
Orang-Orang Pesisiran
Aku! Sakit apa dibawa;
perahu-perahu gadang singgah di dermaga ini
orang-orang keling dengan perkakas jaganya
dagang di perahu-perahu kecil terapung
lapak di tebing muara
kami berdatangan menawar dan menukar lada dengan lada
panen dengan panen
tukar kata-kata
kepala bagan di mulut muara
para nelayan dari lautan seberang
sesama orang pesisiran tentang ayah yang mati tergantung di tiang utama dermaga
sebelum ini menjadi kota
sebelum kalimat-kalimat menjadi sejarah
sebelum kami menjadi nelayan tangguh mengarungi samudra
ditempa sakit berulam jantung menahun lamanya
Kasur dan bantal mengeras di antara kapuk malas
sementara sajadah ialah cinta tengah malam
seperti cat yang menempel di kanvas tua
tiada kata selain deta
yang tergantung di dinding papan
langit-langit rumah menjelma gerhana bulan dalam mata mimpi
jangkrik menyanyikan lagu wajibnya
sementara kata terus berdzikir
tapi aku minta pohon yang ditiup angin ialah kepala malam
yang retak pada cermin
hingga musim-musim surga yang dieja
dalam sebuah perang panjang yang tak terbilang
menangkap perbenahan
di antara abai yang dialamatkan kepada peluk dan kasihNya
Aku dengar denyut nadi-jantung yang kemudian melemah
pada kemudi hari
dinding tebal menutup rapat ratapan masa lalu
engkau tumbuh di tipisnya lembar kain
dari sini ke sana, dan sana ke seberang haluan
di bawah pohon kapuk
sawah dan ladang berkota dalam ingatan
khatib mana persembahan hari ini?
Naskah pidato dirangkai dalam bilik gelap
sementara penjaga berkeliling membawa senjata
aku dengar nyanyian putus asa suatu negeri
jeritnya melebihi kereta dari stasiun ke stasiun
lukanya seumpama semesta hancur berkeping-keping
Siti tak tahu lagi dengan namanya
Malin telah tamat kisahnya
mana lagi rindu pada emas dan lada yang terbenam dalam mulut meriam?
Galian urban-rapat bagai tenunan Tionghoa
rarau tapi sunyi.
Pariaman, 2021
Badai Pesisiran
Dua tangan saling menggenggam
tarik-menarik
padu dalam satu pusat
kelingking berkait pada ibu jari
buah-buah makanan lari tujunya
sekencang sungai yang mengalir
mengarah pada dataran rendah
di sana bersungai, di sana berpagu
di sini bersungai, di sini berpagu
seperti mereka yang kehilangan titian untuk menyeberang
memagar seluruh celah penjuru
namun mereka sampai jua ke hadapan
diantarkan dari rusuk tubuh sampai ke pangkal paha
tak ada jembatan di bawah
jembatan angin pun jadi
ucapan rapat digadangkan, mengecil sebagai saksi nyatanya
orang-orang hilang, ia melarikan diri ke ujung pesisiran lain
kitakah mereka?
Atau barangkali kitalah hasil yang dituai
belaian lembut para penumpas kebanggaan ibukota
Pariaman, 2021
Krisis Identitas
Dari surau ke surau
khotbah-khotbah ditekankan
negeri dalam selimut kabut negeri
Tengah ialah kesepakatan bertindak
seperti katamu negeri ini menyimpan misteri
tak diperdagangkan
benteng-benteng, lubang-lubang pertahanan
menjadi sumur menimba pilu
Pintu surau dipalang kayu
khatib dijemput ke rumah istrinya
beruntung jika memiliki banyak istri, bisa lari ke sana-sini!
Aku berpulun-pulun jerit
kepada Amak yang berpinta emas dan lada setiap abis cerita
seperti mimpi panjang yang dibangunkan mesin-mesin
dihantui tahun-tahun bintang
sementara kita terbunuh masal
oleh identitas.
Pariaman, 2021
Tentara Ibukota
Sesungguhnya aku bukanlah malaikat pencabut nyawa
yang datang dari ibukota ke desa-desa
aku hanyalah insan yang sesak tanpa kemudi
mengagumi indah parasmu
berlayar dari kejauhan
membawa hati yang patah tebu berurai-urai
adakah tempat peristirahatanku berlabuh di tubuhmu?
Lekuk tubuhmu bagai bukit-bukit yang terlihat dari tengah lautan
bermalam di sana ialah harap ikan ingin berenang
mempelajari tubuh desa tumbuh kembang
bagai bunga sedap malam
pagi masih menyimpan aroma pertandangan
Aku renangi jua danau kecil di tubuhmu
hingga air bah mendamparkanku pada lelap siaga
bersiang, bermalam, ialah kedinginan yang selalu mengutukku
di pesisiran
di antara bukit kembar, tampak satu bukit yang berbulan-bulan kian meninggi
namun kapalku ingin berangkat
kau simpan tangis dalam kalimat tunggu yang kutanamkan
melepasku dengan lambaian tangan bercucuran air mata
aku melepasmu dengan senyuman ibukota melihat desa
Bukit yang kian hari kian meninggi itu
mengeluarkan seorang bayi dari danau yang kau layari
kutunggu jua kau seperti kata-kata manis yang selalu kau ucap padaku
saat aku mulai curiga
tapi aku menjadi desa juga waktu itu
sedangkan kau tak jua kembali Mas
ini anakmu!
Ini anakmu mas!
Apa kau akan kembali jika peristiwa itu kembali, Mas?
Pariaman, 2021
Musim Sembunyi
Dalam gontai engkau melangkah
tersedu-sedu pada ratap dari kota ke kota
tembang lama bersembunyi di balik tirakat
telah kau hafalkan langkah-langkah bangau
menarikmu pada kepulangan gelanggang itu
Lengan kapal yang sering kau lihat
kini terdampar payah bagai pak tua lelah berkelana di usia
dari benteng ini kau saksikan layar tancap seorang pekaba
mati tersungkur di depan marawa
Kau terlalu lama ada
hanya sebagai penyambung lidah
semakin ringan berbasa-basi
tanpa mengoyak-ngoyak masa yang berapi-api
tetapi dikenang sebagai pendekar tak takut mati
padahal sembunyi ialah kata pertama yang kau langkahkan
Pariaman, 2021

Mhd. Irfan lahir di Pariaman, 26 September. Sedang menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Indonesia Unand. Bergiat di Bengkel Seni Tradisional Minangkabau (BSTM), Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Lab. Pauh9.
- Cerpen Kurnia Gusti Sawiji | Senja di Kampung Jam Pasir - 9 Februari 2025
- Puisi-puisi Fathurrozi Nuril Furqon | Rwanda Pasca 1994 - 8 Februari 2025
- DENGUNG TANAH GOYAH KARYA IYUT FITRA: TENTANG NEGARA, LINGKUNGAN, DAN KEBIJAKSANAAN NUSANTARA - 3 Februari 2025
Discussion about this post