
“Mana mungkin bisa membungkam mulut orang tidak waras.” Seperti itu yang dipikirkan orang-orang di kampung itu. Orang gila seperti Bajul, tak akan mungkin dapat diperingati oleh orang-orang waras. Ia seorang pemuda yang begitu jujur di kampungnya. Baginya apa yang dilihatnya dari suatu pengalamannya adalah kebenaran. Dan ia tak pernah bisa menahan perkataan apa pun yang keluar melalui mulutnya. Karena itu, ia dijauhi saja oleh warga kampung sekitar. Banyak sebab ia mengetahui rahasia-rahasia yang di setiap keluarga di kampung pelosok itu. Selain orang-orang berusaha menjauhi hal-hal tentang dirinya dari Bajul, orang-orang juga sangat penasaran bakal dapat informasi apa dari Bajul layaknya koran pagi.
Setiap hari Bajul mengelilingi kampung sesambil mengumpulkan barang-barang loak, menyodorkannya ke dalam karung lalu dibawa pulang agar amak1-nya bisa menjual. Kadang tampak ia berlari-larian pada pematang sawah oleh para petani di sana, yang di mana itu adalah jalan menuju sungai. Kembalinya sering ia membawa gurami besar barang seekor. Dan itu dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk membelinya dengan harga murah dan Bajul mendapatkan uang agar diberikannya kepada amak-nya pula.
Bajul sangat jago memancing ikan. Bersama jala rotan yang dibikin sendiri olehnya yang ia dapatkan dari rimba bambu di tepian sungai. Namun sayang, tali benang pancing itu sudah agak kelihatan rapuh dan susut pula panjangnya. Tak jarang juga terputus saat memancing. Tetapi ia mempunyai tetangga yang baik hati, Tua Rambang seorang guru ngaji TPA kecil yang berada tidak cukup jauh dari rumah mereka. Ia tinggal seorang diri, hanya punya sepeda ontel sebagai kendaraan satu-satunya meringankan beban masalah jarak pekerjaannya. Belum kawin hingga masa tuanya, warga kampung menyebutnya bujang lapuk.
Tua Rambang yang kadangkala menyumbangkan benang dan mata pancing kepada Bajul. Tak sesekali juga mereka pergi bersama ke sungai belakang dengan melewati pesawahan, untuk memancing. Ketika memancing itu, menunggu umpan dilahap ikan yang antah berantah kapan tersangkutnya, biasa Bajul membual sendiri dengan tidak jelas sehingga menerbitkan kekonyolan dan Tua Rambang pun tertawa-tawa dibikinnya. Secara bersamaan ia sedih juga melihat Bajul, karena penyakit tidak warasnya serta amak-nya Bajul sendiri, yaitu Siti Mariatih.
Siti Mariatih seangkatan dengan Tua Rambang juga tetangga terdekat di kampung itu. Teringat padanya waktu itu Siti Mariatih sedang dalam keaadaan hamil tua mereka mengalami hal yang begitu menyedihkan. Suaminya yang merantau ke Kalimantan untuk kerja di hutan lantaran gajinya yang besar hilang kabarnya. “Nanti setelah sebulan, ajo2 kirimkan uang melalui pos.” Dan itu adalah pesan terakhir suaminya. Siti Mariatih lambat laun jatuh sakit. Teringat juga seorang anak pertama yang hilang kabar tak kembali setelah merantau ke ibukota. Keadaan semakin morat-marit. Karena keadaan balau seperti demikian, Bajul terlahir menjadi orang seperti yang saat ini.
Sekarang amak-nya Bajul sudah sangat tua, ditambah pikun sudah menjangkitnya. Acapkali setelah bangun dari kasurnya, dan sesegera berjalan membungkuk-bungkuk ke depan halaman rumah dan bila mendapati Tua Rambang dan Bajul sedang mengikir jala ikan, ia berbicara pada mereka, “Mana Murni? tadi dia di belakang memasak air. Hmm tidak apa-apa ia gagal menjadi orang di ibukota, asal bisa berkumpul kembali emak sudah senang. Sekarang di mana dia? Kalian melihatnya?”
Tua Rambang hanya mengherani sedang Bajul tidak menanggapi karena tidak mengerti dan hanya sibuk pada diri sendiri dengan bertingkah konyol.
“Murni di mana?” lanjut panggil amak-nya sambil memutar balik ke belakang menuju dapur.
Yang dari pengetahuan Tua Rambang adalah bahwa Murni anak pertama dari Siti Mariatih, juga kakak kandung Bajul yang jauh sebelum ia dikandung, walau begitu Bajul belum pernah sama sekali melihat kakaknya seumur hidupnya. Dahulu sewaktu ayahnya masih hidup, yang bernama Damaran, Murni berpamit diri hendak merantau ke ibukota ikut bersama salah satu temannya yang juga berniat mengadu nasib berpengharapan perubahan hidup. Awalnya mereka berat hati untuk mengizinkan, karena sewaktu itu Murni merupakan anak perempuan sulung. Butuh waktu seminggu keputusan datang. Amak-nya sering lagi shalat tengah-tengah malam meminta agar diberi petunjuk dan keputusan yang benar. Dan segala hal itu menghasilkan persetujuan. Murni boleh berangkat.
Sebelum berangkat, seperti biasa. Tatkala seorang anak hendak turun ke gelanggang kehidupan yang jauh, orang tuanya akan memberi petuah. “Dasar-dasar apa saja yang hendak kau lakukan, tetap berpegang teguh pada Allah.” Kepadanya tuah tersebut diberikan pada Murni.
Dua tahun, enam bulan setelahnya. Tidak ada kabar lagi. Rasa cemas menghantui oleh orang tuanya apalagi saat-saat magrib tiba rasa gusar mereka lebih pekat bersamaan matahari turun di ufuk barat. Tentu mereka hanya bisa menunggu berprasrah pada keyakinan mereka dan doa. Kampung ini pun masih tergolong susah akses, jadi tidak ada kabel telepon masuk. Demikian juga berkirim surat mesti pergi ke kota. Itu juga tidak tahu harus kemana karena tidak mengerti. Sebagaimana sampai sekarang kehidupan kampung ini tidak juga berubah.
Discussion about this post