
Di unjung Dayo Tanah ketinggian menurut Tambo Bungka Nan Piawai Salilinya Alm Emral Djamal Dt. Rajo Mudo. Di dalam sebuah pelayaran ditemui sebuah tanah ketinggian di tepi teluk, dimana tanah sekitar dipenuhi rawa. Tanah itu dinamakan tanah lunang (tanah ketinggian yang berawa) di sana banyak ditemui batu-batu berharga bahkan emas pada sungainya yang bermuara ke teluk sungai itu, sementara teluk tersebut juga dikenal ganas, sampai sekarang. Dinamakan kemudian tempat itu sebagai Tanah Dayo dan teluknya bernama Taluak Dayo Puro (Pintu Dayo) yang kemudian menjadi sebuah kerajaan.
Di sebuah kerajaan Taluak Dayo Puro meninggalkan sebuah keramat-keramat yang masih di percayai seorang Raja yang bergelar Martabat Tuangku Badarah Putiah bernama kecil Arung Masuba bergelar Sultan Muhammadsyah Usholi Kerajaan Indrapura.
Dalam Kaba Tareh Tuangku Badarah Putiah, tuturan Bapak Zainudin atau disebut Udin Dayak Urang Tuo Malayu Kampuang Dalam. Beliau ketika sampai di Taluak Dayo Puro, menimbang sebuah botol berisikan air, yang dibawanya untuk menunju negeri leluhurnya (ayah). Maka sampai di muara sungai Taluak Dayo Puro ternyata botol itu sama berat dengan pasir dan air yang berada di muara sungai Taluak Dayo Puro. Kemudian beliau berkata “ternyata di sini tempat leluhurnya berada”. Pada saat Arung Masuba belum menyandang gelar martabat Tuangku Badarah Putiah, beliau menjuntaikan kedua kakinya di tepi muara sungai dan menghadapkan tapak kaki beliau ke atas/ke hulu, sehingga sungai itu tidak bisa mengalir (tapakok) air sungai berbalik ke mudik. Menimbulkan abah nan gadang dari muaro (banjir yang datang dari muaro) melihat hal yang demikian seluruh sawah, ladang, dan pondok-pondok di hulu sungai digenangi air. Begitulah kiramah nikmat (ilmu) yang beliau miliki.
Air yang dari hulu tidak mengiliri ke muara sampai kepada ladang Sang Adipati Laut Tawar dan merusak tanam-tanaman dalam ladangnya digenangi air. Melihat hal demikian Sang Adipati Laut Tawar sangatlah geram. Pada hal hari ketika itu tidak hujan, air demi air mengalir juga membuat Sang Adipati Laut Tawar hatinya panas (naik darah) kemudian Sang Adipati Laut Tawar meninjau ke muara sungai dan berkata “siapa pula yang berani menghambat, iliran air ke muara”.
Sesampai muara, dilihatnya seorang anak muda yang menjuntaikan kedua kakinya dan tapak (telapak kaki) menghadap ke hulu sungai, kemudian terheran, air yang mengalir di bawah telapak kakinya itu tidak mengalir ke muara malainkan mengalir ke hulu sungai. Mahariak (berkata tegas, dan rantang) Sang Adipati Laut Tawar kepada seorang anak muda (Arung Masuba), “anak mudo indak tahu dek adat, baru saketek dapek ilmu lah mayombongkan diri, manyombongkan diri pulo kapado urang gaek, nan lah tahu paaik manihnyonymanihnyo duya.”
Mendengar perkataan Sang Adipati Laut Tawar itu kemudian dijawab oleh anak muda (Arung Masuba) “angku alah tuo, indak juo bijak mamahami suatu permasalahan, indak ko bausuik jo pareso, sadangkan ambo hanyo bajuntai jo mandingikan kaki, usah angku ikuik campua macam iko. Sang Adipati Laut Tawar tambah naik darah mendengar jawaban dari anak mudo (Arung Masuba).
Discussion about this post