
Tidak Ada yang Perlu Diselamatkan
Di panas bintang, kau menyulut suasana
dengan rokok di tubir percakapan
Anggur menjulang
meratapi bayang-bayang
yang saling berjauhan
Tidak ada yang perlu diselamatkan
dari sebuah tamparan
Api itu masih hidup di grotto
menyembunyikan embun milikku
tapi hujan lebih nyalang
menderas ke cappuchino tiap pagi
Tidak. Tidak ada salah paham
hatimu berpindah tangan
hatimu memang berpindah tangan
Kita melupakan benang merah
“Perché sei un essere speciale, ed io avrò cura di te.”*
Membelakangi Gedung-gedung tinggi
mengebumikan diksi
–atau apa saja
yang mencederai
Sewaktu topeng ratu dansa hanyut
mencuri denyut dan netramu
kau mainkan pula, La Cura
dari kanal ke kanal
dari pesta ke pesta
Lalu sebilang napas kita yang genap
jatuh di kelopak-kelopak ganjil
–putih, perih
Di bibir kastil
burung-burung, bayu dan batu putih
sekali lagi menamparku
tanpa kuda dan seikat puisi
aku hanya perhiasan dunia
yang kehilangan bujangga
Depok, 1 April 2022
*Lirik lagu La Cura karya Franco Batiatti, artinya “Karena kamu adalah makhluk yang istimewa, dan aku akan menjagamu.”
Dua Puluh
Di pagar batu, dulu, engkau setia menunggu
hujan atau kata-kata lain
selain pulang
Pagi adalah api
yang siutnya membuatmu
tuna jarum jam ibu kota
“Kau tetaplah di sini”
Di ambang tidak ada yang kutuju
selain menyiram doa untuk Ayah Ibu
dan engkau yang kembali sekali waktu
Aku tidak ingat kapan terakhir engkau
menghadiahkan senyuman, sesuatu yang
mahal di deras luka-luka
tidak jua saat lebaran
pun jamuan akbar
tidak sejak Ayah Ibu beruaya
dan kau mengungsikan dunia
ke pundak serta kepalamu
seorang
Sudah dua puluh tahun
tidak ada genggaman seorang sulung
yang matanya selalu teduh, membuat terik luluh
yang jadi muara, kala hilang arah cita
Di simpang itu, kak, sudah bermangir aspal
Desa kita jadi tembok terakhir
menampung bayang dan cahaya
riasan kota
lebih banyak marka, baliho dan pariwara
Bising kendaraan masih jamur di ruas-ruas besar
Anak-anak kadang menyambat burung
menjarah keong, belut nan langka
bermain layang atau memetik kangkung liar
Tanah menua, hujan kian ranum
padi tak kuat mendampingi cuaca
dalam kepikunan-kepikunan
Pagar batu itu, pun kini mendekapmu
sejajar Ayah Ibu
Kak, rumah dan sawah telah bungkuk
rata dengan tanah, menjadi puing yang
mungkin selalu pening,
dipenuhi klakson yang lupa dzikir
Di tengah ramainya kamboja dan puring
biarkan aku kali ini
berjalan kaki
agar jalan-jalan sempit
membuatku sulit
merumahkanmu
juga masa lalu
Depok, April 2022
Matros dan Ladam di Gelombang
Suraimu masih saja datang
selepas mengaduk-aduk jiwa karam
mengungsikan terumbu karang
juga bintang-bintang
Di bawah daun kuyu, tergugu, aku
kehilangan kata-kata di luas kesunyian,
membiarkanmu mengayun netra ke mana saja
Emas-emas punah, galiung bertunas panah
Rasian padam,
di sengit aduan parang
Yang diputar waktu
hanya keping-keping suara
Buah simalakama terjun
menuntaskan misinya
menjelma humus-humus, pada
penyesalan yang mengakar, pada
birai yang terus mempertanyakan
apa dan di mana sebuah rumah
Bulan mengungsi
menyembunyikan nur, menyambunyikan asal usul
Dan getar tubuhmu
masih nyalang di sempadan
menyisir segala yang asing
mengasingkan segala yang mungkin
Mungkin sepatutnya
Aku tak perlu mengadu kuda sembrani
berlakon gagah bak sentani
Mungkin semestinya
anak-anak tak labas melempari batu padaku
yang tak menyisakan tulang
milik Ayah Ibu
Di sisa sekoci
api belum padam
diamuk eksodus dan ingatan
Di bawah konstelasi, lagi
luka-luka membawa ladam
padamu, hunian yang begitu
membuatku batu
Penulis, Putri Mariam A. Erline kelahiran Jakarta. Karyanya puisinya telah dimuat di majalah Story, laman Omong-omong, Suku Sastra, Riau Sastra, Fopini, Madrasah Digital, dan Cangkeman. Saat ini penulis berdomisili di Depok, Jawa Barat. Jumpai penulis di Akun IG: @putri26maryam
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
- Cerpen Hasbunallah Haris | KKN Konciang - 9 September 2023
Discussion about this post