Pada tahun 1935, di kampung Sungai Tawar (dahulu disebut Taluak Puyu) Nanggalo, sekarang termasuk Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan pernah terjadi musim kelaparan (paceklik) akibat bala panyakik padi, dimana waktu itu padi rakyat habis dimakan ulat, dan pianggang. Padi di sawah mengalami kerusakan yang hebat, sehingga padi tidak menjadi. Masyarakat nagari secara massal berusaha bergotong royong memberantas ulat-ulat dan pianggang yang menyerang padi tersebut. Namun sebanyak ulat dan pianggang yang dibunuh dan dibakar sebanyak itu pula bala penyakit itu berdatangan lagi. Masyarakat jadi resah dan rusuh akibat menderita musim kelaparan yang dihadapi.
Setelah masyarakat mengadakan musyawarah untuk mencari upaya mengatasi hama, wabah, bala padi yang melanda sawah-sawah mereka, akhirnya dicapai kesepakatan untuk mendatangkan seorang anak remaja kecil dari nagari Muara Sakai Indrapura. Oleh Angku Palo Latif, Penghulu Kepala Wali Nagari Nanggalo Tarusan masa itu, dijeputlah anak remaja kecil itu ke Indrapura, lalu dibawa ke Tarusan, ke perkampungan Taluak Puyu yang sawahnya kena wabah.
Atas permintaan si remaja kecil tersebut, oleh masyarakat disediakan purasan, semacam ramuan tradisional yang disiapkan untuk mengantisipasi (menolak bala) hama wabah dengan jalan maureh padi di sawah. Purasan itu oleh sang anak kecil terlebih dahulu dimantrai (didoakan) kemudian disambua, (ditiup dengan hembusan nafas). “Air purasan” seterusnya “diurehkan” atau dipercik-percikkan ke sawah yang berhama dan berulat itu. Ini dilakukan oleh anak remaja kecil tersebut dengan cara mendukungnya dengan sebuah alat dukungan kusus, semacam tandu. Sang remaja kecil duduk di atas kursi bambu dengan mengikatkannya pada dua buah batang bambu yang berfungsi untuk menyandang kursi tersebut. Sang anak remaja kecil ditandu sekeliling sawah sambil memercikkan air purasan tadi. Akhirnya hama ulat-ulat yang menyerang sawah rakyat hilang semuanya. Dan setelah itu padi kembali menjadi baik. Sejak itu anak remaja kecil itu terkenal dan digelari Dukun Padi. Siapakah anak remaja kecil itu?
Kampung Teluk Puyu, setelah melakukan upacara ritual “manawa” padi di sawah itu, kemudian merobah namanya kampungnya menjadi Sungai Tawa/Sungai Tawar. Nama negeri itu diikrarkan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) mereka, dengan ketentuan siapa yang masih menyebut “Teluk Puyu” akan dikenakan sangsi “denda adat”. Sejak itu kampung Sungai Tawar di Koto XI Tarusan sangat terkenal di Bandar Sepuluh sampai ke Bandar Padang sebagai negeri penghasil padi yang baik, dan produktif. Beras yang dihasilkan terkenal dengan nama “Bareh Sungai Tawa”.
Bergitu halnya mengenai seorang anak yang sering dibawa oleh orang tuanya (Bajolang) kemana orang tuanya sering pergi. Di Nagari Sungai Pinang Koto XI Tarusan sebuah perkampungan yang terkenal kelokan nagarinya dan keramahtamahan peduduknya yang tinggal di situ, suatu Desa yang masih asri belum terjangkau oleh budaya asing.
Ketika zaman angku Palo Muhammad (Tuangku Rajo Palo Pertama) Tahun 1901. Di Kenagarian Sungai Pinang Koto XI Tarusan, beliau ketika itu didatangi oleh masyarakat petani yang memohon pertujuk mengenai hama wabah penyakit padi yang menganas di negeri itu hingga sawah-sawah banyak ditinggalkan dan dalam pameo bahasa minang “Sawah Lah Kareh, Taruko Hanguih” masyarakat sekitar dan diwakili oleh mamak kaumnya merujuk kepada mamak payung (penghulu) ketika itu Suku yang empat dinegeri itu Penghulu Angku Sudin Dt Rajo Bagaga, Angku Mak Diris Dt. Bandaro Sati, Angku Dawa Dt Gamuak, kemudian Angku Palo Rajo Sendiri yang memimpin sidang Angku Palo Muhammad Dt. Rajo Ambun. Untuk bermusyawarah untuk mencarikan obat untuk mengobati padi dilanda wabah Pianggang dan Babi Hutan.
Ketika itu seorang ayah pemuda kecil ini sering berulang ke negeri Sungai Pinang, Tetapi beliau bukan ahli dibidang pengobatan hama wabah padi itu, beliau melainkan ahli dalam tata membentukan nagari, suatu ketika sarat angkat menjadikan negeri itu “Babanda Turuik Bukik” pada saat itu masyarakat sedang membuat bandar yang harus mengaliri sawah-sawah mereka terhalang oleh batu besar yang menjorok di tepi bandar, angku/ayah seorang pemuda kecil ini ikut gontong royong di sekitar bandar (irigasi) pengaliran sawah. Masyarakat sedang “Uwik-Uwitan” kepayahan untuk membuat bandar di tempat pengaliran di tancapkanlah tongkat beliau di situ, diujung batu dengan kharamah yang beliau miliki maka batu itu bisa beliau congkelkan ke atas sehingga naik ke tebing di sawah Gurun Nagari Sungai Pinang, maka sejak itulah air sawah itu mengalir dari kapalo sawah Anggawik sampai kepada sawah Batu Gajah, selain membantu masyarakat untuk tata kelola nagari. Beliau sering Berziarah ke tampat sebuah pemakaman tua yang menjorok di tepi pantai yang disebut oleh masyarakat sekitar Tampat Gunuang Suok di daerah destinasi wisata kawan mandeh tempat itu bernama Manjuto.
Sesudah berziarah maka dapatlah garak (pemberitahuan) secara spritual ketika seorang anaknya yang masih kecil ini bisa mengobati hama wahabah penyakit padi yang melanda negeri Sungai Pinang. Sedangkan keganjalan-keganjalan seorang anaknya ini sudah terlihat ketika ibunya sedang mengandung empat bulan, maka datang seorang perempuan yang mempertaruhkan uang untuk naik haji ke Mekah. Seiring berjalanya waktu datanglah seorang saudara ibunya yang pengen meminjam “Pitih” uang, dikatakan oleh si ibu anak kecil ini uang tidak ada, pada malam harinya ketika si ibunya tidur maka berpindah kandungan ibunya ini kepada saudari perempuan ayahnya.
Sehingga ketika si ibu ini bangun dan meraba perutnya ternyata perutnya sudah kempes dengan hati sedih ditemui suaminya ayahanda si pemuda kecil ini lalu diceritakan bawa kandunganya sudah tidak ada lagi. Termenunglah ayahanda pemuda kecil ini lalu mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya, terngiang “mamakiak” seorang wanita ketika itu yang sudah siap melahirkan kemudian perutnya membesar lagi, seorang wanita ini seorang kamanakan ayahandanya ternyata kandungan istrinya pindah kepada kamanakanya “Induak Bako” kemudian lahirlah anak kecil itu melalui rahim induak bakonyo (saudara perempuan pihak ayahnya) sendiri.
Maka atas Inisiatif ayahnya dibawalah anaknya kemasjid Nurul Haq Sungai Pinang Dikala itu, lalu dimintakan buatkan perlaminan untuk anaknya tidur dan mengobati barang penyakit dan serta mengobati wabah hama padi yang melanda Negeri Sungai Pinang. lalu dimintakanya syarat untuk obatnya daun capo ringgik, daun sicerek, kunyik bolai, daun galundi, belarang, kain putih, kemanyan putih, serta parasan. Oleh sipemuda kecil ini di mintak kepada orang-orang yang memberikan parasan tadi dipotong dikasih air lalu diserahkan kepadanya, oleh si pemuda kecil Tawa/dibacakan matra dan dihembus, kemudian diberi kaligrafi di kain putih itu (Rajah) untuk di tancapkan empat persgi/sudut sawah. Atas berkat dan kuasa Allah dan karamah Seorang anak kecil ini padi di darah Sungai Pinang menghasilkan panen yang memuaskan dalam basahasa tradisi “ Padi Manguniang Jaguang Maupiah”
Sejak itulah mayarakat di sekitar menjemput si pemuda/remaja kecil ini ke daerah Muara Sakai Indrapura, Kabupaten Pesisir Selatan itu tidak lain adalah beliau yang kemudian dikenal di Pesisir Selatan dengan nama Bujang Sabaleh, (salah satu tangannya berjari enam sehingga jumlah jari tangannya sebelas). Penutur cerita ini menyatakan kepada penulis bahwa beliau pernah bertemu dan bercerita langsung dengan Bujang Sabaleh dan Angku Palo Latif, setelah beliau Bujang Sabaleh dewasa. Menurut beliau, Bujang Sabaleh yang diceritakan kepada penutur (yaitu oleh beliau Uncu Imam Kayo Alm. Urang Tuo Adat) dari Suku Tanjung di Tarusan dan Alimir Sutan Sinaro alm, seorang tokoh masyarakat dan mantan Wali Nagari Sungai Pinang, serta Angku Panghulu Marto Dt Rajo B agaga seorang mamak payung suku Malayu Nagari Sungai Pinang Tarusan, mengatakan bahwa beliau Bujang Sabaleh adalah keturunan Dukun Padi yang ke VII, sedangkan Dukun Padi yang ke VI adalah Tuanku “ nan ba-tampek” di Bukit Si Gurapai, Bayang. Tepat keramat itu dikenal masyarakat pada zamannya sebagai “Tepat Tinggi Bukit Sigurapai” di nagari Bayang, sementara Dukun Padi I, yang datang ke Bayang berasal dari Tanah Basa (Makah, di Tanah Arab).
Penulis, Zera Permana Salimbado Buah Tarok (Anggota Pusat Kajian Salimbado Buah Tarok)
- Sejarah Makanan Adat: Gulai Pangek Bada Jo Gulai Kacang, Tanda Penghormatan Raja Kepada Cendikiawan – Bagian 2 - 2 Oktober 2024
- Seri Punago Rimbun: Sejarah Menepinya Raja Alam Surambi Sungai Pagu, Samsudin Sandeowano Setelah Penobatan di Pagaruyung - 26 September 2024
- Punago Rimbun: Hilangnya Keris Kesaktian Bunga Kesayangan | Zera Permana - 21 September 2024
Discussion about this post