SAJAK UNTUK IBU
Nasib membalut mata
lukis keriput mimpi jadi abadi
dan gores senyum,
menyatu dengan senja yang tenggelam
di tepi Padang
di akhir pusaran ombak
di tempat suara meredam pada kerudungnya
Dan sebuah kehidupan menggantung di pipi, tentang
suara kanak-kanak yang hancur
ditinggal ayah, ditinggal mama
Kata berduri yang dimutiarakan orang-orang
Perlahan, mulai dipatahkannya
Dengan napas yang berhembus
pada rumah-rumah yang reot
pada jalanan penuh sampah
pada malam yang menakutkan lautan.
Ke mana batu-batu dihempaskan?
Kerudungnya kian menawan
Melerai malam yang tak pernah hening, di antara
serak suara nona-nona menemani
kanak-kanak di perkumpulan koa.
Adakah malam masih bercahaya?
Bulan berbuai dalam bedungan Ibu
Dengan kecintaan sajak-sajak bernyanyi
tanah berombak, laut berpurus
terang benderang dari kerudungnya.
Padang, 30 Mei 2023
SULUH
Setitik api menggantung di dinding rumah
Samar dari baris-baris wajah
Beranjak buat redupkan malam
Suluh menyinari senandung Amak
Tapuk-menapuk tangan
Menidurkan masa depan dengan cerita
Masa lalu sambil menyeka rambut kita
Bacalah, katanya
Orang pergi bermain di tepi sawah
Lupa hari telah senja
Jalan pulang meraba-raba
Anak kandung amak, elok-eloklah bersekolah
Jaga budi Bahasa
Jangan sampai pulang bila ilmu tidak dibawa
Suluh kembali pada tampuknya
Menerangi bilik yang sepetak
Terbuai dalam mimpi-mimpi
Apa itu, Mak?
Yang diisi dalam bambu
Yang bersuara dalam sunyi
Yang semakin dilihat, semakin tampak rupanya
Apakah pesan? Atau surat? Atau cerita lagi?
Amak berseteru pada ingatan
Di Pundak yang tak bertonggak
Menanam kata: Mambangkik Batang Tarandam.
Padang, Maret 2023
SEPASANG BURUNG DALAM SANGKAR
Kita tak perlu menghiraukan daun-daun gugur
di musim yang sama. Bergantian malam dan siang
Setiap pertanyaan yang datang, akan pergi tanpa jawaban.
Bukankah kita perlu menghabiskan
Segumpal air yang tersisa
Di badan-badan pohon tua
Barangkali kita akan dibuat mabuk
Dibesuk impian hari
Atau kita akan dibuat tak lagi bermimpi
Hingga terbawa cinta angin buta.
Padang, April 2023
JURAI KOTA
Membentang jurai sedekap Padang Panjang
Dingin kota kawan dendang saluang
Cerita mandeh terkenang Masjid Asasi
Bersama maka menjadi
Dari empat nagari bersimpul tangan
menyatu langkah di antara lereng-lereng bukit
Tegak berdirilah yang disebut dulu Surau Gadang
Masihkah bunyi tabuh yang membangunkan sunyi kota
Sarung-sarung berjalan menuju panggilan kuasa
Jernih air Bulaan dari batang Sigando
Sebab air adalah pangkal
Menuju hulu kesucian
Namun lelap tidur kadang tetap berkawan
Seolah kayu jati menjelma batu
Orang-orang ditinggal kenangan masa lalu
Masihkah dibaca naskah yang mengobati kota
Luka disayat perang, bencana, dan celaka
Sembuh dengan cerita tetua
Sebab alam adalah guru
Terkembang menuju hulu, di dada, di kota
Sampai terpejam usia.
Padang Panjang, 2022
BILA KAU LIHAT SUATU PADANG
Bila kau lihat suatu padang
Terdampar di bawah dekap bukit
Air matanya yang berpasir
telah memusar keramaian
Menjadi satu di hadapan sang laut
Bila kau lihat lebih jauh
Pada suatu padang yang terdampar
Tak akan ada cinta yang seperti gunung
Semakin didaki semakin tampak matanya
Sebab dari kerendahan, air matanya lebih jelas
Menghembus kesepian.
Padang, 2023
WARNA-WARNI LAMPU KOTA
Warna-warni lampu kota saat sore bertamu
Menyatu dengan asap di tepi jembatan
Memandang kapal-kapal yang menanti
Perpisahan
Telah berbuat apa, aku
Menjelang api membakar jagung
Menjelang matahari beranjak pergi
Meninggalkan tiang-tiang berumur panjang
Tegak sendirian, seperti berdoa pada muara,
Untuk pulang.
Padang, 2022
Tentang Penulis
Fadhillah Hayati. Alumni Sastra Indonesia, FIB, Unand. Aktif berkegiatan di Teater Langkah, Labor Penulisan Kreatif, dan Komunitas Tanah Ombak, Kota Padang. Instagram: @fdlhyti.
Discussion about this post