasuk daerah yang memiliki sejarah panjang pada masanya, daerah ini juga mempunyai sejarah barajo, dimana pemerintahannya mengintegrasi urusan umum pemerintah dan adat. Dimana dalam penyelenggaraannya dijalankan penghulu (pucuk adat). Di daerah ini, cukup banyak menyimpan sejarah persentuhan masyarakatnya dengan bangsa Cino.
Jauh sebelum reformasi, Taluak pernah dipimpin Muncak seperti juga di Nagari Taratak dan Nagari Surantih sejak era Kerajaan Rajo Salam di Batu Bala (yang manapek ke Kampai Kampung Dalam Dt. Rajo endah). Nagari Taluak baru dipimpin Kapalo Nagari setelah kemerdekaan. Masa-masa pemerintahan Bandar Sapuluah, Taluak merupakan salah satu Bandar (Kota Pantai) punya pelabuhan yang cukup diminati pendatang untuk berlabuh. Kapal dagang asing kerap mendarat di dekat Sungai Nyalo. Tentu saja dalam rombongan-rombongan pendatang itu bangsa Tionghoa adalah salah satunya. Tidak hanya datang sebagai pedagang saja, mereka juga sempat tinggal cukup lama di sana.
Alasan mendasar bangsa Cina datang ke wilayah Taluak dan daerah lainnya di Banda Sapuluah adalah karena pantai barat Sumatera sudah ramai dilayari dan sudahlah banyak berebut menjadikan wilayah ini sebagai papan percaturan dagang abad ke-16. Sedangkan pedagang yang berasal dari Cina tersebut banyak bermukim di Taluak, Kambang dan Surantih. Agus Yusuf penulis sejarah Pesisir Selatan pernah juga menyebut, Taluak ketika masih belum punya akses jalan darat yang baik, ketika itu jalan darat ada tetapi belum bagus dan jembatan belum ada, di Taluak sudah ada Congkong sejenis kapal penyeberangan seperti juga di Surantih dan Amping Parak.
Di Taluak juga masih menyisahkan kenangan nyata dan sarat makna, yakni seorang bernama Si Chan. Orang yang bekerja sebagai pembuat sabun dengan merk Made In Si Chan. Tentu saja beliau banyak tau sejarah kedatangan bangsa Cina di Taluak, serta alasan angkat kakinya mereka dari Taluak. Sejarah keluarga Cina di Taluak ini menurut tutur salah seorang tetua, seiring dengan Belanda masuk, sering pergi dan datang bermukim tak lama. Setelah kemedekaan Cina masuk kembali bersamaan dengan aksi polisionil Belanda dikenal sebutan Agresi Militer Belanda pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1948. Kemudian Belanda angkat kaki pasca PDRI, lalu keluarga Cina ini berangkat pula, tanpa ada pengusiran seperti di Surantih. Sebagian masyarakat menyakini mereka pindah ke Bengkulu, Kerinci dan Sungaip Penuh.

Di Surantih, memori kolektif masyarakat memang tidak semelekat Taluak yang secara langsung hidup berdampingan cukup lama. Sebab sampai saat ini belum ada info terpecaya mengenai generasi Cina yang masih bertahan di daerah ini, walau dugaan-dugaan cukup santer tertuju ke beberapa keluarga (dari ciri fisik). Terlebih isu yang beredar bahwa kepergian bangsa Cina di Surantih karena pengusiran paksa. Isu ini tentu saja masih sensitif di Surantih, bahkan ketika bertanya kepada seorang penjaga pandam pekuburan terkait nama-nama orang yang dimakamkan di Kuburan Cino Alai itu saja, ia nyaris tak bergeming. Versi lainnya juga menduga, bahwa mereka dikira oleh masyarakat sebagai kaki tangan Belanda, sehingga membuat mereka takut sendiri.
Konon, sebagian masyarakat memercayai tradisi ataupun cara pengobatan tradisional orang Cina cukup dikenal di daerah Pesisir Selatan, baik secara pengobatan herbal maupun urut. Sehingga ada sebuah peristiwa yang dapat diingat, suatu masa pernah terjadi wabah cacar di daerah Bayang, Koto Ranah. Dimana hampir setengah dari penduduk terkena wabah cacar, sehingga membuat raja Bayang kala itu mengadakan sayembara. Maka datanglah seorang tabib dari Cina daratan bernama Tjia. Cara mengobatannya cukup menarik perhatian kala itu, ia menggunakan berbagai macam tumbuh-tumbuhan kemudian menumbuknya. Sejak saat itu, raja memberinya kedudukan di sana sebagai seorang tabib kerajaan dan diberikan tanah. Kemudian mengajarkan masyarkat setempat cara pengolahan obat herbal secara tradisional. Tetapi tentu saja ini perlu ditinjau kembali. Berbeda lagi dengan kue Mangkuak yang ada di Taluak, secara historis masyarakat meyakini kue mangkuak Taluak merupakan salah satu warisan cina.
Almasri Syamsi dalam bukunya Alam Sati Surantih cukup banyak bercerita tentang Cina yang ada pada masa itu (wilayah Batang Kapas dan Sutera), memang agak didramatisir. Dalam buku tersebut beliau menerangkan bahwa Cina sebagai anak emas, melalui kebijakan ekonomi Belanda di sepanjang pesisir mengambil peluang mengumpulkan kekayaan nagari, mereka dilindungi, ada sistem barter, barang ditukar dengan barang, harga pun tak sebanding, dilunasi setelah panen bunga pun tinggi, sehingga banyak masyarakat hutangnya tak terbayar. Diminta paksa pakai algojo pribumi pula, banyak harta rakyat jatuh ke tangannya, kalau tak terbayar juga diganti dengan tenaga bekerja, dipaksa. Kehidupan milik penguasa dan orang kaya, penghulu pun susah bebas penghubung anak kamanakan memungut hasil panen. Alam Sati Nagari Surantih (2007,p.80). Karena Belanda telah angkat kaki, mereka pun pergi. Mereka menjual aset dan rumahnya. Keluarga Cino baik di Surantih dan Taluak sesekali datang (bahkan sampai sekarang), mungkin saja menjemput harta mereka yang disembunyikan atau yang dikubur sebelum angkat kaki. Tapi jelas kedatangan mereka tak sama dengan peziarah pada umumnya.
Peninggalan yang masih dapat dijumpai sebagai penanda bahwa Cina benar-benar pernah bermukim di Taluak ialah adanya kuburan orang Cina di Bukit Kaciak, sesekali juga diziarahi keluarga mereka atau mungkin orang yang dipercayai untuk menjaga makam tersebut. Sedangkan pandam pekuburan mereka ada di daerah Surantih, posisinya ditengah-tengah batas antara Surantih dan Amping Parak. Di lokasi pemakaman ini juga banyak Cina dari Taluak dikuburkan. Meski nampak tidak terawat, tetapi nyaris setiap masuk bulan puasa pandam pekuburan ini selalu bersih. Penanda makam jelas bisa dilihat dari bentuk arsitektur nisan yang besar dengan tulisan Cina lengkap dengan motif dan corak makam khas cina. Juga dilengkapi rumah gobah sebagai pelindung makam.
Memang tidak banyak yang dapat ditangkap dari kebudayaan cina yang ditinggalkan di Banda Sapuluah, namun sejarah panjang bermukimnya mereka pada masa itu masih segar dalam ingatan memori kolektif masyarakat tradisional Banda Sapuluah. Mulai dari perkembangan penggilingan padi di Surantih, Tuak Taluak, Kuliner, motif nisan dan proses pengobatan secara herbal (perlu ditinjau lebih dalam). Di Surantih, ada sebuah pantun yang cukup terkenal sebagai penanda mamangan orang-orang di lepau ataupun rantau. Ampiang parak jo surantiah kuburan cino diantaro nyo, yo taserak nan kami piliah sayang barabuiknyo nan kayo.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post