Meski dari kejauhan, sungguh, menatap Rinjani dalam dekapan langit cerah merupakan kebahagiaan. Anggun memesona. Bahkan ia semakin tampak memesona jika awan tipis menyaput pandangan. Paling tidak, bagiku seorang. Sebab, dari kakinyalah angan dan jiwa ini terbangunkan. Begitulah, selalu ada cara Tuhan untuk memberikan anugerah kepada seseorang.
Nung! Harus kuakui bahwa aku selalu mengenangnya. Aku mengenangnya seumpama putra-putri negeri mengenang para pahlawan yang telah membebaskan kehidupan dari belenggu penjajahan. Aku mengenangnya sebagaimana petani mengenang hujan di musim kemarau. Aku mengenangnya seperti kematian mengenang kehidupan.
Langit cerah kala itu, aku melalui jalan setapak di depan rumahnya. Tanpa sengaja tatapanku menerpa raga yang mulai beranjak dewasa itu. Ia sedang menimba air di sumur samping dapurnya. Sekejap mataku nakal menatap tubuhnya yang tampak anggun dengan balutan jilbab warna biru langit memanjang sampai ke pinggul, berpadu dengan blus pink pastel hingga ke bawah lutut. Entah! Tiba-tiba ada desiran-desiran halus mengendap-endap meraba jantungku, lalu dengan segera menjadi gemuruh, dan bersama gemuruh itulah aku menjejakkan langkah kaki ke hadapanku. Padahal ia tak melihatku ketika itu.
Hari-hari setelah itu menjadi hari-hari yang tak biasa bagiku. Gelisah kadang menyergap. Harapan seringkali jauh hadir melampaui nalar. Dan itu menyiksa batinku. Masih kuingat saat itu usiaku baru menginjak tujuh belas tahun. Dan dalam kebingungan, aku bertanya pada keheningan, adakah ini anugerah atau cobaan.
Maka sejak itu, kehidupanku terasa menjadi lebih berwarna. Jiwa masa mudaku yang tadinya diliputi keheningan seolah rekah seperti kuncup mentari di pagi hari. Ia hadir menyibak kegelapan, memberi kehangatan bagi kehidupan yang tadinya menggigil kedinginan. Namun di sisi lain, sinar terangnya turut menyengat raga, dalam waktu yang bersamaan, atau rentang yang berdekatan.
“Cinta?” tanyanya keheranan.
“Ya. Aku mencintaimu,” jawabku kemudian.
Ia diam setelah itu. Aku pun diam, termangu menunggu jawabnya. Tapi malam itu tak ada jawaban darinya. Masih terngiang di telingaku lengkingan suara jangkrik di depan beranda rumahnya, yang seolah-olah menertawai kepandiranku. Ah, ia hanyalah binatang kecil yang berteriak nyaring saat kegelapan tiba. Ia tak tahu bahwa beban berat yang dipikul oleh jiwaku telah tumpah saat itu juga. Begitu pikirku mencoba menghibur diri.
Tapi, seminggu yang ia janjikan adalah beban lain yang menyiksa keluguan masa mudaku. Harapan dan ketakutan berbaur menjadi satu. Dan ingatan tentang dirinya seolah melingkupi seluruh kehidupanku.
“Tidak!” katanya.
“Tidak?” tanyaku.
“Jiwa dan jasad wanita hanya menerima sekeping cinta.”
Kalimat itu terucap dengan begitu sopan dari bibirnya. Halus, lembut, dan terasa berat, seolah ada sesuatu yang membebani dirinya. Namun bagiku, jawaban lembut itu terasa bagaikan martir yang menghujam jiwaku.
Ah, Nung! Hari-hari setelah penolakan itu seperti tak punya arti bagiku. Berhari-hari aku hanya tidur dan berjalan selayaknya orang gila. Buku-buku yang kubaca tak ada yang mengena. Makanan pun terasa berat melewati tenggorokanku. Pupus segala angan. Sirna segala impian. Harapan hanya tersua dinding terjal di pinggir tebing.
Cukup lama aku menjadi ‘gila’ karena itu, hingga Tuhan pada akhirnya mengasihaniku melalui tangan wanita lain dalam rupa seorang Ibu. Bukan dengan sabda-sabda, tapi dengan kasih-sayang dan kesabaran. Dan itu telah ia tunjukkan sedari dahulu. Entah mengapa, aku baru menyadarinya ketika itu.
Hampir sepuluh tahun takdir membawaku ke pulau seberang. Pahit dan manis kureguk dalam kehidupan. Tapi selayaknya hidup di perantauan, jarak dan perpisahan selalu saja membisikkan kerinduan pada tanah kelahiran. Itulah kenapa aku selalu menatap ke arah di mana Rinjani berada. Dan setiap kali aku menoleh ke arah sana, aku selalu berdoa, semoga Nung selalu bahagia.
Roda kehidupan masih terus berputar. Kereot-nya kadang menenangkan, kadang memilukan, kadang pula membingungkan. Hari ini mungkin tersua kebahagiaan, esok lusa bisa jadi derita datang menyapa. Dan untuk kehidupanku, aku merasa, Nung-lah yang membuatnya berputar lebih dari yang semestinya. Nung-lah yang membuatnya menjadi lebih bermakna. Dia yang membuka Pandora. Dia yang memberiku gemuruh di jiwa. Dan melaui dialah Tuhan memberiku pelita.
Aku baru saja kembali dari tugas menghadiri akad pernikahan dua pasang pengantin yang menikah hari ini, ketika tiba-tiba seorang petugas jasa ekspedisi datang ke kantorku. Secara kebetulan kami tiba hampir bersamaan di ambang gerbang. Setelah memarkir kendaraan, aku mendekati dan menyalaminya. Kusilakan ia masuk, namun ia menolak dengan gestur yang cukup sopan. Ia kemudian menanyakan namaku dan aku mengaku diri. Ia lalu memberiku sebuah paket kiriman berupa bingkisan yang dibungkus rapi sedemikian rupa, sembari menyodorkan ponselnya, untuk kemudian memintaku menggores tanda tanganku di layar ponsel itu, dengan jariku. Aku memenuhi permintaan itu dan tak lupa menyampaikan terima kasihku kepadanya. Dan tak berapa lama kemudian, ia pun pergi meninggalkan kantorku. Bau mesin kendaraan yang ditungganginya menyengat hidung.
Tapi, fakta bahwa aku tak merasa pernah memesan atau membeli barang secara daring dalam satu atau dua minggu terakhir ini, menghadirkan sedikit keraguan dalam diriku. Hanya, nama dan alamat penerima paket yang tertera jelas di sampul bingkisan itu, tak meragukan lagi bahwa paket itu memang benar untukku. Namun, tak tertera nama pengirim pada peket kiriman itu membuat hatiku tak putus dirundung tanya. Dari siapakah gerangan bingkisan itu? Mungkinkah dari istriku yang ingin memberi kejutan untukku? Atau sahabat atau kerabat yang memberi hadiah kepadaku, meski hari ini bukan hari ulang tahunku? Atau orang lain yang bermaksud mengolok atau bahkan berniat jahat kepadaku? Ah, apa pentingnya orang mengolok atau menjahatiku.
Rasa penasaran serta aneka tanya yang hadir dalam benakku, mendorongku untuk segera masuk ke dalam ruang kerjaku. Bersama tas selempang berisi berkas-berkas pernikahan, paket bingkisan itu kutaruh di atas meja kerjaku. Jas dan dasi yang kukenakan kubuka dengan segera. Lalu, pelan-pelan kuiris paket kiriman itu dengan sangat hati-hati, menggunakan sebilah gunting yang kuambil dari dalam laci. Dan setelah paket itu terbuka cukup lebar, tak ada yang kulihat selain sepotong kain warna biru langit yang dilipat sedemikian rupa. Hanya itu saja. Kemudian dengan perasaan yang masih dibalut penasaran, perlahan kubuka lipatan-lipatan kain itu, selipat demi selipat. Sebuah jilbab, rupanya. Hingga pada lipatan terakhir, tampak olehku sebuah amplop putih. Aku tercenung sesaat. Serta-merta tanganku mengambil amplop putih itu, dan di sana tertera sebuah nama: Nur Purnama Sari.
Entah! Tiba-tiba saja desiran-desiran halus mengendap-endap di dadaku. Sungguh, nama itu tidaklah asing bagiku. Nama itu mengingatkan aku pada kisah masa laluku.
Perlahan kubuka amplop putih itu. Sepucuk surat sudah menanti untuk dibaca. Aku segera duduk di kursi lalu merentangkan kertas putih itu dengan kedua tanganku. Dengan hati yang berdebar-debar, kubaca kata demi kata tulisan tangan yang tersusun rapi di atas kertas putih itu:
Rey,
Akulah Nung yang dahulu pernah menyakitimu.
Jika hari ini adalah hari ulang tahunmu, maka kuucapkan selamat ulang tahun kepadamu. Jika hari ini adalah hari ulang tahun pernikahanmu, maka aku turut bahagia atas kebahagiaanmu. Jika hari ini adalah hari lebaran, maka kuucapkan mohon maaf lahir batin kepadamu. Namun jika hari ini tidak bermakna apa-apa bagimu, maka izinkanlah aku mengenangmu di penghujung hidupku.
Rey,
Aku bermohon kepada ibu agar surat ini disampaikan setelah kepergianku. Maka jika surat ini telah sampai di tanganmu, pada saat yang sama aku telah berada di sisi Dia yang mengatur segalanya. Maka maafkan jika aku pernah menyakiti jiwa masa mudamu. Dan kupinta doa tulusmu untukku.
Rey,
Aku tahu betapa besar harapanmu kepadaku ketika itu. Aku tahu bahwa setelah penolakanku itu, betapa engkau seperti Majnun pada kisah seribu satu malam itu. Tertidur dengan perasaan hampa. Terbangun seolah tanpa jiwa. Suatu waktu engkau berjalan di pinggir pantai, mengikat tubuhmu dengan daun-daun kelapa, lalu berbicara kepada laut seperti orang gila. Aku tahu semua itu, karena banyak orang pilu atas nasibmu itu. Tapi seperti yang kukatakan kepadamu di waktu itu, jiwa dan raga seorang wanita hanya menerima sekeping cinta.
Rey,
Engkau mungkin masih ingat, beberapa waktu lalu ada seseorang yang pernah menyapamu dan bertanya kepadamu banyak hal tentang pernikahan dan rumah-tangga; tentang kesetiaan, tentang saling pengertian, tentang hak dan kewajiban, juga tentang keadilan dalam berpoligami. Ketahuilah, Rey, akulah yang bertanya itu. Akulah teman dengan profil merpati yang terluka itu. Akulah dia yang terabaikan itu. Akulah wanita yang menderita itu. Akulah istri yang malang itu.
Rey,
Aku telah berpulang, maka aku tak membutuhkan belas kasihan. Tapi jika engkau berkenan, sampaikanlah harapanku kepada setiap pasangan untuk tetap saling setia sampai titik darah penghabisan. Janganlah mereka saling menyakiti satu dengan yang lain. Cukuplah Nung seorang yang merasakan penderitaan itu.
Rey,
Ini adalah kain kerudungku. Telah banyak ia meringankan bebanku dengan tetap setia mengusap air mataku. Hanya ini yang dapat kuberikan kepadamu, sebagai kenang-kenangan terakhir untukmu. Tapi jika engkau tak berkenan menerimanya, maka biarlah ia menjadi sampah dan berbaur dengan kotoran-kotoran kehidupan.
Rey,
Sekali lagi, maafkan diriku yang dahulu pernah menyakitimu.
Salam,
Nung.
Aku menarik napas dalam-dalam. Sekian detik kemudian, mataku menatap ke arah langit-langit ruangan, tapi raut wajah Nung-lah yang terbayang, melayang-layang dalam kenangan. Aku benar-benar merasa kehilangan.
Ah! Mengapa manusia seringkali lalai untuk saling membahagiakan?
Taliwang, Agustus 2020
Keterangan:
Rinjani, salah satu gunung tertinggi di Nusantara, yang terletak di pulau Lombok- Nusa Tenggara Barat.
Amaq Alifa, lahir di Pringgabaya – Lombok Timur tahun1983. Kini tinggal di Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat – NTB sebagai Penghulu. Tergabung dalam Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Beberapa karyanya dimuat media daring Redaksi Apajake.
Discussion about this post