
Menyulam Jejak Ikan di Akuarium
kupilih berbagai mutif
untuk melintasi bayangan
di antara ikan dan ingatan.
di akuarium ini
bisa jadi kita sepasang ikan
yang saling menyilaukan siripnya
menjelang lampu hias menyala.
di sana, kita akan berlomba-lomba
menelan udara dari percik air
supaya tubuh kita mengambang
dan bisa memandang langit,
barangkali dengan warna langit
kita dapat merias doa-doa
seperti hidup sepasang ikan
yang dengan gembira
menganggap akuarium seluas semudra.
Lubtara, 2021
Siur Rindu
terlalu lama aku terdiam
saat hujan datang bercampur angin,
aromanya menyampaikan getir rindu
ketika kau dan aku melepas pelukan
di tepi waktu yang masih panjang.
selalu aku yang berangsur ragu
melihat mata tajammu menahan dingin
dan daun-daun tak bisa berlambai lagi
sebab musim telah lama dipeluk sepi
antara pertemuan dan perpisahan
nyata jadi mawar-mawar merah
gugur bersama sejarah
sementara kau hanya bisa berlambai
keriput rinduku di bawah pohon rindang.
Lubtara, 2021
Aforisme
tiba-tiba aku seperti debu
yang mengenal sedih helai daun-daun
di musim kemarau yang baru datang
sementara kau terus saja memandang
kerlip embun-embun di awal pagi
seakan kau tak percaya lagi
bahwa cinta ini masih sanggup berdiri.
Lubtara, 2021
Di Bawah Gugurnya Daun
di bawah gugurnya daun
senyummu sejenak bersiur
sekedar memandang lambai gelisah
dari puncak gunung sebelum gelap
beragam warna menyelinap
menyamar harum masakan ibu
di atas tungku yang masih basah.
barangkali di sini kau akan menemukan
segelintir aroma kerinduan
menebar ke lembah kemungkinan
menemani rendah tarian angin kampung
ketika senyummu semakin pandai merasuki renung.
Lubtara, 2021
Sejenak Menatap Langit
kutatap langit di bawah embun
menjelang jatuh di ujung duri.
orang-orang saling berjabat tangan
seakan kebahagian sedang dituangkan
pada segalas janji di ruang tamu
sebab tiada yang memang mampu
meminumnya sepanjang waktu.
Lubtara, 2021
Riwayat Jarak
pada akhirnya kuhentikan juga langkah ini
di ujung aspal yang samar dengan tanah
semut-semut bergilir memilin takdir
memasuki semak-semak rumput gersang
pada sebuah pagi yang masih telanjang.
demikian kau persembahkan
riwayat kematian di ujung ilalang
aromanya menyangkut nafasku
seperti lipatan buku-buku
selalu mengingatkan bait-bait rindu.
aku belum tau pasti
seperti apa cintamu padaku
yang aku tau tempat langkahmu berakhir
karena di situlah rinduku mencair
membasahi kebun ingatan
dengan seberkas sajak tua
yang masih menderita dibaca.
Lubtara, 2021
Setelah Pergi
sengaja aku mengakhiri sajak ini
tepat ketika bayang-bayangmu berhenti
memasuki rindang pohon mangga
di persimbangan antara cinta dan derita.
sejak saat itu
lelaki sepertiku hanyalah debu
yang mampu mengikuti siuran angin
yang bisa bercakap dengan daun
tak pernah tersenyum
kendati hujan membasahi renung.
Lubtara, 2021
Mendengar Aroma Ladang
di tengah liar lambayan daun siwalan
beragam aroma menebar tak dikenal
ada yang pasrah berdiam di bawah batu
ada pula yang sengaja tersulam jadi rindu.
ada memang perkara yang lebih indah
ketika langkah selalu berakhir di ujung resah
kembang-kempang menggurgur
tak sanggup menahan dingin musim
lantaran langkah lebih menyulam takdir
dan engkau semakin pandai menata kata
seperti senyum yang menahan air mata.
Lubtara, 2021
J. Akid Lampacak, lahir 03 Mei 2000. Mahasiswa IST Annuqayah, Guluk-Guluk Sumenep Madura Jurusan Teknologi Informasi, Sekarang Aktif Membina Komunitas Lesehan Sastra Ponpes Annuqayah. Ketua komunitas laskar pena Lubangsa Utara dan pengamat literasi di sanggar becak sumenep. Tulisan-tulisannya telah tersiar di berbagai Media cetak seperti Republika, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Haluan, Harian Fajar, Dan Sebagainya.
Discussion about this post