
Senin adalah senin adalah senin seperti biasanya. Hari yang dihiasi bayangan membosankan. Rutinas kerja dan setumpuk hal-hal yang belum selesai atau minta diselesaikan. Kalau kau jeli mengamati, di hari senin, di jalan-jalan, banyak kau temui jenis seragam dengan bermacam warna, dengan emblem di lengan yang menandai tempat kerja masing-masing.
Pula kan kau jumpai, wajah murung, tak bertenaga, dan membosankan di pemberhentian lampu merah. Senin adalah kutukan. Mereka berharap tiap hari adalah minggu yang dihabiskan penuh untuk bercinta dan bercinta dan bercinta. Namun, di lain keyakinan, minggu pula tak sepenuhnya melompong. Hari itu, rapi dan wangi, mereka berbondong-bondong ke rumah ibadah. Meratap dan berharap belas kasih Tuhan membersihkan jiwanya kembali. Suci dan kosong serupa saat pertama kali lolos dari lubang peranakan.
Begitu pula Jamz, pemuda yang bekerja di sebuah penerbitan buku. Senin serupa hari lain. Ia akan berjumpa sekian buku, buku, dan buku. Sejauh ini, meski sunyi, ia senang berurusan dengan apa pun tentang buku. Ketika menjemput buku di percetakan, ia akan mempelajari jalan-jalan baru yang lebih singkat, sepi, tak banyak lampu merah, dan tentunya hemat bahan bakar. Atau ketakjubannya ketika mengantar buku ke sejumlah toko buku di kota ini. Betapa senang, kadang ia membayangkan suatu hari nanti, punya toko buku kecil dengan kedai kopi kecil di sampingnya. Toko buku dan seorang perempuan manis adalah kombinasi yang pas.
Kadang pula, ia membayangkan betapa tak sabar dan sumringah para pemesan, ketika paket berisi buku datang. Ia bayangkan, para pemesan itu begitu rakus membaca buku. Oleh sebab itu, Jamz selalu memberikan yang terbaik yang bisa diberikan. Ia membungkus buku dengan lembut dan penuh dedikasi tinggi. Rapi dan enak dilihat. Ia berharap buku-buku itu datang ke pemesan dengan selamat tak kurang suatu apa pun.
Di waktu senggang, di sela-sela tak ada yang ia kerjakan, Jamz akan tenggelam dan lahap dalam lembar-lembar halaman buram buku-buku yang sudah dibuka. Ia senang membaca puisi. Sesekali cerita pendek. Kadang esai pendek dan ringan. Novel agak jarang, kecuali yang benar-benar menarik perhatiannya atau sudah terlampau sering dibicarakan kawan-kawannya.
Selepas membersihkan debu, rambut yang rontok, daki, serta kotoran cicak, ia menunggu pesan dari bosnya. Pesan untuk mengambil buku, mengirim buku, atau apa saja yang bisa dikerjakan. Waktu berlalu, pukul 12 siang sudah lewat. Tak ada tanda ia akan mengerjakan sesuatu. Mungkin agak sore, pikirnya. Empat jam kemudian, tak ada juga. Sebenarnya ia merasa tak enak jika tak ada yang dikerjakan. Hari itu berlalu seperti hari minggu, persis. Senin meski kosong melompong memang memiliki daya magis lain.
Jamz telah membaca kumpulan cerpen salah satu penulis muda negeri ini yang menjanjikan. Gaya tutur berceritanya sangat anak muda. Tidak konvensional semacam para pengarang tua yang bercerita begitu-begitu saja. Membosankan, menyebalkan, penuh petuah dan amanat moral. Gaya bertutur penulis yang cuma terpaut usai 8 tahun darinya itu, cerewet, tapi asyik. Mungkin, si penulis muda itu masa depan sastra negeri yang hendak bubar ini. Entahlah, ia tak punya kemampuan meramal. Tapi, jujur ia iri dengan gaya berceritanya. Jamz tak hendak meniru, ia bernafsu melampauinya, malah kalau bisa, membenamkannya ke gundukan tai sapi.
Selama sepekan ini, Jamz telah menghabiskan empat buku puisi, satu kumpulan esai tentang film, satu kumpulan esai tentang puisi dan penyair, dan satu buku kumpulan cerita pendek. Ia melirik buku puisi penyair yang sudah meninggal berapa tahun lalu, tak tertarik. Ia merasa mual dan muak, sebab sepekan ini membaca puisi yang rumit dan gelap. Ingin rasanya ia membaca yang ringan-ringan dan menghibur. Namun, koleksi pribadi pemilik penerbitan ini kebanyakan cukup tebal dan berat. Ia enggan. Tapi ia ingin membaca sesuatu. Ah, ia lupa, ia sudah lama tak membaca koran. Koran nasional biasanya memuat berita atau rubrik sastra yang cukup berisi.
Masih dengan wajah datarnya, Jamz mengunci pintu dan menyalakan motor bututnya. Motor butut murahan yang ia beli setahun lalu dari hasil honor menjadi reporter suatu acara seni kriya. Ia kadang pesimis, di kota macam begini, mana ada gadis tolol mau naik motor begituan. Tapi, ia tak peduli. Sekali-dua dicoba tak menyala. Percobaan ketiga menyala yang didahuli suara erangan mesin bagai seekor kambing yang sedang disembelih.
Jamz sampai di lapak koran berukuran 2 x 2 meter. Seorang lelaki tua menjaga dan melayani dengan mengantuk. Nampaknya bapak tua ini sudah bosan dikepung berita dari seantero negeri yang tak mengubah apa pun, termasuk hidupnya. Koran nasional itu seharga dua bungkus mi instan murahan. Di perjalanan pulang menuju kantor sekaligus tempat tinggalnya, Jamz menyesal. Mendingan uang 5000 rupiah itu ia belikan mi instan yang bikin kenyang, ketimbang berita yang keesokan harinya sudah basi, pikirnya. Ia mengumpat dirinya yang tolol bukan main demi hasrat membaca dan harapan dihibur.
Anda bisa bayangkan adegan lamban dan ogah-ogahan. Jamz melepas sandal tak peduli. Membuka pintu dengan lesu. Melemparkan koran yang dibeli ke atas meja. Duduk lunglai di kursi. Ia membuang napas bebas. Nasi telah jadi bubur, tepatnya uang telah jadi koran, tak bisa dimakan. Tersebab tak ingin menambah perasaan bersalah. Ia pun mengambil koran itu. Ah, foto seorang artis cantik dan manis di halaman kedua. Duh, perempuan yang baru saja menceraikan suaminya.
Selepas melewati rubrik selebritis, bencana, politik, iklan, dan semacamnya yang lazim ada di koran. Jamz agak ogah-ogahan membuka halaman selanjutnya. Halaman tak penting dan tak apa jika diabaikan. Tapi, pikirnya, pengabaian adalah bentuk kekejaman yang paling kejam. Maka, atas dasar keyakinan itulah, ia masih setia membuka lembar selanjutnya yang tak penting tadi. Halaman Surat Pembaca. Ia berharap seorang pembaca mengirim sekian umpatan pada negara dan politikusnya yang tak berguna. Atau berharap seseorang akan mengumpat soal lalu lintas yang buruk dan para polisi buncit di pinggir jalan. Dan ia paling berharap seseorang mengumpat koran dan media lainnya agar dibubarkan saja, sebab terus menyampaikan omong kosong.
Yang terhormat redaksi, saya ingin bertanya tentang ke mana perginya kolom puisi. Sudah lama saya menyimpan pertanyaan itu dalam hati sambil sesekali menduga-duga sendiri. Masih bisakah saya meminta agar kolom puisi kembali dibuka?
Apakah saya ingin agar puisi saya dimuat di sana? Mungkin iya. Namun, sesungguhnya, saya amat rindu membaca puisi-puisi di kolom tersebut dan mendiskusikannya dengan beberapa kawan.
Saya memang sering kesepian, merasa orang-orang semakin asing. Puisi menemani meski sering juga muncul pertanyaan, “Siapa yang membutuhkan puisi?” Saya paham, saya hanya seorang yang kesepian.
Begitulah bunyi surat pembaca yang dikirim seseorang. Jamz, menahan perutnya, ia takut meledak sebab tertawa ngakak. Di bawah tulisan itu, terpacak sebaris nama. Dan Jamz tak bisa lagi menahan gejolak di ususnya, ia ketawa terbahak dan para-parunya hampir meledak menahan kelucuan yang membludak. Seorang kawan dekatnya ialah pengirim surat itu. Betapa konyol, pikirnya, meratap meminta rubrik puisi dihadirkan kembali. Di zaman sulit ini, nampaknya meminta nasi lebih masuk di akal ketimbang puisi. Meski, ia tahu dan paham, kawannya itu gandrung puisi dan berlabel penyair muda.
Namun, bukan itu penyebab ledakan tawanya. Melainkan sebaris kalimat menyedihkan penutup suratnya. Saya paham, saya hanya seorang yang kesepian. Bacalah ulang, itu adalah kalimat dan keadaan paling menyedihkan di tahun ini. Jamz, kini tak lagi menyesal merogoh kocek 5000 rupiah demi bacaan dan hiburan. Ia sangat terhibur bahkan hingga tiga hari kemudian. Menurutnya, terlalu murah harga koran edisi hari itu, sebab memuat humor yang mestinya dihargai mahal.
Selepas reda tawanya, Jamz mengingat-ingat kawannya itu. Ia seorang pemuda malang. Bayangkan, di seperempat abad usia kawannya itu, belum pernah merasai pacaran. Tapi, meski begitu, kawannya tentu pernah mencintai seorang gadis, cinta yang platonik, mudah kita tebak. Jamz memaklumi, setiap orang memiliki kesepiannya sendiri. Jamz pun sering dilanda kesepian tiba-tiba yang mencekam dan mencengkeram. Tapi, mengumumkan kesepian di sebuah koran nasional, nampaknya tindakan konyol, tepatnya tolol, dua hal yang tipis perbedaannya.
Surat pembaca itu bisa jadi tulisan paling menyedihkan di tahun ini. Dan kawannya pantas mendapat penghargaan duta pemuda paling kesepian. Tugasnya ialah menyuarakan kesepian orang lain dan mengajukan kepada negara agar dianggarkan dana untuk menghalau bencana besar abad-21 itu yang hinggap di tiap manusia.
Lama selepas itu tak ia dengar kabar kawannya. Ia menduga, kawannya sedang bergelut peluh menulis puisi atau semacamnya. Kebosanan dan kesepian mulai menghinggapi dada Jamz yang kurus. Untuk menangkal, ia membeli lagi sebuah koran untuk dibaca dan berharap beroleh hiburan serupa dulu. Betapa Jamz kaget, jantungnya hampir lepas. Pada rubrik obituarium, ia dapati pengumuman, kawannya telah mati, dan betapa mengejutkan penyebabnya. Kawannya mati tiga hari lalu dicekik sepi. Dan kabar duka itu lantas menjadi hari berkabung nasional. Jamz melayat ke makamnya, di batu nisannya yang dingin, tertera tulisan: Di sini terbaring seorang pemuda, duta kesepian nasional.
Yogyakarta, 2021
(kutipan: Kiriman surat pembaca Kompas, edisi 7 Juni 2020 oleh PSA)
Penulis, Jemi Batin Tikal, kelahiran Indonesia, Oktober 1998. Lulusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari sebuah kampus di Yogyakarta. Sedikit tulisannya berupa puisi, esai-esai pendek, tulisan jurnalistik tersebar di media, baik cetak maupun daring. Bergiat di komunitas sastra Jejak Imaji dan KebunKata. Bisa dihubungi via Instagram: jemibatintikal atau FB: Jemi Batin Tikal.
No. WA: 081995321366, surel: [email protected]
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
- Cerpen Hasbunallah Haris | KKN Konciang - 9 September 2023
Discussion about this post