
Pada Sebuah Resepsi Perkabungan
tenda itu, memanglah biru warnanya ataukah ini sekadar konstelasi
mata yang berkaca-kaca, berbaur dengan cahaya
gemerlapan dari lampu tarub perkawinan? di antara gelegar
sound sistem melantunkan lagu “pengantin baru”,
wajah-wajah berseliweran & salam-salam yang kau tampani
telapak demi telapak, rasa asing menyunting sunyi jiwaku.
di sini, aku adalah kemurungan yang kikuk, duduk di antara
berpasang-pasang mata menatapku dengan iba,
serta hiruk pikuk euforia yang terkutuk sekaligus mengutukku.
bolehkah kuning pada janur yang melengkung itu
kumaknai sebagai warna bendera perkabungan?
sebab, bukankah hidup tanpamu adalah juga kematian?
haruskah aku mengulas senyum penuh arti, menjabat tanganmu
seraya berkata “samawa” pada resepsi perkabungan ini?
Kenyataannya, aku hanya mampu diam tergugu sebab memang
tak ada kalimat yang cukup pilu untuk menyatakan segenap lukaku.
Sementara di sana, kau duduk bersanding bersenda gurau,
di sini aku duduk-menunduk, bergeming & ingin teriak parau,
ketika seorang pewara di sudut sana mulai memanggil
sejumlah nama-nama dalam sesi foto bersama
— yang tentu, namaku tak akan tersebut dalam daftarnya.
Malang, 2021
Jawaban
— AP
Kau bertanya padaku apa itu cinta, aku coba menjelaskan: cinta adalah erang seorang perempuan yang mengejan sepenuh tenaga dalam sebuah ruang bersalin; bermandi keringat dingin. sementara suaminya duduk di samping ranjangnya sambil meringis menahan sakit ketika satu lengannya ia relakan untuk digigit.
Kau bertanya padaku apa itu rindu, aku coba menjabarkan: rindu adalah mata seorang perempuan yang merah & gatal lantaran kantuk telah menumpuk di balik pelupuk, memelototi layar televisi sambil berkali-kali memeriksa notifikasi, beberapa kali melakukan panggilan sedang suaminya masih saja di luar jangkauan.
Tetapi, kau masih terus bertanya padaku, “apa itu cinta & apa itu rindu”. Maka kudekatkan bibirku pada keningmu, kurapatkan tubuhmu pada tubuhku. Suatu saat, bila aku tak ada, degup jantung kita yang berdetak satu irama & kehangatan yang tak terjangkau kemegahan kata-kata, akan menjadi sebuah jawaban bagi pertanyaanmu dengan sendirinya.
Malang, 2021
Muasal
Pada mulanya adalah pertanyaan tentang hakikat kesetiaan,
“Haruskah aku bersujud selain kepada Engkau?”
“Ya, sebuah kesetiaan harus dikultuskan!” ujar-Nya
“Apa saja, asal tidak untuk berlutut
di bawah kaki manusia!” jawabnya lugas.
Saat itu, untuk pertama kalinya,
kesetiaan & penghianatan seperti lidahnya
yang tiba-tiba telah dibelah bercabang dua.
Ia lalu melata, menyeret tubuhnya
yang lembab & bersisik sambil mendesiskan
syahwat dendam & kebencian.
Ia tahu, perempuan jelmaan rusuk itu rawan patah & goyah,
sementara lelaki itu terlampau mencintainya
— paduan yang setara untuk menciptakan malapetaka.
Suatu waktu, pada hari & bulan
yang belum tercatat pada penanggalan,
ia menyepuh kulit buah ara yang bergelantung pada ranting
pohon terlarang, menjadi lebih merah & menantang
hingga perempuan itu tergoda & memagut daging buahnya
Mereka berdua lalu termentahkan dari hijau
rumput surga, tinggal di bumi, kawin, & beranak pinak
yang darinya darah-darah akan terus membelicak.
Setelah itu, kutukan & pengusiran
yang bersisik di tubuhnya, masihlah rahim
yang akan melahirkan dendam berlarut-larut.
Malang, 2021
Pada Sebait Parit Kecil
Kau kini, ikan sepat di ambang sekarat.
Kepayang terkena gendam getah tuba
pada sebait parit kecil tempat
ikan-ikan merawikan gelagat musim.
Parit yang memanjang seturut pematang,
mengalir jauh menuju induk sungai
masa kanakmu—yang kini
tak lagi mampu tertempuh oleh waktu.
Malang, 2021
Serenade
Kapan lagi kita akan bersua, mengasuh rasa dan mengasah
belati bermata cinta yang dimajalkan oleh waktu?
dikaratkan suhu yang berhembus dari kelembaban rindu?
Sementara langit sore hari tak lagi meronakan warna kirmizi,
sedang malam akan selalu menjadi mimpi buruk sebab kau-aku:
sepasang daratan-teluk yang masih menanti saling bertepuk.
Aku tak tahu ke mana arah bintang-bintang di angkasa
berziarah, ke mana rembulan biru sapir berpelesir,
ke masing-masing dada kitakah? Jazirah di mana desir menjadi sir?
Kini, aku seorang kelasi, menurunkan layar dan menambatkan
sauh dalam diri ke jantung karang sunyi. Duduk di buritan,
menembangkan lagu-lagu kerinduan bagi kau yang jauh di pulau.
Kubayangkan suara gelegar ombak itu sebagai sepasang lenganmu
yang menyabuk di pinggangku dan mengacak-ngacak kusut rambutku.
Kapan lagi kita akan bertemu, merangkai kenangan-kenangan
yang terberai, mengemasnya dalam peti harta karun;
sesuatu yang sama kita tunggu, sebab kita kini seorang lanun?
Malang, 2021

Yohan Fikri M, lahir di Ponorogo, November 1998. Mahasiswa di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Sastra Langit Malam. Puisinya dimuat di berbagai media dan antologi bersama, antara lain: Antologi Puisi Banjarbaru Rainy Day Literary Festival 2020 (2020) Perjamuan Perempuan Tanah Garam (2020), dan Yang Tersisa dari Surabaya (2020). Bukunya yang bakal terbit bertajuk “Tanbihat Sebuah Perjalanan.” Dapat dihubungi melalui akun instagramnya @yohan_fvckry.
- Puisi-puisi Kiki Nofrijum | Magrib Macet - 30 September 2023
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
Discussion about this post