Bila mengingat Batang Kuantan, pikiranku langsung terlintas sebuah anekdot orang-orang tentang Melayu, hidup adalah sebuah kesenangan yang tak terhingga jika minum kopi dan menjadi juru bicara di lepau terlengkapi. Bekerja adalah aktivitas leha-leha.
Sebagaimana yang banyak dicatat para peneliti tentang Batang Kuantan dan sehilirannya, sungai ini berhulu di Danau Singkarak kemudian meliputi banyak sungai-sungai yang ada di antara Sumatra Barat, Jambi dan Riau. Sungai yang hilirannya ke Batang Kuantan langsung berhadapan dengan Selat Malaka yang juga disebut sebagai jalur para ekspedisi, dulunya sebagai jalur Pantai Timur. Di Negara bekas jajahan ini pula banyak rombongan ekspedisi mati sia-sia; hanya meninggalkan sejarah mengenaskan. Setidaknya ada dua versi yang mencatat sejarah panjang Batang Kuantan dari masa ke masa, mulai dari versi catatan perjalanan/Tambo dan versi para peneliti.
Perjalanan rombongan ekspedisi dari eropa pertama melalui Batang Ombilin untuk mencari tau kekayaan alam yang ada di sana, yaitu ‘emas hitam’. Keberadaan sumber daya alam itu hampir tersebar di seluruh aliran Batang Ombilin. Tanggal 26 Mei 1867 seorang geolog bernama W.H de Greve berkebangsaan Belanda diutus untuk meneliti kandungan mineral yang ada di Ombilin. Semasa itu Indonesia masih dikenal dengan Hindia Belanda. Penemuannya tentang kandungan mineral yang ada di Ombilin akhirnya terpublikasi tahun 1871 dengan judul Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Weskust (‘s Gravenhage: Algemeene Landsdrukkerij). Dalam temuannya tersebut, De Greve juga sudah memikirkan moda transportasi yang akan digunakan melalui jalur Batang Kuantan, namun naas, peneliti muda itu berakhir tragis karena kurangnya perhitungan dan pengetahuan tentang arus Batang Kuantan yang deras serta besarnya sungai.
Berbeda dengan perjalanan seorang Cina dalam buku karya I Tsing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “momoir” dan Record, I Tsing mengisahkan perjalanannya dari Cina ke anak benua India dan kembali dari anak benua India langsung ke Cina. Setelah ia selesai belajar agama di Sriwijaya dalam perjalanan menuju India, I Tsing kemudian singgah pula di Bandar Melayu yang dalam Tambo Silsilah Rajo-rajo Minangkabau dan Tambo Bungka Nan Piawai menyebutkan Bandar Melayu adalah Kualo Batang Hari. Di sanalah I Tsing menetap selama 2 bulan. Semasa itu di Kuala Batang Hari berkedudukan seorang raja di Malayu Tapi Aie yang berada di daerah Jambi dengan gelar kebesaran rajanya Datuak Rajo Malayu/Datuak Rajo Malayu Tapi Aie.
Batang sungai yang sehiliran ini mencatat banyak sejarah penting dari masa ke masa, De Greve abad ke-18 sedangkan perjalanan I Tsing di abad ke-7. Secara tidak langsung menjelaskan bagaimana pentingnya jalur tersebut sejak lama, bukan hanya semata tentang perjalanan rombongan ekspedisi bangsa Eropa semata, lebih dari itu adalah perjalanan spiritual yang sarat dengan nilai-nilai rohani.
Sungai-sungai sejak dahulu telah menjadi akses utama perjalanan, baik berdagang, perang dan perjalanan mencari ilmu. Sejarah-sejarah tersebut layak menjadi suatu bukti warisan peradaban di suatu daerah, sebab jati diri sebuah bangsa dapat dilihat dari seberapa pedulinya mereka terhadap warisan budayanya. Batang Kuantan sebagaimana yang banyak dicatat para peneliti ataupun sejarawan adalah akses ke lumbung kekayaan alam. Di mana di tempat ini juga pernah direncanakan jalur kereta api jalur Sawahlunto-Riau, guna memuluskan moda transportasi perdagangan dan pertambangan. Namun tinggal jejak berlumut dan angan yang tak sampai. Bila bicara Batang Kuantan, pastilah tak lepas dari banyaknya persinggahan peradaban di sana. Perjalanan-perjalanan sarat makna kehidupan dan kekuasaan.
Namun bukankah masa lampau adalah suatu peristiwa yang patut diingat dan diwariskan? Batang Kuantan pantas mendapatkan perhatian itu; wisata ataupun warisan budaya. Tinggal bagaimana memolesnya menjadi sebuah wilayah yang layak dikunjungi sebagai tujuan wisata ataupun cagar budaya. Tapi, apa yang belum lansai dari Batang Kuantan, sehingga patut menimbang dan melihat kembali sejarahnya?
- Esai: Syekh Siti Jenar dan Pembangkangan atas Keseragaman | Fatah Anshori - 6 Oktober 2024
- Essay Ketika Seorang Antonio José Bolívar Memilih Masuk ke Hutan | Fatah Anshori - 29 September 2024
- Cerpen Seperti Mama Melakukannya | Putri Oktaviani - 28 September 2024
Discussion about this post