
Kumpulan Puisi Untuk Tuhan
Sepanjang hari, berjuta-juta puisi lahir dari jiwa manusia.
Dan malaikat sibuk naik turun langit memungutinya.
Bersabarlah tuan-tuan dan puan-puan.
Sebentar lagi Tuhan akan mengumumkan penyair terbaiknya.
Sijunjung, 2020
1000 Tahun Sesudahnya
Gunung merapi sudah besar. Tidak lagi sebesar telur itik yang dibayangkan.
Maharaja Diraja si nenek moyang telah lebih dulu meninggalkan daratan.
Mengejar matahari terbenam, sampai ke ujung laut seberang,
dan hanya meninggalkan jejak pudar dan cerita tak bersilsilah.
1000 tahun sesudahnya, para tetua yang tertinggal.
Hanya membanggakan lukisan-lukisan yang bertuah.
Dulu begini dan dulu begitu
Membuang cerita harga diri yang terjual,
kisah tanah-tanah yang menghilang,
juga legenda kayu yang tumbuh batu, dan padi yang tumbuh gedung baru.
Kata dahulu hilang sengat, kata kemudian mengambang-ngambang.
Patah tumbuh hilang berganti
Patah ditambal dulu, hilang baru dicari
Patah ya patahlah, hilang ya sudahlah
Patah tidak tumbuh, hilang tidak berganti
Sijunjung, 2020
Pada Benang Sehelai Yang Putus
Sebelum memilih pergi untuk melupakan Datuk Panglima Kumbang,
pada benang sehelai yang telah putus, kemana aku akan mengadu?
Sebelum melupakan tari piring dan nyanyian,
pada benang sehelai yang telah putus, kemana aku akan mengadu?
Sebelum meninggalkan gunung merapi dan kekuasaan,
pada benang sehelai yang telah putus, kemana aku akan mengadu?
Ia menjamahi tanah seberang,
menjatuhkan segala ingatan di laut dalam,
demi mengadu nasib dan kenangan.
Pada benang sehelai yang telah putus, aku telah menemu malam demi malam yang terus datang.
Sijunjung, 2020
Replika Pom Bensin
Di suatu petang, sang penyair mematut pom bensin itu di seberang jalan.
Bukan tentang warna merah putih yang mengkilat pada dindingnya.
Tetapi untuk mengubahnya menjadi sebuah puisi.
Sepertinya itik pulang petang judul yang tepat.
Lalu, ia mematut lagi dengan dalam.
Melihat ada banyak jerigen yang antri di balik pagar,
ada sepasang seniman yang berdendang dan menggesek rabab tua,
dan orang-orang yang mungkin kaya, mengisi bahan bakar yang murah.
Ataupun orang-orang yang biasa, yang terpaksa mengisi bahan bakar yang mahal.
“Begitulah lukisan bung. Orang gila datang dan memintas.
Ondeh tuan oi. Penyair itu terbuai dan tersayat-sayat.
Sijunjung, 2020
Orang Gila Berkhotbah
Dewa-dewa mendadak datang dari sudut tak terhingga.
Dengan setumpuk ilhamnya di sepanjang jalan, dan hari belas kasih berserakkan dimana-mana.
Kepada pengemis-pengemis yang lapar, pedagang-pedagang yang kurang laku,
dan para petani yang tidak punya sawah.
Seperti kaum Essena yang kedatangan guru kebenaran.
Di sudut lain, di atas sampah yang menumpuk.
Tertinggal orang gila yang sedang berkhutbah,
yang disaksikan oleh langau-langau yang mencari makan.
Sijunjung, 2020
Supir Truk Itu Penyair
Hari berangsur petang, petang disambut dengan malam.
Supir itu masih saja datang dan pergi, mengejar waktu dengan oto truknya.
Bila lapar, mereka menyinggahi rumah makan padang,
Ataupun rumah makan batak yang tidak seperti rumah makan.
Ketika tusuk giginya mencari sisa daging yang mengumpat di gusi kuningnya,
supir itu berkata kepada penyair yang sedang membaca di sebelahnya.
+ Aku ini seorang penyair. Puisi-puisiku bisa datang dari mana saja.
– Lantas puisi apa yang bapak senangi?
+ Segala puisi aku senangi. Puisiku yang terpampang di bak truk itu, lebih dibaca banyak penikmat. Daripada puisi-puisi yang terhimpun di kertas-kertas, yang hanya digunakan pedagang untuk membungkus cabai dan bawangnya.
Lintas Sumatera, 2020

Penulis, Kiki Nofrijum lahir dan besar di Sijunjung, Sumatera Barat. Bergiat di kampung belajar dunia menulis kepada siapa saja. Temui saya di Ig/Fb: Kiki Nofrijum
— Puisi-puisi Kiki Nofrijum
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
- Cerpen Hasbunallah Haris | KKN Konciang - 9 September 2023
Discussion about this post