Paus
Jangan lagi kau tanyakan padaku tentang bahan-bahan pembuatan puisi itu! Kau telah menyantapnya bukan? Aku lupa memberitahumu bahwa sebelum kau menyantapnya dengan lahap, tambahkanlah sedikit bumbu kepekaan agar terasa lebih nikmat saat kau menyantapnya. Maafkan aku.
Akan kubawakan segelas pengharapanku, kutuangkan pada sepiring kesia-sian. Kau menginjak tubuhku, lalu kau tanyakan perihal daging yang kugunakan untuk puisiku itu.
“Daging binatang apa yang kau yang kau gunakan untuk menuliskan puisimu?”
“Sepotong daging paus yang kesepian”
“Kenapa kau tega memasaknya?”
“Biarkanlah ia mati, bercengkrama dengan para tokoh puisiku yang berkisah tentangku, aku tak sanggup melihatnya memikul sepi di kedalaman samudera”
Aku bergerak ke dapur, menuangkan segelas air putih untuk menenangkan anjing yang menggonggong tak henti-hentinya di jantungku. Kau menengokku, cukup lama, mendekatiku, menjatuhkan senyuman, menamparku puluhan kali hinggaku sadar dari mabukku.
2023
Patung
Aku terperangkap di dalam sebuah patung. Aku menginginkan retak. Aku ingin sekali membenturkan kepalaku, sebab katamu keras kepalaku lebih keras dari sebuah patung.
Tupai mengangguk mengisyaratkan bahwa kau telah letih menjala aku. Kau berenang sejenak. Ikan-ikan berenang memutarimu, salah satu dari mereka menenangkanmu, mengajakmu ke bagian sungai terdalam, kau mengiyakan. Kau ditemukan terkapar setelah itu.
Bulan enggan memagi, ia memagar diri. Malam berlarian cukup lelah, keringatnya berjatuhan membentuk sebuah danau, kau berkaca di wajahnya yang muram. Tanpa kau sadari ia menamparmu, pipimu memerah. Cobalah berkaca! Mata seekor ikan menatapmu.
Tubuhku akhirnya tumbuh lumut. Untung saja engkau datang, kau datang dalam keadaan setengah sadar, tubuhmu diangkut seekor ikan sapu-sapu, Ia membantumu tuk menjilati kulitku.
Kau perlu palu! Kau perlu palu! Kau perlu palu! Aku keliru, kau perlu seperangkat alat pahat untuk merevisi bentuk patungku dan bukan menghancurkanku. Jadilah pematung!
Kau menggotongku ke sebuah bukit. Namun kau tak sanggup menggotongku hingga engkau jatuh berkali-kali dan pada akhirnya kau mengakhiri usahamu. Kau dan aku tergeletak di kaki bukit. Sebab keletihan kau memproyeksikan Malin tengah menertawakanku yang mematung tanpa sebab.
Tapi, Ingin rasanya ku terus-menerus menangis agar terkikis batu yang membalut tubuhku. Retak, kemudian pecah, lalu lumpuh di pelukanmu.
2023
Piringan Hitam
Akan kubaca isi piringan hitammu itu. Walau gelap rupanya, butaku saat mendengarkannya, ia tetap saja berputar-putar di kepalaku. Mendansakan ankleku.
Sudah larut malam rupanya, aku juga telah larut di dalam alur bacaanku, ankleku lemas. Aku terjatuh, disambut olehmu dengan ucapan selamat tinggal.
Aku mendengarkan lagu paling menyedihkan di halaman terakhirmu, aku menjelma menjadi ilustrasi seorang bocah berwajah bahagia pada sampulmu. Aku menceritakan kisahku pada ibuku, ibuku tersenyum dan memberikanku sebuah piringan hitam yang ia temukan di lemariku, aku memutarmu kembali.
2023
Kolesterol
Kau terbuat dari apa? Sumsum tulang sapi? Sumsum tulang kambing? Tiba-tiba saja kepalaku pusing. Kau kembali mengingat sarang tempua di tubuhnya. Hangat? Katamu sarangnya terletak di ketinggian. Bukannya kau takut dengan ketinggian? Akhirnya kutahu apa yang menyebabkanmu pergi meninggalkannya lalu mengunjungi semak tempatku bertapa. Kau adalah kolesterol!
Kau tahu, seekor anjing penjagaku akan marah jika semakku ditebas oleh seseorang selain diriku. Kau harus berjaga-jaga, jaga kedua kakimu dari gigitanya. Tapi kau tenang saja rasa sakit yang akan kau terima sama dengan apa yang kurasa, tanyakanlah pada obat yang kutelan!
2023
Tempua
seekor tempua menenun sarang di mulutku. ia dibantu seekor tempua betina. mereka bercinta, mematuk gusiku, menelurkan sakit sepanjang malam.
mulutku dipenuhi sarang yang terbuat dari ilalang. nafas sepasang tempua menjadi sesak, bukan karena tengah bercinta, namun karena sakit yang kuderita.
tempua jantan marah kepadaku, sarangnya kubuat kacau balau. aku gelisah, gemuruh jadi bantal tidurku. pohon tumbang, menimpa aku.
tempua betina berpasrah diri, tenunan sang kekasih kukunyah hingga tak bersisa. ia berkicau, tersendu-sendu, meminta peluk tuk tenangkan dirinya.
malam telah berpulang, pagi menyambutku. kantuk memukuli mata, mata tak melawan. bahkan ia menyembahnya, mengikuti perintahnya, menjauhi larangannya.
jam dinding jatuh berdentang. terdengar parau mencicit. pening di kantong mata. matahari sejengkal di atas kepala. kuterbangun. sepasang tempua itu kembali bercinta, mereka tak hiraukan sakitku.
2023
Mustika (3)
Aku takut jika kau merasa kesakitan sebab puisi yang kurakit meledak di jantungmu, aku juga takut jika pada akhirnya kau putuskan untuk pergi tinggalkan daerah teritoriku sebab itu.
Segeralah kau sumpahi diriku, agar tubuhku membatu, menjadi tokoh paling durhaka di dalam dongeng yang akan kau bacakan kepada hantumu sebagai pengantar tidur.
Jika pada akhirnya tubuhku masih tetap membatu dan kau tak mencabut sumpahmu terhadapku, aku tak akan mengubah kesaksianku yang kupegang teguh sedari dulu, bahwa tiada perempuan yang kudamba selain engkau.
2022
Alfarizi Andrianaldi Lahir di Teluk Kuantan 30 Oktober 2002. Saat ini sedang aktif menempuh pendidikan tinggi jurusan Sastra Indonesia di Univertas Bung Hatta, Kota Padang. Puisinya dimuat omong-omong.com, ruangjaga.com, gudangperspektif.com. Temui orangnya melalui akun Instagram, @bin.adia
- SEGERA TERBIT! BUKU ALIH BAHASA KITAB SALASILAH RAJO-RAJO DI MINANGKABAU - 9 September 2024
- Musim Paceklik Sejarah: Melihat Peradaban dari Geladak Kapal | Arif Purnama Putra - 8 Juli 2024
- MAEK: Misteri Peradaban Menhir dan Pengetahuan Astronomi di Kaki Bukit Barisan | Penulis: Sultan Kurnia AB (Mahasiswa Doktoral Kajian Budaya, Hiroshima University, Jepang) - 4 Juli 2024
Discussion about this post