Marewai.com— Ada beberapa anak yang lahir dengan dua pusar kepala atau biasa di sebut uyeng-uyeng, memiliki dua pusar di kepala kadang dimitoskan mempunyai sifat yang nakal atau cerdas nantinya.
Pada dasarnya unyeng-unyeng atau pusar kepala ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan sifat sang anak dikarenakan pusar kepala tersebut sudah muncul sejak lahir, namun mitos tersebut masih berkembang sampai saat ini.
Berbeda dengan mitos yang ada di Pesisir Selatan, Sumatera Barat mengenai pusar dua di kepala ini. Di daerah Pesisir Selatan, anak yang memiliki dua pusar di kepalanya identik dengan anak yang memiliki hoki/keberuntungan apabila ia beternak.
Biasanya orang-orang menyebutnya dengan “pangambang/pengembang” ini dipercayai masyarakat sebagai sebuah anugerah. Tak ayal banyak masyarakat memercayai ternaknya untuk digembala si anak yang memiliki pusar dua di kepalanya, dengan sistem bagi hasil.
Tentu kepercayaan semacam itu bukan muncul saat ini saja, bila di daerah lain mempunyai dua pusar di kepala identik dengan sifat nakal, nah, di Pesisir Selatan pusar dua di kepala identik dengan kebaikan/pembawa keberkahan. Tidak dipungkuri lagi, masyarakat Pesisir Selatan pada umumnya juga memiliki hewan ternak seperti kerbau, sapi, ayam, kambing dan lainnya. Saya jadi teringat tulisan sastrawan Raudal Tanjung Banua yang berasal dari Pesisir Selatan, berjudul “Ranah Berkabut, dalam bukunya Parang Tak Berulu, 2005, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta”.
“Maka kemudian Upik tidak disekolahkan, berbeda dengan kakaknya Kandik yang hanya berpusar-pusar satu, disekolahkan hingga ke sekolah tentara. Sejak belia Upik sudah disuruh menggembalakan ternak milik keluarga dan juga tetangganya. Ternaknya memang membiak banyak. Tapi Upik menderita karenanya, terlebih ayahnya suka menjual ternak sembarangan untuk berjudi, begitu juga kakaknya.”
Memiliki pusar dua di kepala atau Uyeng-uyeng juga menjadi sebuah tekanan bagi orangnya, sebab masyarakat lebih dulu memercayai bahwa ia kelak akan memiliki banyak ternak dan mudah berkembang biak –apa saja yang digembalakannya. Bila ternak yang digembalakan tidak berkembang sesuai kepercayaan pemilik, maka si anak yang memiliki uyeng-uyeng tadi akan menjadi bahan umpatan.
Kepercayaan ini sudah ada sejak lama, menjadi sebuah cerita tahayul bagi sebagian orang. Ada pula menilai hanyalah bagian dari mitos untuk membuat si anak pemilik uyeng-uyeng lebih rajin dalam mengembala ternak. Karena dahulunya masyarakat hanya berprofesi sebagai petani dan peternak. Nah, bagi mereka yang mendapatkan anak pusar dua, maka disimbolkan sebagai salah satu anugrah yang dapat membantu meringankan pekerjaannya. Padahal dapat anak saja sudah anugrah. Contoh dalam sebuah kutipan ela-ela ibu-ibu saat meninabobokan anaknya.
“ooo… Lalok la nak lalok…
ndak usah manangih juo, bia capek gadang, bisa manolong ayah jo amak…” Mantap!
Uyeng-uyeng atau pusar dua di kepala adalah bagian dari kepercayaan masyarakat tradisional, mereka memercayai tanda-tanda lahir yang sudah menjadi suratan dari ilahi sebagai sebuah karomah. Ini telah menjadi kebiasaan turun temurun, kepercayaan yang berkembang secara lisan. Aissh… Sudah kito
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post