
(Poto: Raudal Tanjung Banua)
Siapa sekarang yang masih mengingat perannya? Sebuah pulau kecil dengan masa lalu yang besar. Apakah nama pulaunya dan di manakah ia berada? Namanya Pulau Cingkuk, atau Cingkuak dalam aksen masyarakat setempat. Terletak sekitar 1,5 km di muka Kota Painan, ibukota Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Meski pulau kecil itu eksis berabad silam, tapi namanya yang seharusnya melegenda dilewati oleh nama-nama destinasi baru yang sedang tumbuh, seperti Pantai Carocok atau Bukit Langkisau, terlebih kawasan Mandeh (sekitar 25 km ke utara). Sekarang ditambah masjid terapung Samudera Illahi di Carocok. Bahkan dalam pengembangan kawasan wisata Painan, dengan konsep “Pacar Bulan” (Panasahan, Carocok dan Bukit Langkisau), Pulau Cingkuk tidak termasuk. Ironis.
Apakah lantaran Pulau Cingkuk memendam sejarah besar, sehingga wisatawan umum menganggapnya sebagai beban? Tentu ironi yang lebih besar lagi jika begitu.

(Poto: Raudal Tanjung Banua)
Justru karena peran besar itu, Pemda Pessel mesti berupaya mengangkat marwahnya. Misal dengan label: wisata minat khusus. Selama ini orang menyeberang ke Pulau Cingkuk hanya ingin menikmati pantai dan laut. Padahal di balik rimbunnya pohon kelapa, cengkeh dan keluwih, tersimpan kisah-kisah bersejarah. Bukti sejarah itu masih tersisa berupa reruntuhan dermaga, benteng, sumur dan makam tua.
Peran Besar Pulau Kecil
Pantai barat Sumatera dianugerahi begitu banyak pulau kecil yang menyebar tak jauh dari pantai. Ini tidak termasuk pulau atau kepulauan besar seperti Simalue, Nias, Batu, Mentawai atau Enggano, yang memiliki gugus kepulauannya sendiri. Pulau kecil lepas pantai itu menyebar dan jumlahnya ratusan.
Di Sumatera Barat saja dapat direntang: Pulau Panjang, Angso Duo, Pulau Pandan, Pulau Setan, Pasumpahan, Pulau Pisang, Pulau Awuh, Pulau Penyu, Katang-Katang, Kiabak Besar, Kiabak Kecil dan seterusnya. Di antara pulau sebanyak itu, terdapat pulau yang menyimpan jejak sejarah kolonial di masa lampau.
Ya, pulau-pulau ini ambil bagian dalam dinamika sejarah pantai barat. Ketika kolonial Belanda mulai bertungkus-lumus dengan adminstrasi Sumatras Wesktuts-nya, sejumlah kawasan dibagi secara adiminstratif dalam bentuk residen. Sejumlah pulau kecil di pantai barat ikut difungsikan, seperti Pulau Karang di Barus, Pulau Poncan di Sibolga, Pulau Panjang di Air Bangis, Pulau Pisang di Padang dan Pulau Pisang di lepas pantai Krui, Lampung.
Pulau Cingkuk memegang peranan vital jauh lebih awal. Pasca mondar-mandir di pantai Aceh mencari lada, VOC yang merasa diacuhkan Aceh akhirnya memutuskan turun ke Tiku dan Pariaman, lalu Indrapura dan Bandarsepuluh. Namun di Pulau Cingkuklah armada VOC benar-benar sandar, tidak sekedar singgah. Tahun 1662 mereka mulai membangun infrastruktur berupa tempat tinggal, gudang dan kantor atau lazim disebut loji.
Terbukanya hubungan dengan Kesultanan Indrapura, membuat VOC makin yakin dengan keputusannya bermukim di pulau kecil ini. Tambang emas di Gunung Harun Salido serta emas yang dibawa turun dari Sungai Pagu, kian menguatkan basis pertahanan dan ekonomi puak kulit putih. Untuk mempermudah urusan dengan tanah tepi, terutama dalam upaya mengumpulkan lada, mereka membuka perwakilan di Salido.
Meski ada pos Salido di daratan Sumatera, Pulau Cingkuak tetap sebagai tempat mukim yang aman, terutama dari ancaman Perang Bayang. Pulau Cingkuk dan Salido dijadikan satu residensi. Mereka membuka akses dagang ke selatan, yakni Batangkapas, sebagai bagian penting konfederasi Bandar Sepuluh. Lama-kelamaan, mereka buka akses dengan semua Bandar Sepuluh, selain Batangkapas, adalah Taluk, Taratak, Surantih, Ampingparak, Kambang, Punggasan, Sungai Tunu, Pelangai dan Air Haji.
Tak kalah penting tentu saja ekspedisi ke utara, dari Bayang, Tarusan sampai ke Padang, Pariaman, Tiku hingga Air Bangis, Natal bahkan Barus. Setelah Perjanjian Painan (1663) praktis VOC makin leluasa bergerak ke utara untuk selanjutnya merangsek masuk ke pedalaman Minangkabau melalui Perang Paderi.
Dinamika Pulau Cingkuak
Pulau Cingkuk menjadi saksi perebutan kekuasaan, politik dan perdagangan antara Belanda, Inggris, Aceh, Indrapura dan Bandarsepuluh. Sejak VOC mendirikan loji 1662 yang kemudian dilengkapi dengan benteng pertahanan, pulau ini dijadikan sentra pengumpul lada, komoditi penting pantai barat Sumatera abad ke-16/17. Emas Salido, Sungai Pagu dan emas dari Minangkabau lainnya ditransaksikan di sini. Kapas, garam dan kain, juga ditumpuk untuk didistribusikan di jalur-jalur perdagangan.
Para pembesar penting VOC tercatat pernah berkantor di Pulau Cingkuk. Mulai Groenewegen yang disebut Amran Rusli (1981) lebih berjiwa diplomat ketimbang pedagang, Jacob Gruys yang pemberangsang (tempremental) sehingga tewas dihajar rakyat Pauh, kemudian Verspreet (komandan militer) bersama Jacob Pits semacam kepala dagang (permanent opperhoofd). Bersama Verspreet dan Pits, ikut singgah pula dua orang tokoh kontroversial Nusantara, Aru Palaka dan Kapten Jonker.
Kedua pribumi ini diminta mengepalai pasukan Bugis dan Ambon, dan keduanya nanti pindah ke Ulakan dan Pariaman setelah daerah itu, termasuk Pauh, berhasil ditaklukkan—yang strateginya dirumuskan di Pulau Cingkuk. Terakhir pejabat yang cukup dikenal adalah Thomas van Kempen yang istrinya, Susanna atau Madame van Kampen, wafat di sana dan makamnya masih ada sampai sekarang. Nama dan tarikh makam ini ditulis dalam bahasa Prancis, sebab ketika dibangun ulang oleh anak-cucu mendiang Susanna (1911), Eropa sedang di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.

(Poto: Raudal Tanjung Banua)
Inggris masuk Pulau Cingkuk pada masa jabatan van Kampen ini, 16 Agustus 1781. Pasukan Inggris datang dari Bengkulu menggunakan bendera Belanda dan Prancis (sekutu VOC). Van Kampen dan pasukannya yang dikelabui takluk. Menurut catatan, Inggris menguasai Pulau Cingkuk dua periode: tiga tahun pada periode pertama (1781-1784) dan 29 tahun pada periode kedua (1795-1824) (Syofiardi Bachyul Jb, 107: 2017).
Perjanjian Painan yang membuka jalan bagi VOC untuk merangsek lebih jauh ke pedalaman Minangkabau juga dimatangkan di pulau ini—setelah sebelumnya dirancang di Teluk Tempurung, pulau kecil lain di Batangkapas (1662) sehingga terkenal dengan sebutan “Sandiwara Batangkapas”—lalu dibawa dan ditandatangani di Batavia oleh wakil-wakil Indrapura, Bandarsepuluh dan Minangkabau. Praktis, sejak VOC berkantor di Pulau Cingkuk, tokoh-tokoh penting datang silih-berganti.
Kelak setelah Belanda memindahkan pusat kekuasaannya ke Padang, Pulau Cingkuak tetap mendapat peranan sebagai comptoirs (pusat dagang) Sumatras Weskut bersama Air Haji, Air Bangis dan Barus (Gusti Asnan, 2006: 16).
Mengenai bangsa Portugis, beberapa pihak meragukan bahwa Portugis pernah berperan di Pulau Cingkuak. Dalam catatan sejarah tidak ada disebutkan Portugis di pantai barat Sumatera, kecuali tenggelamnya sebuah kapal Portugis di Tiku pada abad ke-15. Anggapan itu kemungkinan timbul karena nama Portugis begitu santer dikenal sejak kaum “Sipitokah” itu berhasil menguasai Malaka. Sampai-sampai Silukah di hulu Batang Sumpur yang berhubungan dengan Sungai Kampar dinamakan “Malaka Ketek” sebab menjadi pusat dagang berbagai hasil bumi.
Menurut Syofiardi Bachyul, jatuhnya Malaka ke tangan Portugis mengubah jalur kapal bangsa kulit putih lainnya (Belanda, Inggris, Prancis) dari pantai timur ke pantai barat. Akibatnya, masyarakat mungkin menganggap semua orang kulit putih sebagai orang Portugis. Tapi bisa pula penamaan “Paulo Chinco” seperti tertera pada peta abad ke-17 atau “Plo Chinco” pada peta abad ke-18, ditulis oleh petugas administrasi VOC yang memang berkebangsaan Portugis (2017: 95).
Ini klop dengan catatan Rusli Amran sebagaimana dinukil Agus Yusuf yang menyebut bahwa Belanda pernah mendatangkan orang Portugis dari Batavia sebagai administratur di Pulau Cingkuk (Yusuf, 2006). Karena itu, jika belakangan ada pula yang bilang bahwa “Chinco” itu artinya “Cheng Hoo”, Laksmana Laut Cina yang beberapa kali melakukan ekspedisi ke Nusantara, alamat kajian bertambah panjang lagi.
Yang jelas, terlepas dari semua itu, sementara ini Cingkuk sangat mungkin berasal dari sebutan warga setempat atas banyaknya monyet ekor panjang berbulu abu-abu gelap (tranchypitechus cristatus) (Bachyul, 2017: 94).
Raja Indrapura dan Utusan Raja Minangkabau
Raja Indrapura, Muhammadsyah dan ayahnya Malafarsyah (yang digelari Raja Tua) tercatat bolak-balik ke Pulau Cingkuk, bahkan pernah harus tinggal lama. Saat itu, Indrapura diwarnai gunjang-ganjing “kudeta” oleh Raja Adil. Belanda memberi bantuan dengan syarat Indrapura menolak berdagang dengan Aceh.
Demi memenuhi syarat itu, dua kapal Aceh yang ditangkap Indrapura (atas bantuan Belanda) ditenggelamkan dan semua awaknya dibunuh. Setelah itu, Belanda membantu Indrapura mengusir Raja Adil dan pengikutnya ke Majunto. Barulah setelah itu raja Indrapura kembali ke istana.
Namun beberapa waktu kemudian, gangguan Raja Adil mengantarnya kembali ke Pulau Cingkuk. Kali ini dengan iming-iming lebih besar kepada Belanda, yakni monopoli perdagangan emas dan lada. Itu berlangsung dalam kepemimpinan Gronewegen.
Nur Sutan Iskandar mengisahkan dalam novelnya, Hulubalang Raja (1934): “Kebetulan pada penghabisan bulan Februari kedua sultan itu tiba di Pulau Cingkuk beserta dua puluh orang menteri yang masih setia kepadanya. Seketika itu juga diadakanlah majelis persidangan di dalam benteng” (cet. Ke-13/1993: 87).
Setelah Gronowegen purnatugas, penggantinya, Verspreet, mengambil jalan berbeda. Ketika Sultan Malfarsyah kembali datang minta bantuan untuk melawan Raja Adil, Verspreet menolak. Ia tahu bahwa rakyat tidak menyukai Malfarsyah karena selalu mengganggu pemerintahan Raja Muhammadsyah, anaknya, yang memang masih muda. Maka diputuskanlah bahwa Raja Adil dibiarkan memerintah di Majunto, Muhammadsyah jadi raja sepenuhnya di Indrapura dan Malfarsyah dilarang mengganggu tahta anaknya (Rusli Amran, 1981: 197).
Utusan Raja Minangkabau juga pernah menginjakkan kaki di Pulau Cingkuk. Adalah Sri Maharajo Lelo dan Paduko Rajo yang datang tanggal 28 Januari 1667 menghadap Verspreet (Amran, 1981: 192). Kedatangan ini membuka kerjasama simbiosa-mutualisma antara VOC dan Raja Minangkabau.

Lebih dari sekedar tempat mengumpulkan komoditi, Pulau Cingkuk terbukti sebagai tempat mengatur strategi. Dari sinilah upaya menguasai pantai barat diatur dengan memanfaatkan tiap kesempatan. Antara lain intrik di Kesultanan Indrapura, di mana dua pangeran saling bersengketa. Memanfaatkan ketidaksukaan pialang Minang yang tak senang dengan pialang Aceh, serta mempertajam intrik Padang-Pauh dan seterusnya.
Melihat jejak langkah ini, Pulau Cingkuk memiliki persinggungan yang riil dengan dinamika dan pergolakan pantai barat Sumatera. Karena itu jelas, Pulau Cingkuk bukanlah “ketimun bungkuk” dalam karung-karung sejarah pantai barat Sumatera. “Ketimun bungkuk” artinya, ketimun yang tetap dimasukkan ke dalam karung saat panen, namun tidak “masuk hitungan” ketika dipilih dan dipilah untuk dijual atau didistribusikan.
Bila kita menghayati sejarah, Pulau Cingkuk mestinya tak sesedih itu.
Penulis, Raudal Tanjung Banua, penikmat sejarah, tinggal di Yogyakarta
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post