Di sebelah toko jam terdapatlah toko parfum. Pemiliknya adalah seorang perempuan yang sudah bercerai dan belum memiliki anak. Konon itulah sebab utama dia diceraikan suaminya, karena dia tidak bisa memberikan anak, meskipun tidak pernah ada pembuktian siapakah di antara pasangan itu yang mandul. Disebabkan adat-kebiasaan bahwa perempuan sebaiknya diam di rumah, perempuan satu ini juga tak bisa mengembangkan usahanya sendiri. Baru setelah bercerai dia punya kebebasan untuk berusaha. Maka setelah beberapa lama menganggur, dia menyewa tempat di dekat perempatan di mana terdapat lampu lalu lintas, lalu membuka toko parfum.
Seorang tukang cerita sering membincangkan perempuan ini. Bukan karena si perempuan seorang janda, melainkan soal kenyataan bahwa kadang hidup berdua justru membuat kita jadi lebih lemah. Gagasan ini kerap menyebabkan terjadinya perdebatan, dan dalam perdebatan itu yang paling sering dicari adalah siapa yang bersalah. Seperti umumnya dalam pembicaraan yang tidak direncanakan, mencari siapa yang bersalah bukanlah perkara mudah, sementara topik yang dibicarakan bisa melompat-lompat tanpa kendali; dari cerita hidup si perempuan tukang parfum sampai hantu Noni Belanda yang dikabarkan sering muncul di jembatan. Satu hal yang pasti si tukang cerita tak pernah bercerita di depan toko parfum. Dia berkumpul dan berbincang dengan orang-orang di sebelah toko parfum.
Di sebelah toko parfum terdapatlah toko roti, di situlah tukang cerita suka berkumpul. Pemilik toko roti adalah seorang lelaki yang juga sudah bercerai dan belum memiliki anak. Dia senang orang-orang berkumpul di depan tokonya terutama ketika orang-orang itu berbicara tentang hantu Noni Belanda. Konon, si Noni Belanda bunuh diri dengan cara menelan racun yang dituang ke botol parfum lantaran cintanya pada seorang pemuda pribumi mendapat tantangan dari keluarganya. Si pemuda pribumi adalah kakek pemilik roti. Tidak ada yang betul-betul percaya pada pengakuan si pemilik roti perihal kakeknya itu, tapi tak seorang pun yang mengakui itu, termasuk si tukang cerita.
Satu-satunya orang yang percaya hanyalah perempuan tukang parfum. Namun dia juga tidak pernah mengatakan itu, dia justru mengatakan yang sebaliknya. Seorang pelanggannya pernah bilang, “Tukang roti itu bohong. Tapi ini bukan kata saya, lho, ini kata tukang parfum.” Waktu itu si pelanggan sedang berbicara dengan pasangannya ketika mereka berkencan dan pasangannya menanyakan parfum apa yang dipakainya.
Mereka berkencan di sebuah tempat hiburan yang baru dibuka di areal yang dulunya adalah sebuah pasar. Ramai sekali orang datang pada malam pembukaan. Aneka hiburan -sirkus, tong setan, layar tancap, karaoke, atau adu panco- dihadirkan. Kedai yang juga baru dibuka di kawasan itu jadi penuh pengunjung. Di ruang yang sama tempat sepasang kekasih itu duduk hadir juga si tukang roti, si tukang parfum, dan si tukang cerita. Masing-masing mereka membawa pasangannya, dan selain berkomentar tentang tempat baru itu, mereka juga bercerita tentang banyak hal; si tukang roti berbicara pada pasangannya tentang Noni Belanda, si tukang parfum berbicara pada pasangannya tentang si tukang roti, sementara si tukang cerita berbicara pada pasangannya tentang tukang roti dan tukang parfum. Pasangan-pasangan mereka sebetulnya tak tertarik dengan cerita-cerita itu. Mereka berusaha mengalihkan pembicaraan, tapi nyaris tak ada yang berhasil.
“Harusnya malam ini ada pertunjukan balet ya,” ujar pasangan tukang roti.
“Noni Belanda juga pernah bercita-cita jadi penari balet,” jawab tukang roti.
“Kenapa kau selalu bicara tentang Noni itu?”
“Itu kisah cinta yang bagus. Seperti Romeo dan Julia. Bisa jadi suri tauladan kita.”
“Apa tidak sebaiknya kau pesan roti yang tersedia di menu dan membandingkannya dengan roti buatanmu?”
“Untuk apa? Aku tahu pasti bahwa roti buatanku lebih enak. Kalau Noni Belanda mencicipi roti buatanku, dia bisa jatuh cinta padaku.”
“Kalau Noni setan itu ada di sini akan kutumbuk kepalanya lalu kupakai jadi pakan burung betet.”
“Hus. Kekerasan adalah yang ditentang oleh Noni Belanda sampai dia rela menenggak racun.”
“Itu karena dia bodoh. Mungkin dia juga tak pernah melihat burung betet. Kalau dia melihat burung betet mungkin dia akan mengira itu jenis burung lain.”
“Aduh. Kau tidak punya kesadaran sejarah.” “Aku tak butuh sejarah untuk memahami kebodohan. Kalau kau mau menemui Noni setan itu kenapa tidak lompat saja dari jembatan? ”
“Jadi begini. Dulu, di kota ini hiduplah suatu keluarga Belanda ….”
Tukang roti dan pasangannya terus berbincang dan berdebat sampai tengah malam di mana hampir semua pengunjung pulang dan pemilik usaha hiburan itu bahkan mungkin sudah tidur dan bermimpi tentang kesuksesan usahanya. Mereka terpaksa berhenti karena para pelayan kedai memberi isyarat dengan mematikan lampu-lampu. Ketika mereka beranjak keluar, di pintu mereka melihat tukang parfum dan tukang cerita bersama pasangan mereka masing-masing. Sambil berjalan seluruh kawanan itu bercakap-cakap seolah mereka tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun. Jalanan sudah berangsur-angsur sepi. Sebagian lampu merkuri berkedip-kedip. Kawanan itu berbicara keras-keras sehingga suara mereka serasa menjelma pisau yang merobek-robek kesunyian. Namun mendadak, persis di tengah-tengah jembatan, mereka semua terdiam. Di hadapan mereka berdiri seorang perempuan.
Perempuan ini mengenakan gaun lama yang lebar bagian bawahnya dan gelembung di bagian pundak. Di kepalanya hinggap sebuah topi bundar sementara di tangannya tergenggam sebuah botol kecil, mirip botol parfum. Seekor burung hinggap di pundak kirinya.
“Noni Belanda..” bisik tukang parfum pada pasangan tukang roti.
“Bukan,” kata tukang roti pada tukang cerita.
“Burung apa di pundaknya itu?” tanya tukang parfum.
“Burung betet,” jawab pasangan tukang parfum.
“Bukan,” bantah pasangan tukang roti.
“Itu burung..”
“Ssst..” potong tukang cerita manakala melihat perempuan di depan mereka memalingkan muka dan menatap mereka satu persatu. Di bawah terpaan lampu jalan yang berkedip-kedip, wajah perempuan itu tampak demikian memukau, sampai-sampai tukang cerita dan pasangannya gemetar badannya, tukang parfum dan pasangannya membeku seperti kena kutuk ibunya, dan tukang roti tersedu-sedu seakan baru saja bermimpi bertemu nabi. Hanya pasangan tukang roti yang biasa-biasa saja. Dia bilang, “Sepertinya dia berbakat jadi penari balet.”
“Sudah kubilang dia bukan Noni Belanda. Noni Belanda tidak membawa burung,” bantah tukang roti sambil tetap tersedu-sedu.
“Hai, Noni. Kalau boleh tahu kenapa kau berdiri di jembatan dan seperti menghadang kami?”
Perempuan itu tidak menjawab. Pasangan tukang cerita berbisik pada tukang roti, “Saya pernah lihat dia. Bukankah dia anak pemilik toko jam tak jauh dari toko rotimu?” Tukang roti tidak menjawab, dia masih tersedu-sedu.
“Bukan,” jawab tukang parfum.
“Wajahnya lebih mirip pelanggan saya,” kata tukang parfum.
“Oh, pelanggan yang padanya kau bercerita kalau kau tidak percaya pada si tukang roti?” tanya pasangan si tukang roti. Tukang parfum dan tukang roti terkinjat. “Dari mana kau tahu?” tanya tukang roti. “Lho, jadi kau sudah tahu?” tanya tukang parfum pada tukang roti.
“Ssstt,” seru tukang cerita.
“Lihat. Dia mau menghampiri kita.”
Perempuan itu tidak menjawab. Pasangan tukang cerita berbisik pada tukang roti, “Saya pernah lihat dia. Bukankah dia anak pemilik toko jam tak jauh dari toko rotimu?” Tukang roti tidak menjawab, dia masih tersedu-sedu.
“Bukan,” jawab tukang parfum.
“Wajahnya lebih mirip pelanggan saya,” kata tukang parfum.
“Oh, pelanggan yang padanya kau bercerita kalau kau tidak percaya pada si tukang roti?” tanya pasangan si tukang roti. Tukang parfum dan tukang roti terkinjat. “Dari mana kau tahu?” tanya tukang roti. “Lho, jadi kau sudah tahu?” tanya tukang parfum pada tukang roti.
“Ssstt,” seru tukang cerita.
“Lihat. Dia mau menghampiri kita.”
Perempuan yang belum jelas identitasnya itu memang seperti mendekat, membuat kawanan itu bergerak mundur. Melihat kawanan itu mundur si perempuan berhenti. Botol kecil di tangannya disodorkan ke arah burung yang langsung mengambil dengan paruhnya dan menenggak isi botol tersebut. Setelah itu botol dikembalikan ke tangan si perempuan.
“Siapa yang bertanya tadi?” tanyanya tiba-tiba. Suaranya bening seperti arak api. Sesaat tak ada jawab. Si tukang parfum mengangkat tangannya, “Saya!”
Pasangan tukang roti menimpali, “Bohong! Saya yang tadi bertanya!”
“Bohong. Saya yang tadi bertanya!” seru pasangan tukang parfum.
“Bukan. Itu tadi suara saya!” seru pasangan tukang cerita.
“Noni pasti ingat kalau yang bertanya tadi jelas adalah saya!” bantah tukang cerita.
Sementara tukang roti dalam sedu-sedannya mencoba mengingat-ingat siapa yang tadi bertanya dan dia seperti dirasuki suatu keyakinan bahwa itu tiada lain adalah dirinya. Tapi sebelum dia ikut-ikutan berseru, perempuan di hadapan mereka sudah memotong.
“Sebetulnya tidak penting siapa yang bertanya tadi, yang penting justru adalah pertanyaan yang mau saya ajukan ini. Saya mau bertanya dan siapa saja boleh menjawab. Begini, saya sedang mencari seseorang yang bertanggung jawab atas semua ini. Saya tahu kalian semua, sekarang atau nanti, juga akan mencari siapa yang bertanggung jawab. Orang yang saya cari inilah yang harus bertanggung jawab. Sekarang perhatikan baik-baik pertanyaan saya, adakah di antara kalian yang bernama Kiki?”
Entah mengapa kata terakhir dari kalimat perempuan itu seakan-akan memisahkan diri dari keseluruhan kalimat, lalu meloncat di besi pagar jembatan, memantul-mantul seperti bola bekel, terjun ke sungai, lalu terlontar lagi ke atas, menimbulkan gema yang kian panjang dan tak selesai-selesai. Seluruh anggota kawanan itu terdiam, saling menatap seakan baru menyadari bahwa tak ada satu pun di antara mereka yang tahu nama yang lainnya. Bahkan lebih jauh lagi, sekarang mereka sadar, tak satu pun di antara mereka yang betul-betul punya nama.
***
Kekalik, 6 Maret 2021
Kiki Sulistyo lahir di Kota Ampenan, Lombok. Kumpulan cerpennya berjudul Belfegor dan Para Penambang (Basabasi, 2017). Ia mengelola Komunitas Akarpohon, di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
— Kiki Sulistyo, Noni Belanda Cerpen
Discussion about this post