
Jika kau berkunjung ke kampung halamanku Tanjung Dayang dan mendapati suara berisik dari balik semak, maka jangan kira suara itu berasal dari ular yang tengah menyantap mangsanya atau anjing yang sedang menjilati belulang. Sebab dari sekian banyak suara yang kudengar, hanya dua yang betul-betul berasal dari binatang. Selain itu, hanyalah erangan bapak-bapak yang sedang bermain “pedang-pedangan” tanpa busana. Sementara para pemudanya, dengan acuh bermain “dua bola kecil” seukuran kelereng dan “keris tumpul”—yang masing-masing mempunyainya—dan saling memainkan. Terkadang mereka bermain secara duo, trio, bahkan quartet dan seterusnya di tempat umum—di bawah pohon, di warung kopi, di pos ronda, di tepi sawah, di tepi sungai.
Seperti apa yang baru saja aku saksikan: tiga pemuda saling membanggakan “keris tumpul” masing-masing, lalu mencoba kebolehannya pada tubuh antar mereka di muka sawah. Meski tak melukai, tapi “keris-keris” mereka mampu mengoyak atau melebarkan sebuah lubang. Ralat, atau mungkin banyak lubang. Selain itu, aku juga melihat Maridang Si Penggembala tengah mengerah kerbau-kerbau ke arah kandang sambil saling melumat bibir dengan seorang pemuda: tangannya yang satu memegang kayu panjang dan tangannya yang lain merangkul bahu pemuda di sampingnya sambil saling beradu bibir. Serupa dua telapak tangan yang tak henti-henti bersalaman—melepaskan lalu bersalaman kembali.
Aku baru saja rampung mengasah golokku sampai matanya berkilat-kilat. Aku pun sudah siap secara rohani maupun jasmani terhadap prosesi adat lama yang akan kami langsungkan petang ini: sedekah pedusunan. Yakni adat pembersihan diri di Danau Putri yang telah belasan tahun tidak lagi diselenggarakan.
Kemarin, pagi-pagi sekali, seorang warga yang tinggal di ujung kampung datang ke rumahku. “Kita mesti tutup rumah bordil itu, Wak,” teriaknya dan melanjutkan.
“usir Rina dari kampung kita!”
Pelan-pelan kutanyakan ihwal kemarahannya.
“Anak saya sekarang ini setiap malam datang ke rumah bordil milik si Rina itu!” keluhnya.
“Saya sudah kehabisan cara menghentikannya. Setiap kali dilarang, jawabannya selalu ada: ‘Jangan mengatur hidupku’, ‘Jangan kuno, ini sudah tahun 2040’, ‘Aku ini laki, takkan bunting!’”
Itu benar.
Setiap malam rumah bordil yang terletak di dekat jalan raya itu selalu ramai. Aku baru sadar kalau penyakit yang menjangkiti banyak warga, yang mengotori kampung ini di hampir setiap sudut, semuanya bermula dari rumah bordil tersebut. Aku takut puyang marah dan seluruh kemakmuran di kampung ini akan dilenyapkannya—orang-orang dari kota dan kampung lain bakal tak lagi ada yang membeli hasil kebun dan ternak dan tuak tebu, kemudian kampung dilanda kemarau panjang, atau suatu penyakit yang membuat panen menjadi gagal dan ternak-ternak mati.
“Ya, kita harus hentikan semua ini sebelum terlambat!”
Selepas itu, aku menyuruh semua warga berkumpul. Aku jelaskan kepada mereka jika semua ini masih terus berlanjut maka puyang akan mengamuk dan malapetaka pasti terjadi. Mendengar penjelasanku, mereka manggut-manggut setuju. Meski tak seluruh pemuda kampung terlihat, tapi hampir semua bapak-bapak hadir. Mereka berjanji akan meninggalkan perbuatan-perbuatan kotor.
“Besok petang, kita semua harus melakukan penyucian diri. Kita selenggarakan kembali sedekah pedusunan!”
Setelah menunggu lebih dari sepuluh menit, akhirnya suara bedug ditabuh pun terdengar. Aku keluar rumah dan mendapati warga telah siap dengan segala perlengkapan—nasi tumpeng enam tampah lengkap dengan segala lauk-pauknya, pisang ayu, pisang putri, dan tampah-tampah lain yang di antaranya berisi kemenyan, daun sirih, pinang, dan kapur. Tak lupa—ini yang paling penting—lima ekor kerbau jantan berwarna coklat muda dengan usia yang belum terlalu matang.
Kami berjalan membentuk iring-iringan, melantunkan kidung, dan pelan-pelan menembus hutan menuju danau. Begitu tiba, aku segera membakar kemenyan dan meletakkannya di satu sudut. Kuharap puyang tidak sibuk dan berkenan untuk datang.
Sedekah pedusunan memiliki dua ritual:
Penyucian diri, dan Makan tumpeng.
Penyucian diri dilakukan dengan cara menceburkan diri ke air danau yang telah tercampur darah lima ekor kerbau jantan. Ritual ini dipercaya dapat meluruhkan seluruh kotoran dan penyakit yang terdapat pada tubuh—baik yang ada di luar maupun dalam, kasat mata atau pun tidak. Sementara makan tumpeng bersama dipercaya dapat mempererat hubungan kekerabatan antar warga—yang membuat setiap warga merasa satu sama lain adalah keluarga. Hal ini disebabkan—menurut orangtua dulu—para puyang pun ikut makan. Merekalah yang meneteskan rasa kasih sayang antar sesama warga kampung di hati masing-masing. Ini jelas membingungkan. Maka sebaiknya tak perlu kaupikirkan.
Aku mulai maju ke bibir danau dan lima orang mendekatiku dengan membawa seekor kerbau, daun sirih, pinang, lengkap dengan kapur. Sementara para warga berdiri melingkari kami berenam: menjadi penonton yang seolah sedang menyaksikan tari Gending Sriwijaya. Angin sejuk yang melintasi tengkuk dan anak-anak rambut sedari tadi—yang sebagaimana biasanya terjadi di kampung kami—seketika lenyap sebagaimana bentuknya yang tiada. Senyap mengerubungi kami.
Para lelaki yang berada di dekatku segera bergerak menarik tali yang terikat di kaki kerbau untuk menjatuhkannya ke tanah. Mereka memerlukan waktu tidak lebih dari sepuluh menit. Aku mengunyah daun sirih dan pinang dengan sedikit kapur untuk merapal sebuah doa. Selepasnya, kerbau itu kugorok sebanyak tiga kali dan darahnya langsung muncrat serupa air tanggul yang jebol. Darah kerbau itu mengalir demikian deras seperti air terjun Badagong. Agar ia tak sempat mengamuk setelah kami melepaskan tangan dari tubuhnya, kerbau itu kami lempar ke danau.
Prosesi penggorokkan tersebut terus berulang hingga kerbau yang terakhir terlempar sebelum mengambang di air danau. Warna danau yang tadinya hijau muda berubah menjadi merah—dengan lima kepala kerbau mengapung di sana-sini. Aku berjongkok di muka danau: mengambil sedikit air dengan telapak tangan untuk dibacakan doa.
“Silakan!”
Dan semua warga langsung menceburkan diri ke dalam danau yang airnya seperti dicat itu—tak terkecuali manula, ibu beranak batita dan balita, gadis-gadis ranum. Kami mandi dan membersihkan seluruh anggota tubuh, dari ubun-ubun hingga jari kaki. Ada yang serius menggosok tubuhnya sendiri, ada yang mandi sambil berenang, ada yang saling gosok, dan tentu saja ada ibu-ibu berwajah cemas memandikan anaknya. Tetapi yang paling membuatku merinding adalah bapak-bapak yang menangis penuh sesal sambil menggosok tubuh mereka dengan begitu kuat hingga kulit mereka menjadi merah.
Seusai mandi, kami langsung menyerang nasi tumpeng yang telah dibawa, juga kue-kue dan makanan lain yang tersedia.
“Ayo kita datangi rumah bordil itu! Kita usir Rina Si Bencong kampung itu dari sini. Keberadaannya hanyalah mendatangkan penyakit!” teriak seorang gembala.
“Betul, sebelum malapetaka jatuh menimpa kampung kita. Ayo, Wak, ayo kita datangi, semua ini karena dia!”
“Ayo, sebelum malam tiba!”
Aku menuruti keinginan mereka: meninggalkan Danau Putri dan pergi ke rumah bordil yang terletak di dekat jalan raya.
“Woy, Bencong, keluar kau!”
Orang-orang berteriak-memaki memanggil si empunya rumah bordil. Setelah cukup lama, akhirnya sesosok pria dewasa bertampang rupawan keluar. Itulah Rina, bencong kampung yang penampilannya seperti artis di televisi. Nama aslinya adalah Roni, tetapi karena ia bencong dan dulu penampilannya begitu memuakkan—berbeda jauh dari sekarang—orang-orang memanggilnya dengan Rina: plesetan dari Roni.
“Hoy, siluman! Semua ini gara-gara kau. Kau yang membawa penyakit sialan itu! Anakku Bobi kini jatuh cinta dengan Riko, mereka mesum di saban hari!” hardik seorang ibu.
“Ya, minggat kau! Suami saya semakin jarang pulang ke rumah, ia lebih suka tidur bersama pemuda-pemuda di rumah bordilmu itu. Kau yang bertanggung jawab atas semua ini!”
Warga terus-menerus menghardik Rina, menyalahkannya sebagai biang dari seluruh kotoran dan penyakit yang telah melanda kampung dan menjangkiti penduduk.
“Ya sudah, Rina, sekarang cepat kau bereskan pakaianmu dan pergi dari sini!” ringkasku berusaha mempercepat penghakiman warga agar tak berlarut-larut.
“Hey, Anda siapa, Pak? Anda hanya ketua adat! Tak punya hak untuk mengusir saya dari tanah saya sendiri!”
“Segera angkat kaki sebelum kami memakai aturan kampung!”
“Sedikit saja kalian menyentuh kulit saya,” pelannya.
“maka kalian semua akan saya penjarakan! Saya tidak takut!”
“Minggatlah, Kau, Bencong! Kalau tidak puyang bisa marah dan kami semua akan menderita, kelaparan. Semua kesejahteraan kampung ini akan lenyap!” timpal salah seorang warga.
Rina justru tertawa pendek. “Kalian ini lucu sekali. Adakah isi tempurung kepala kalian sebenarnya? Sayalah yang mendatangkan rezeki untuk kampung terkutuk ini!” lantangnya dengan nada kemayu. “Kalau saja otak dan ingatan kalian masih berfungsi dengan baik maka kalian semuanya pasti tahu: jika dulunya kampung kita ini begitu susah dan miskin. Lalu saya membuka rumah bordil ini agar orang-orang dari kota dan kampung sekitar berdatangan. Kemudian mereka benar-benar datang seperti yang kalian semua lihat. Mereka beli isi warung yang kalian dirikan di sekitar rumah bordil saya, kelempang-kelempang panggang yang kalian jajakan, juga sapi dan kerbau dan hasil kebun …,”
Sejak Rina menyelesaikan kalimat ketujuhnya kami mulai menatap tanah. Seolah tak ada lagi tenaga yang bisa membantu kami menegakkan kepala. Kami begitu malu mendapat “tamparan” seperti itu. Kemudian, tak lama setelahnya, kami pulang ke rumah masing-masing—meninggalkan Rina yang terduduk menangis di beranda rumah bordilnya.
Dan keesokan harinya, matahari tetap terbit dan kampung kami yang juga disinarinya masih menjadi kampung pemasok hasil pertanian yang dapat diandalkan. Sementara warung-warung kecil di sekitar rumah bordil semakin laris sebab rumah bordil semakin ramai. Sedangkan peristiwa petang kemarin seperti tidak pernah terjadi. (*)
Bintulu, 2018
Penulis, Hadiwinata, lahir di Palembang 1998. Penulis di Perayaan Hari Puisi Makassar dan Riau 2017, Banjarbaru Literary Festival 2017, Bengkulu Literary Festival 2018, dan lainnya. Tulisannya dimuat di beberapa media cetak dan online dan turut hadir dalam beberapa buku antologi, seperti Menderas Sampai Siak (2017), The First Drop of Rain (2017), Negeri Bahari (2017), dan Pesan Damai Aisyah, Maria, Zi Xing (2018). Buku tunggal pertamanya: Sepanjang Jalan Kesedihan (Penerbit Kabisat, 2021).
Temui Saya di;
Email: [email protected]
Instagram: @mr.hadiwinata
- Puisi-puisi Kiki Nofrijum | Magrib Macet - 30 September 2023
- Festival Tanah Ombak: Pelatihan Sastra Anak “Melatih Nalar Sejak Dini” - 18 September 2023
- Puisi-puisi Maulidan Rahman Siregar | Siregar - 16 September 2023
Discussion about this post