Begini Fiani, kau selalu melihat bulan yang tercetak di tembok yang bernama kalender. Kau ingat semua bulan dan juga tanggalnya, juga pertanda hari-hari yang telah lewat. Meski bulan dan hari-hari berganti, matahari dan langit akan tetap sama. Berdiri di situ-situ saja, di atas kaki langit. Apakah kau punya imajinasi saat kecil, bahwa kau ingin merasakan tidur atau menggapai awan di langit biru?
Jika iya, kau pun sama denganku. Tapi aku tidak memaksa untuk mengikuti seluruh alam imajinasiku, yang kadang kelewatan di antara pikiran orang-orang yang waras. Setiap menjelang tidur di malam hari, ada satu kejadian yang mengingatkanmu tentang tubuh seorang lelaki yang mampir ke rumahmu. Ia berada jauh di sana, yang kau temukan di dunia maya.
Aneh bukan? Kamu barangkali terkejut, tapi lelaki dengan tubuhnya itu masuk ke rumahmu dengan tersenyum. Lihat wajahnya, senyum itu terlampau jujur bagi dunia yang memberinya badai dan tusukan pisau. Telah banyak ukiran darah atau kepatahan yang tidak bisa ia ceritakan padamu, juga masa lalu yang mungkin saja berantakan tanpa kau tahu. Ia berdiri dan masuk ke rumahmu.
Ia mengucapkan, “Hai.” Yang kemudian kau balas serupa dan menyiapkan satu cangkir teh padanya.
Mungkin saja ia adalah seorang tamu yang benar-benar kau hormati, meski yang luput kau pandangi, bahwa ia adalah kekasihmu yang benar-benar dikirim untuk membersihkan seluruh darah dan bekas tusukan di dadamu. Ia tidak membawa kapas atau peralatan kesehatan, sebagaimana kau akan hidup di rumah sakit dan memberi perawatan bagi orang banyak.
Tidak, ia hanya datang dengan mata dan kakinya yang melangkah, yang berharap kau satu-satunya yang menemani bagai langit membutuhkan matahari. “Perjalanannya bagaimana?” tanyamu, lelaki itu yang datang tentu menjawabnya dengan penuh bahagia. Kau bisa lihat matanya, kau bisa lihat caranya berbicara, walau kau mendengarnya ia sedikit terbata-bata. Namun ia terus usaha agar kalimatnya sampai di telingamu.
“Sedikit lancar, ma-macet tadi di sekitaran Cikampek. Aku kira razia lagi, soalnya pernah nggak boleh ke luar kota kan, gara-gara corona?” setelah lelaki itu menjawab, kau pun mengangguk Fiani. Kau menjawabnya dengan kalimat yang sepintas dan singkat.
“Ya, maklum lah,” begitu jawabanmu.
Sejak kau kenal lelaki itu di dunia maya, saat lelaki itu mengajakmu untuk berjelajah dan melewati hari-hari, kau pun menerimanya ajakan itu. Di bayanganmu, kau berharap lelaki itu lebih dari mantan kekasihmu yang menorehkan bekas itu, yang membuatmu menurunkan air mata, yang jatuh ke tanah, dan membasahi daun-daun di sekitar rumahmu. Kau berharap lelaki itu adalah lelaki yang tampan, jika tidak tampan, manis pun tidak apa-apa. Tapi tidak sebaliknya.
Kau melihat wajah lelaki itu dengan bekas jerawatnya, yang membuat wajahnya sedikit berlubang. Meski tampak bekasnya itu di hadapanmu, kau bisa lihat secara jelas dengan terang matahari, saat kau akan menemaninya berkeliling esok hari. Tapi, lelaki itu datang dengan kelembutan yang bagai kain, yang akan menyelimuti tubuhmu bila perlu.
Namun, matamu tetap menatap handphone dengan diskusi yang tiada henti. Ya, semenjak wabah pandemi ini, semua sekolah dan kuliah harus dijalani di rumah masing-masing. Kau pun melakukannya di rumah, dengan kesibukan yang tak mungkin lebih dari sekadar kuliah tatap muka. Atau sama saja? Lelaki itu tidak tahu bagaimana kesibukan kuliah dengan jurusanmu, yang berbeda dengannya. Kau jurusan kesehatan, sedang ia Sastra Indonesia.
Tapi kau tidak melihat kesamaan yang tidak kau lihat, kau pun kuliah negeri, sedangkan lelaki itu juga kuliah negeri. Meski banyak orang yang kurang pintar bisa masuk negeri, namun orang yang bodoh saja pun bisa masuk negeri lewat jalur keberuntungan.
Oh iya, kau tahu Fiani, lelaki itu terus membawa bayangan dirimu, dari kegelapannya, dari hari-harinya, dan juga waktunya. Lelaki itu tak berhenti memikirkanmu, ia tak henti-henti memendam diri untuk sekadar mengucapkan “Aku rindu kamu”. Ia diam saja, dengan sesak dadanya dengan segala kehancurannya.
Nama lelaki itu Dikara Fiani, ia datang ke rumahmu ketika kamu sedang sibuk dengan rencana KKN online. Ia ada di rumahmu selama empat hari dan menginap di sana. Kau pun tidak tahu bukan, sejak pertemuannya itu, ia hanya ingin menghabiskan waktu denganmu selama empat hari. Dari lima bulan yang hanya menatap layar.
Ia bisa tahu bagaimana kau di rumah, juga rambutmu yang kau perlihatkan padanya. Tapi, masalah rambut tidak jadi masalah. Lelaki itu tahu bahwa tidak ada kesempurnaan di dunia yang makin semrawut ini. Dikara, lelaki itu, selalu berkata begini. “Jika aku ingin perempuanku cantik, aku harus membelinya peralatan atau bedak kecantikan. Dan aku harus mencari uang,” itu saja kalimatnya.
Lagipula, kau pun juga sudah cantik bukan, meski tidak seperti para perempuan di laman Instagram? Tapi Fiani, banyak lelaki yang mengejarmu bukan? Lelaki itu tahu, bahwa lelaki lain yang mengejarmu adalah orang-orang berseragam. Yang tak henti-hentinya mengirim pesan padamu.
Kau tahu ungkapan tentang anak kesehatan yang selalu menjadi pacar seorang abdi negara? Ya Fiani, lelaki itu setiap hari selalu memikirkannya, apakah kelak ia bisa membahagiakanmu atau tidak. Lelaki itu terus berusaha sebisa mungkin agar kau bahagia dengannya.
Raut wajah lelaki itu tidak henti-hentinya bahagia. Ia terus menggenggam tanganmu yang lembut dan mengelilingi tempat hingga sampai di Jembatan Cirata. Kau juga ikut menggenggam tangannya, sebagaimana lelaki itu lakukan. Ia tak ingin sesuatu dari dirinya hilang, ia telah banyak kehilangan dan tajam pisau yang belum sempat kau dengar.
Lelaki itu hanya ingin bahagia, seutuhnya. Ia hanya ingin denganmu untuk melewati masa-masa di antara ketidakpastian yang lain. Ia sudah memikirkan bagaimana kelak hidup dilanda kesusahan, bagaimana biaya sekolah anak jika memang bisa menikah, dan hal-hal lainnya. Ah, tapi masih jauh. Namun, hubungan selalu berakhir pada pernikahan bukan?
Ia, lelaki yang paling bahagia yang bisa menemuimu di laman maya. Di tengah badai wabah COVID-19, ia bisa menjumpaimu lewat alamat rumahmu. Jauh-jauh ia datang hanya ingin bertemu, meski pada hari selanjutnya, lelaki itu akan pulang dan mencari hari yang tepat untuk bertemu lagi.
“Aku belum bisa masak,” katamu pada Dikara.
“Aku juga tidak bisa,” jawab lelaki itu.
“Terus?”
“Ya semua bisa belajar bukan?”
“Aku tidak bisa seperti perempuan lainnya.”
“Maksudnya?”
“Iya, kalau di rumah bisa bisnis atau jualan online, aku belum bisa seperti itu.”
“Ya aku tidak memaksa bukan?”
“Kamu malu nggak?”
“Untuk apa malu?”
“Mungkin saja kan?”
“Tidak perlu malu, kamu tidak perlu menganggap aku akan pergi darimu,” jawab Dikara.
Sejak itu, kau pun menggenggam tangan lelaki yang berusaha kau cintai. Ya, lelaki di depanmu itu tidak tahu bagaimana masa lalu yang kau miliki. Kau baru ditinggalkan mantan kekasihmu dengan segala trauma yang sulit kau hindarkan. Tapi, hidup itu berjalan kan Fiani?
Di Danau Cirata, saat senja di rembang petang sana, ada danau yang dihiasi satu perahu. Perahu itu berjalan pelan, bahkan terlihat cantik dengan sabana danau itu.
“Kau tahu, aku mencintaimu. Aku berharap ini bukan sekadar maya Fiani, tetapi nyata.” Ungkap Dikara, mata yang mungkin tidak kau lihat dengan benar, mata yang tulus itu. Ia berharap tidak ada kehancuran lagi, ia berharap tidak ada keretakan bagai kota yang dihancurkan badai.
Kau pun menggenggamnya, seakan-akan kau tak ingin melepaskan tangan lelaki itu, dengan kulitnya yang begitu dingin.
Setelah menghabisi waktu di rumahmu selama empat hari, lelaki itu kembali pulang ke rumahnya. Berusaha menyelesaikan skripsinya dan berharap lulus di tengah wabah pandemi. Ya, kau tahu masa ini adalah masa yang sulit. Kau pun juga bukan, sehingga kau kehilangan momen kuliah secara tatap muka?
Saat berpisah di dua jalan tol KM 99, lelaki itu melambaikan tangan ke arahmu dari kejauhan. Kau pun membalasnya, dan berharap semoga bisa bertemu lagi di hari yang lain. Ya, itu pertemuan satu kali yang membuatnya senang. Wajah lelaki itu terus bahagia, ia lupa bagaimana kehancuran pernah ada di hidupnya. Kau adalah kekuatan yang tidak bernama bagi lelaki itu.
“Sampai bertemu lagi,” ucap Dikara dari kejauhan.
Tapi, dua bulan kemudian kau pun memberinya badai padanya. Kau menghilang tiada kabar. Bukan, bukan karena kau sibuk dengan urusan KKN maupun kuliah daring. Tapi kau pun sengaja menghilang darinya, hingga membuat lelaki itu bingung dan tidak tahu di mana kesalahannya. Ia terus memberi pesan dan bertanya di mana kau berada. Kau tidak membalasnya, hingga suatu hari kau memilih jalan yang lain.
“Aku ingin kita berakhir,” katamu. “Aku ingin ada di antara diriku, mungkin diriku saja. Tanpa siapa-siapa.”
“Mengapa kamu begitu Fiani?”
“Aku bingung.”
“Ada apa?”
“Biarkan aku ada di ruang diriku sendiri.”
“Oke, kalau itu keinginanmu.”
“Jujur, aku malu kamu main ke rumah, bahkan sampai menginap di rumahku.”
“Kenapa?”
“Kamu nggak tahu bukan, tetangga pada membicarakanmu?”
“Aku salah?”
“Iya, benar. Kamu salah!” ucapmu, yang membuat lelaki itu terdiam lama. Lama sekali.
Kalimat yang kau lontarkan tidak memuaskan bagi lelaki itu Fiani, hingga akhirnya kau memilih beranjak dan tidak ada di hadapan lelaki itu lagi. Bahkan pertemuan selanjutnya, yang tidak tahu kapan.
Sejak itu, ia selalu dirundung pertanyaan, apakah yang salah dari dirinya? Apa yang salah perkara ia yang main ke rumahmu bahkan menginap? Ia, menyalahkan dirinya dan membenci dirinya sendiri.
Ia tahu kau tidak akan kembali lagi, mungkin saja kau telah berada di tubuh orang lain yang lebih beruntung. Tetapi Fiani, lelaki itu selalu menyalahkan dirinya, seperti sebuah penyesalan. Tapi bukan penyesalan memilih pergi, ia menyesali bahwa dirinya tidak membuatmu cukup.
Ia selalu berteriak di jalan, di kamar, bahkan di kegelapan ruangannya sendiri. Lalu berakhir memanggil namamu. Tak lupa ia juga memukul tembok sebagai pelampiasan kemarahan, betapa hebatnya Fiani, yang kau lakukan pada lelaki itu, sehingga ia merasa tidak pantas lagi hidup di bumi, tidak pantas diinginkan orang lain.
Ia merasa bahwa apa yang kau lakukan telah membuat dirinya merasa tidak pantas buat siapa-siapa. Bahkan cinta barangkali, meski ia berteriak dan berharap kau kembali setelah berpetualang. Ia hancur bagai kota yang diruntuhkan bencana, lewat bayang-bayangmu di tubuh lelaki itu.
Ia hancur Fiani.
Bogor, 10 Februari 2021
Aflaha Rizal, menetap di Bogor, 26 Agustus 1997. Beberapa karyanya telah terbit di media cetak dan online, juga menerbitkan buku puisi Kenangan Tidak Terbuka (Kuncup, 2019). Dan dua kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul Cuaca Sama (NulisBuku, 2016), Cuaca Sama II (NulisBuku, 2017). Selain itu, cerpennya telah diterjemahkan, berjudul The Village Of Angels oleh Intersastra. Merupakan Penulis Puisi Terbaik Bengkulu 2019, juga peringkat tujuh besar lomba puisi komunitas Lampu Tidur, berjudul Di Hadapan Tembok (2020), dan Nominasi Puisi Terbaik Solusi Buku berjudul Sifat Daun (2020).
Komunikasi dengan penulis:
Instagram : @aflaha.rizal
Medium: @aflaharizal
Discussion about this post