Ketika Luak Nan Tigo merantang tali ke Rantau Pesisir Barat Minangkabau pada kira-kira tahun Arab 457 (penetapan tahun butuh penelitian, dan kajian) Raja Pagaruyuang (Pariangan) bernama Sultan Sari Maharajo Dirajo Gegar Alam anak dari Sultan Abdul Jalil Al-Marhum Syah. Beranak 8 (delapan) orang laki-laki kemudian dinamakan Sultan Nan Salapan. Duduk di Alam Minangkabau. “Nan Basapiah Babalahan, Nan Bakuduang Bakaratan, Sarato Timbang Pacahan”, menjalar ke seluruh Nusantara anak Tuangku Daulat Pagaruyung jua adanya.
Sultan Maharajo Dewa di Batu Mangaum. Mendapati seorang Hulubalang dipatuan, yang telah melarikan Sikambangnnya. Melarikan ke pinggir laut, kemudian naik pincalang (sampan) berlayar ke baruh mata angin menuju Kerajaan Indrapura. Pada saat itu diperintahkan oleh Sultan Maharajo Dewa kepada Dipatuan Rajo Mudo yang bernama Sultan Lenang Bagampo bergelar Dipatuan Mudo Maharajo Dewi. Bermumpakat dengan pengiringnya, belayar ke baruh mata angin menyisiri tepi-tepi pantai, sampai kepada Pasisia Nan Panjang. Kemudian bertanyalah kepada orang-orang yang tinggal di sana, menanyakan akan dua orang, laki-laki dan perempuan (sepasang) yang pernah mampir di sini, oleh orang Pasisia Nan Panjang, dijawablah ketika itu, mereka tidak penah melihatnya. Kemudian berlayar lagi dan menyisiri pantai tiap-tiap pelabuhan ditanyakan hal yang sama, jawaban pun tetap sama.
Pada waktu itu, sekian lama belayar sampai pada waktu petang di sebuah Labuhan atau Batang Air Palangai. belum bernama Palangai. Hendak menyeberangi sungai (batang air) turunlah hujan-hujan panas, dan terbitlah “opoang” (pelangi), sedang cahaya opoang itu bercahaya sampai ke air, dipandang oleh Dipatuan Rajo Mudo dan pengiring seperti kain memanjang “bakarijaman” mengiang-ngiang berwarna “pelangi”. Inilah yang nantinya menjadi akar nama Nagari Palangai. Tetapi ada juga menurut pendapat orang tua-tua nama Palangai dari kata “Palarian” (menyelamatkan diri) orang-orang Pariangan seiring perginya Bundo Kanduang ke Lunang.
Haripun petang berganti senja, yang Dipartuan Rajo Mudo bersama pengiring memutuskan bermalam di sana. Pada malam hari berbincang-bincang pengiring Dipatuan Rajo Mudo, takjubnya melihat opoang (pelangi) yang mengiang di waktu menyebrang, berbincang-bincang haripun ikut sunyi dalam keheningan malam kemudian mereka memutuskan untuk tidur, malam berlalu haripun berganti pagi. Terbangun Dipertuan Rajo Mudo, kemudian berserta pengiring hendak melakukan perjalanan lagi, dimulai menyebrangi sungai pada saat menyebrang itu kelihatanlah sepotong “puntiang/puntuang” (potongan kayu sudah dibakar) hanyut mengiliri air sungai. Maka berkata Dipatuan Rajo Mudo kepada pengiringnya “kalau ada punting hayut berarti ada kampung di hulu sungai ini, setidaknya ada orang yang tinggal di sana”.
Mumpakat Dipatuan Rajo Mudo dengan pengiring untuk memudiki sungai, setelah lama berjalan sampailah dipertengahan Bukit Nibuang nampak segumpal asap yang membubung ke langit, oleh Dipatuan Rajo Mudo dituruni Bukit Nibuang kemudian didekati tempat itu. Ternyata sesampai mereka di situ dua orang laki-laki dan perempuan langsung memyambah (menyembah) meminta ampun kepadanya.
Sumber: Adat Monografi Nagari Palangai.
- Bagian #1 Datuk Perpatih Nan Sabatang: Menyamar Mengkritisi Undang-undang di Pariangan, dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai | Zera Permana - 11 Februari 2024
- Kembalinya Dt. Perpatih Nan Sebatang Menemui Dt. Katumanggungan dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai: Zera Permana - 21 Januari 2024
- Seri Punago Rimbun: Datuk Parapatiah Nan Sabatang Tokoh Besar Minangkabau dalam Sejarah Tambo Bongka Nan Piawai | Zera Permana - 14 Januari 2024
Discussion about this post