
AKU TELAH MAHIR
aku telah mahir
memandikan
seutuh tubuhku yang sepi
dengan sari air mata
yang kutimba
dari ratusan ribu sumur
kesedihanku sendiri
aku telah mahir
membilas kehampaan
dan menambal nganga
juga nyeri luka di hati
dengan kebencian
yang lebih paripurna
dari kitab suci
aku telah mahir
mengunyah nasib
dan mendaur derita sendiri
jadi serbuk beracun
yang dapat menumpas
kekuasaan masa lalu
dari inti jiwaku ini
2022
SALJU SEDINGIN MIMPI
di kamar ini, salju terasa
sedingin mimpi
dan kesunyian
yang lebih purba dari puisi
mencekik seutuh hariku
tanpa henti
hanya api, dari tungku
juga selimut
sesutra senyummu ini
pemicu hangat
dan mantra terakhir
yang kumiliki
tak lagi ada tiruan tubuh
juga merdu napasmu
yang bebas kupeluk
dan kudengar
di sesak ruang ini
hanya denyut, dari nadi
juga degup
dari dada sendiri
yang menangguhkanku
dari kekosongan bunyi
di kamar ini, salju terasa
sedingin mimpi
dan kesunyian
yang lebih purba dari puisi
mencekik seutuh hariku
yang piatu
sejak kau pergi
2022
KEBAHAGIAAN YANG SELAMANYA, 1
“di langit maupun di bumi
di seluruh penjuru dunia
aku akan ada di mana pun kau berada”
— dari Film The Blue Whisper
malam nanti, di bawah langit
yang tak akan tua, kuingin kita
bisa terus ada:
melampaui kesementaraan
yang kita punya, dengan cinta
kita saksikan, di kejauhan sana
bintang yang tanpa ekor
seperti berenang
di kegelapan, di gumpal awan
mengibas-ngibaskan cahaya
ke arah kita
kemudian sesuatu melompat
dari sungai kecil di langit
mengambang di udara
seperti serbuk cahaya
yang menunggu pecah
serupa percik kembang api
yang disulut langsung
dari surga
sesuatu itu
kita tak tahu namanya
tapi kita tetap tak bertanya
sebab hal rahasia
bagi kita, adalah kejutan
yang tak akan sia-sia
malam nanti, di bawah langit
yang tak berpenyangga
kuingin kita, bisa terus ada:
merayakan cinta
yang tak tua, setiap hari
sepanjang masa
menyaksikan bintang
mengambang
dan pecah di udara
lalu berdoa: akhir terburuk
bilapun ada, untuk kita
hanyalah kebahagiaan
yang selamanya
2022
KEBAHAGIAAN YANG SELAMANYA, 2
“aku berharap semua hidup, di mana pun di dunia
bisa jauh dari kekacauan. gunung dan sungai
tetap ada, sukacita berlangsung selamanya”
— dari Film The Blue Whisper
…malam nanti, di bawah langit
yang tak punya usia…
kuingin kita, bisa terus ada:
1 menyuntikkan
kabut yang harum
di hutan cahaya, ke bait puisi
juga ke inti ingatan kita
yang tak-fana
2 seumur matahari
di seluruh dunia, berdua
menunaikan mandat
dari surga
pergi dan pulang
menaklukkan api, juga bara
di bawah mahalautnya
cinta
3 mendengar sunyinya angin
dengan telinga
yang tak kita biarkan
terbuka—
4 lalu berdua, mabuk
dan terbang
dengan ilusi sayap
yang mengepak
tanpa suara
dari sepasang lengan kita
…malam nanti, di bawah langit
yang tak punya usia…
kuingin kita, bisa terus ada:
5 berdua, memetik bintang
yang sekecil
mungkin juga sepurba
irisan debu di angkasa
kemudian
menangkarkan kerlipnya
di bagian tergelap
dari mata kita
6 menyaksikan pijar bulan
yang semolek
kunang-kunang
menyembulkan bayangan
di tepi telaga
yang jernih airnya
kita kumpulkan
dari sari air mata
7 berdiri di ujung dunia
menghirup
harum aroma surga—
8 lalu berdua, masuk
ke sebuah mimpi
ke tempat kosong
yang tak terjangkau
oleh pengetahuan
manusia
…malam nanti, di bawah langit
yang tak punya usia…
kuingin kita, bisa terus ada:
9 membangun semacam sarang
bagi cinta
dan menyembah
k e b a h a g i a a n
sebagai tuhan kedua
yang kita imani
dengan segala cara
di segala situasi
tak akan pernah
meninggalkan kita
2022
AMESBURY: EPISODE II
/ prolog /
: di hutan
yang tak lebih luas
dari harapan
angin kembali bersiul
mengarak rindu
seperti prajurit
kalah perang.
dan seorang diri
aku memikul ingatan
sejauh jalan terbentang:
menyaksikan
kerincing dendam
berkejaran.
***
petang itu, lance
di atas pelana kuda
tak lagi ada tali kekang
yang bisa kuentakkan.
dan galehaut
kastel yang kau serukan
sebatas tujuan
yang hanya berhasil
dicapai oleh kemustahilan.
sebab di pekat hutan
di tengah pirau perjalanan
sepasukan prajurit
dengan kilat pedang
di lajur kiri dan kanan
tiba mengadang:
menangkap
dan memulangkanku
ke camelot, sebuah tempat
yang disesaki kebencian.
“hanya penantian
mungkin
yang bisa kau pinang
selepas kau tahu bahkan
hingga di ujung
kenyerian malam
aku tak berhasil datang.”
***
di penjara, ingatan
kembali serupa bara:
menyala-nyala di kepala
dan tak selaut air
akan sanggup
memadamkannya.
tiba-tiba aku berada
di inti alun-alun istana
terikat di tiang pancang:
memusati kayu bakar
yang ditumpuk melingkar
menyambut detik
penghukumanku digelar.
dan menyaksikan
ajal
seperti ancaman
yang terlambat
dilesatkan;
sesaat kau terjang
barikade prajurit
dan kau sarungkan
runcing pedang
ke jantung pasukan.
***
/ epilog /
denting peperangan
makin terdengar
semerdu siul maut
di peristilium, lance.
sejak kau renggut
lemas tubuhku
dari tiang pancang
dan kau larikan aku
ke sunyi ruang:
y a n g j a u h
dari jangkau lengan
kematian.
2022
TENTANG PENULIS
Daffa Randai, lahir di Ogan Komering Ulu Timur, Sumatra Selatan pada 22 November 1996. Alumnus mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) Yogyakarta, konsentrasi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Presiden Komunitas Pura-Pura Penyair. Buku tunggal perdana: Rumah Kecil di Kepalamu (2018). Beberapa puisinya terbit di buku antologi bersama, media cetak dan online. E-mail: [email protected], Instagram: @randaidaffa96.
Discussion about this post